Posted on Kamis, 22 Maret 2012 Tahun Baru Islam


Peringatan Tahun Baru Islam
Oleh Dhani Kurniawan

Islam di Indonesia mimiliki corak tersendiri yang berbeda dengan Islam di negara asalnya (Arab Saudi). Perbedaan ini disebabakan Islam di Indonesia terpengaruh oleh kebudayaan yang terlebih dahulu ada di Indonesia. Pengaruh budaya terdahulu bahkan terkadang sengaja dimunculkan oleh sebagian penyebar Islam. Tindakan tersebut pada awalnya dimaksudkan untuk mempermudah dakwah agama Islam. Namun dalam perjalanannya budaya lama malah bercampur dengan ajaran Islam dan menjadi suatu warna tersendiri. Salah satu akibat percampuran tersebut  terlihat pada perayaan tahun baru Islam yang dijadikan satu dengan tahun baru Jawa.
Selama ini awal perhitungan tahun Jawa berlandaskan kisah kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada tahun 78 Masehi. Tentang kisah kedatangan Aji Saka terdapat beberapa versi. Tetapi dari beberapa versi tersebut setidaknya memiliki dua persamaan. Pertama kedatangan Aji Saka digunakan sebagai awal perhitungan tahun Jawa. Kedua kedatangan Aji Saka menandai berakhirnya masa pra sejarah di tanah Jawa dengan lahirnya aksara Jawa. Kisah-kisah tentang kedatangan Aji Saka kemungkinan besar hanya merupakan simbolisasi untuk mempermudah mengingat awal perhitungan tahun Jawa dan huruf Jawa[1]
Sampai pada tahun 1554 Saka perhitungan tahun saka didasarkan pada peredaran Matahari. Namun Sultan Agung penguasa kesultanan Mataram mengubah dasar peritungan berdasarkan peredaran bulan. Semenjak saat itu peringatan tahun baru Jawa menjadi berbarengan dengan tahun baru Islam. Tindakan Sultan Agung tersebut selain untuk menyebarkan pengaruh Islam juga bernuansa politik. Dengan mengubah kalender Saka menjadi Kalender Jawa yang berdasarkan sistem peredaran bulan seperti tahun Hijriyah Sultan Agung bermaksud memusatkan kekuasaan agama pada dirinya sesuai dengan gelar yang dia sandang (Sayidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawa).[2]
Sampai saat ini di kerajaan-kerajaan pecahan dinasti Mataram peringatan pergantian tahun baru Jawa sekaligus tahun baru Islam masih dirayakan dengan ritual-ritual yang tidak terdapat dalam ajaran Islam. Di keraton Yogyakarta malam satu Suro atau satu Muharram diisi dengan acara kirab mengelilingi benteng keraton sementara di Keraton Surakarta ada kirab dengan “Cucuk Lampah” atau didahului oleh Kebo Kyai Slamet. Antusiasme masyarakat selalu tinggi dalam acara-acara tersebut. Ngalab berkah biasanya menjadi motivasi utama sebagian besar masyarakat.[3] Apabila ditelaah lebih lanjut sebenarnya ritual-ritual tersebut tidak lepas dari tujuan legitimasi kekuasaan oleh pihak keraton(kerajaan).
Sementara menurut pandangan ajaran Islam Muharram Adalah Bulan Yang Mulia. Sebagaimana terdapat dalam Al-Quran : “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah : 36)
Imam Ath-Thabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah ”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya hadits dari sahabat Abu Bakrah , yang diriwayatkan Imam Bukhari (no. 4662), Rasulullah  bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram” (Jami’ul Bayan 10/124-125)
Qotadah berkata, “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dhzalim di dalamnya merupakan kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar” (Ma’alimut Tanzil 4/44-45)
Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. (Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10)[4]
            Dalam ajaran Islam tidak ada tuntunan khusus memperingati malam pergantian tahun apalagi sampai perayaan besar-besaran. Di Arab Saudi peringatan tahun baru Islam diisi hanya dengan acara doa bersama bahkan di hari tahun baru sekolah tetap masuk.[5] Sementara untuk di Indonesia khususnya di Jawa adanya perayaan menyambut tahun baru Islam tidak lepas dari pengaruh kebudayaan lokal yang memberikan warna tersendiri bagi Islam di Indonesia.


[1] Herusatoto Budiono.2001:Simbolisme dalam Buaya Jawa.Yogyakarta.Hanindita Graha Widia.
[2] Siti Maziyah dan Purwadi.                :Horoskop Jawa.Yogyakarta.Media Abadi.
[3] Suryo S.Negoro
(Di-edit dari buku: “Upacara Tradisional dan Ritual Jawa” terbitan tahun
2001 oleh penulis yang sama). Diunduh darihttp://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro
[4] http://www.mediasalaf.com/aqidah/bulan-muharram-dalam-islam/
[5] http://www.detiknews.com/read/2011/11/26/214509/1776390/10/tahun-baru-islam-pelajar-di-saudi-tetap-sekolah

Posting Komentar