Posted on Kamis, 22 Maret 2012 kuliah umum


Kuliah Umum
Oleh Dhani Kurniawan

            Hari ini sengaja saya tidak mengikuti kuliah penelitian kuantitaif. Saya memilih membolos kuliah untuk mengikuti acara yang diselenggarakan oleh FIS Trans Institut, acara tersebut bisa dikatakan semacam kuliah umum. Tema yang diangkat dalam acara tersebut yaitu “Proses Modernisasi dan Konstruksi Identitas di Asia Tenggara. Saya pernah dengar dari dosen saya bu Rhoma bahwa beliau yang membuat atau mengusulkan tema tersebut. Acara tersebut menghadirkan dua pembicara yaitu dari FIS Dr. Suharno dan dari Michigan University Dr. Charley Sullivan.
            Saya datang ke acara tersebut agak terlambat, ketika sampai di lantai dua gedung dekanat FIS  ternyata telah terjadi antrian peserta yang ingin mengikuti acara tersebut. Pada saat saya ikut mengantri antrean sudah cukup panjang dan saya tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti itu. Setelah mengantri selama mungkin sekitar 10-20 menit akhirnya pada pukul 09.29 saya bisa memasuki ruangan. Ketika memasuki ruangan saya lihat sekilas tempat duduk sudah penuh bahkan di bagian belakang banyak peserta yang duduk dilantai. Saya beruntung ternyata masih ada tempat dudk kosong di dekat rekan saya Oktandi yang sudah lebih dahulu ada di runagn tersebut.
            Ketika saya memasuki ruangan ternyata pembicara dari luar belum datang dan yang waktu itu menyampaikan materi adalah Dr. Soeharno. Saya tidak mengikuti presentasi beliau dari awal karena saya memang datang terlambat, tetapi saya sedikit menangkap beliau berbicara tentang keberagaman yang ada di Indonesia. Menurut beliau pemerntah orde baru pernah melakukan kesalahan dengan menerapkan politik monokultural. Beliau memberikan contoh kasus rusaknya sistem nagari dan kosasi karena dipaksa menjadi sama seperti desa di Jawa. Menurut beliau akibat kebijkan pemerintah tersebut justru merusak kearifan lokal yang dulu mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan secara adat.
            Dr. Suharno juga menyoroti kekeliruan pemerintah dalam mengatasi konflik yang terjadi karena keberagaman masyarakat Indonesia. Menurut beliau penyeragaman bukan solusi yang tepat. Kalaupun ada yang berpendapat konflik malah banyak banyak terjadi setelah orde baru  bukan berarti orde baru lebih berhasil. Konflik-konflik yang terjadi pada masa pasca orde baru sebenarnya merupakan warisan terpendam dari masa orde baru. Menurut beliau pemerintah harus melakukan pendekatan yang lebih baik untuk menyelesiakan konflik. Pemerintah Kotim Kalimantan Timur menurut beliau telah memberlakukan perda yang tepat dalam menyikapi terjadi konflik antara Dayak dengan Madura.
            Ketika Dr. Suharno sudah hampir selesai menyampaikan materi baru pembicara dari luar tiba di ruangan acara tersebut berlangsung saat itu saya lihat jam di hp saya menunjukkan pukul 09.40 wib. Pembicara dari luar yaitu Dr. Charley Sullivan dari Micighan Universiti Amerika merupakan seorang dosen sejarah. Beliau memiliki perawakan tinggi, agak gemuk, rambut dan jenggotnya telah memutih serta mengenakan kacamata. Saya melihat Dr. Charley memiliki perawakan yang menurut lebih seperti pegulat yang kekar. Sebelum menyampaikan materi beliau mengkonfirmasi bahwa ternyata beliau belum resmi menyandang gelar doctor karena studi S3nya masih belum rampung.
            Charley menyatakan pada masa kecilnya pernah tinggal selam tiga tahun di Indonesia. Menurut beliau apa yang ditulis orang barat tentang Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dirasakannya waktu tinggal di Indonesia. Beliau awalnya mengatakan belum terlalu mahir berbahasa Indonesia tetapi ternyata mampu menyampaikan materi dengan cukup baik dalam bahasa Indonesia.
            Beliau mengawali dengan pembahasan “Kartini and the Modern World.” Kartini dlam surat-suratnya menyatakan keinginanya menjadi wanita modern. Kartini saat itu juga sudah dianggap sebagai wanita pribumi yang pemikirannya telah melampaui zamannya. Beliau kemudian berbicara tentang modernity dn tiba-tiba teringat pada masa kecinya di Indonesia pernah melihat pohon besar diberi makan secara rutin.
            Beliau menyatakan ada tiga alat menuju modernisasi yaitu sensus, peta dan museum. Pendapat ini menurut saya sangat unik, berbeda dengan pendapat-pendapat yang sebelumnya saya dengar tentang bagaimana menuju modernisasi. Beliau memaparkan bahwa pada tahun 1700an di Bnaten telah diselenggarakan sensus. Tetapi belum bisa dikatakan sensus modern karena hanya memperhatikan kalangan tertentu yaitu para bangsawan dan abdi dalemnya.
            Menurut beliau sensus di Filipina dibawah kolonialime Amerika pada tahun 1903 sudah dapat dikatakan sensus modern karena lebih menyeluruh. Pada masa itu pula muncul ide bahwa orang kulit putih harus memajukan orang kulit coklat. Pada saat itu pendudk dimasukkan ke dalam dua kelompok besar yaitu kristen dan non kristen. Smentara itu sensus yang dilakukan Belanda di Hindia Belanda(Indonesia) lebih mneggolongkan penduduk dari aspek kebangsaaan. Penduduk di Hindia Belanda digolonggkan menjadi tiga yaitu Eropa, pendatang dari Asia/Timur Asing dan Pribumi atau yang pada waktu itu disebut Inlander. Pada saat menyampaikan materi beliau juga sempat menyatakan bahwa bahasa Indonesia sulit, walaupun menurut saya bahasa Indonesianya cukup baik, beliau bahkan menyatakan mulai nelajar bahasa Jawa.
            Beliau lalu membahas tentang peta, menurutnya peta Surakarta yang dibuat Belanda sekitar tahun 1938 hanya memperhatikan tempat-tempat penting bagi Belanda, misalnya Keraton ,tempat pasukan Belanda, dan sebagainya. Diperlihatkan pula adanya pemikiran orang Jawa tentang garis lurus antara laut selatan sampai ke Merapi. Beliau meyatakan sampai saat ini masyarakat masih mempercayai situs-situs keramat dan diperlihatkan pula rajah Kalacakra yang mengandung unsur Hindu-Budha dan Islam.
            Selanjutnya belia membicarakan tentang pakaian yang menurutnya pada masa Belanda merupakan suatu identitas yang kuat. Beliau menunjukkan seorang pembesar pribumi dan seorang pembesar Belanda dengan pakaian kebesarannya masing-masing. Beliau kemudian menunjukkan pula sebuah majalah Indonesia tahun 1950 yang menapilkan wanita Indonesia dengan pakian barat. Menurutnya pada masa tersebut orang Indonesia berusaha mencari identitas dirinya Orang Indonesia mulai berpikir siapa sebanarnya meraka, orang Indonesia juga ingin menjadi modern tetapi tidak menjadi barat. Beliau juga menunjukkan senbuah halaman dari majalah Jawa tahun 1940an yang menrangkan cara membuat pakai dalam wanita, semacam BH agar masyarakat bisa membuatnya sendiri karena waktu itu untuk membeli masih sulit karena jarang yang menjual.
            Setalah penyampaian materi selesai kemudian dimulailah sesi diskusi. Saya sudah tidak bisa menuliskan lagi jalannya acara yang diselenggarakan di ruang Ki Hajar tersebut karena saya sudah tidak konsentrasi. Saya sudah merasa lelah dan memilih mengobrol dengan rekan disamping saya. Tetapi saya masih ingat kalau tidak salah ada beberapa dosen dan mahasiswa yang mengajukan pertanyaan pada pemateri. Khirnya pada pukul 10.55 wib saya metuskan keluar ruangan walaupun sebenarnya acara belum selesai karena saya harus mengikuti kuliah Prespektif Global.
Mrican, Yogyakarta, 21 Maret 2012
Pukul 21.38 wib 

Posting Komentar