Posted on Sabtu, 30 April 2016 Memahami Pram dan Keberpihakan Politiknya
Memahami Pram dan Keberpihakan
Politiknya
Oleh Dhani Kurniawan
Keriuhan yang dipicu
Caping Goenawan Mohamad yang menyinggung Pramoedya Ananta Toer “Maaf”
mengingatkan saya kejadian setahun yang lalu. Ketika itu saya adalah seorang
mahaiswa yang baru saja menempuh sidang skripsi. Suatu hari tanpa sengaja saya
bertemu dengan sebuah pamflet yang ditempel di depan warnet kampus. Ada
pengumuman menarik di dalamnya. Akan diselenggarakan rangkaian acara
memperingati haul Pramoedya Ananta Toer yang salah satu agendanya adalah
sayembara penulisan. Terlebih ada hadiah bagi pemenang. Saya pikir ini
kesempatan bagus. Mungkin saya bisa mendapat hadiah lalu bisa menggunakannya
sebagai tambahan ongkos mencetak skripsi. Saya belum pernah mengikuti sayembara
menulis tetapi kali ini saya memberanikan diri. Apalagi temanya Pram. Sosok yang
karyanya tidak asing lagi bagi saya.
Selang beberapa hari
akhirnya saya menyelesaikan sebuah tulisan. Mungkin tidak begitu bagus tetapi
ada sedikit harapan kepadanya. Setelah mengirim kepada panitia lewat email yang
tercantum dalam pamflet lalu saya menunggu sampai batas waktu pengumuman. Hari
demi hari sampai batas waktu terlewati. Sama sekali tidak ada kabar. Saya pikir
pasti tulisan itu tidak lolos. Berselang lama setelah itu baru saya tahu apa
yang terjadi. Bukan hanya tulisan saya yang tidak lolos tetapi acara itu
sendiri juga tidak lolos. Lebih tepatnya acara tersebut dibatalkan karena tidak
mendapat izin pihak birokrat kampus. Entah pertimbangan macam apa yang diambil
birokrat. Besar kemungkinan sebabnya adalah riwayat kepengarangan Pram yang
tidak bisa dilepaskan dari riwayat keberpihakan politiknya pada LEKRA dan PKI.
Sekian tahun setelah
jatunya orde baru ternyata Pram masih merupakan sosok yang kontroversial.
Karya-karyanya mulai diakui di dalam negeri sendiri terutama karena nama
besarnya di kancah internasional (meski juga bukan berarti tanpa kecaman dari
pihak tertentu) yang tak terbantahkan.[1] Sementara
di sisi lain di negeranya sendiri masih ada kegamangan tentang bagaimana harus
menempatkan seorang Pram. Terutama terkait riwayat sikap dan afiliasinya dalam
politik.
Pra
LEKRA
Ada fase di mana Pram
diakui sebagai sastrawan yang mampu melahirkan karya-karya bermutu. Hampir
tidak ada yang menyangsikan karya Pram yang terbit sampai awal tahun 1950. Pengakuan
tersebut juga muncul dari buku terbitan pemerintah Orde Baru yang diperuntukan
bagi siswa sekolah menengah, mahasiswa dan pegangan guru, meski dengan
canggung. Seperti ada kesulitan luar biasa untuk begitu saja melenyapkan Pram
dari panggung sejarah sastra. Pram tidak secara khusus dibahas sebagai tokoh
sastra dari periode tertentu tetapi hanya sepintas muncul pada bagian pengantar
sastra periode 1950an.
Pram setidaknya muncul
dua kali. Kemunculan pertama terkait polemik krisis sastra Indonesia pada era
1950an. Pram dikatakan sebagai sosok yang mampu menerbitkan roman-roman tebal
pada masa kebanyakan sastrawan Indonesia tidak mampu melakukannya.[2]
Kemunculan kedua Pram adalah ketika dia disebut sebagai salah satu guru pertama
bagi generasi baru sastrawan Indonesia. Generasi yang tidak lagi mengambil
satrawan asing sebagai guru pertamanya sebagaimana yang dilakukan sastrawan
Indonesia generasi sebelumnya.[3] Selanjutnya
Pram tidak pernah muncul lagi. Padahal buku tersebut membahas periodisasi
sastra dan sastrawan yang termasuk di dalamnya sampai periode 1970an. Sementara buku itu sendiri terbit tahun 1990.
Keberadaannya dalam
lingkaran gelanggang sampai dengan beberapa agenda ke luar negeri (Belanda 1953
dan Tiongkok 1956) di mana Pram diundang sebagai wakil sastrawan Indonesia telah
menjadi bukti yang tak terbantahkan,[4]
Pram telah mendapat reputasi sastrawan nasional. Pram pada fase inilah yang
bisa kita lihat sebagai wajah pertama Pram. Pram yang bahkan kapasitasnya tak
bisa begitu saja diabaikan oleh buku kanon sastra terbitan orde baru. Orde yang
paling getol berusaha melenyapkan Pram dan karya-karyanya.
Pada wajah pertama ini
pula kita bisa melihat Pram yang menjaga jarak dengan segala yang berbau pilitk.
Dia merupakan bagian dari lingkaran gelanggang yang merupakan kelompok
intelektual dan seniman non politis. Mereka menolak memihak partai politik atau
ideologi tertentu. Pram sendiri pada masa ini melahirkan karya sastra yang
menunjukkan keengganannya pada politik. Karya memang tidak bisa secara serta
merta diklaim sebagai juga perwujudan pandangan sang penulis. Untunglah pada
Pram telah ada studi mendalam dari Savitri Scherer yang berusaha mencari keterkaitan
antara dunia nyata dan dunia kreatifnya.[5]
Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa ada keterkaitan erat antara dunia
nyata dan dunia fiksi Pram. Termasuk juga pandangan politiknya yang ternyata
memberikan pengaruh besar terhadap karya-karyanya.
Keengganan Pram pada politik yang tercermin
dalam karya fiksinya “Dia Yang Menyerah”, terbit pertama kali pada 1952. Karya tersebut mengisahkan pergulatan sebuah
keluarga terpandang yang akhirnya cerai berai ditengah badai revolusi. Pada
karya tersebut diperlihatkan bahwa pada masa sulit di tengah pergolakan
revolusi keberpihakan politik juga terhadap PKI justru membawa malapetaka.
Mereka yang berpolitik baik yang sepenuh hati maupun sekedar cari untung
terperosok dalam akhir hidup yang tragis. Sementara mereka yang selamat dalam
hal ini tokoh utama “Sri” adalah yang mengambil sikap kepasifan khas
tradisional Jawa.[6]
Pandangan dalam karya tersebut tidak bisa kita lepaskan dari pandangan pribadi
Pram sendiri ketika karya tersebut dibuat.
LEKRA
Ada perubahan mendasar
dalam pandangan politik yang memberikan warna pada karya Pram semenjak akhir
1950an sampai penangkapannya oleh militer pada 1965. Masa ketika Pram mulai
akrab hingga akhirnya menjadi bagian dari sastrawan kiri. Periode yang
seringkali dilihat sebagai noda dalam riwayat kepengarangan Pram. Beberapa
kritikus dan seniman dengan tegas memisahkan Pram sebelum dan sesudah menjadi
bagian dari pengarang kiri yang dinaungi oleh LEKRA. Jika dulu Pram diakui
sebagai sastrawan yang mampu melahirkan karya bermutu maka pasca bergabung
dengan LEKRA dia seringkali dilihat sebagai sastrawan yang hanya bisa
melahirkan karya pamflet. Akhirnya dalam wacana dan kebudayaan intelektual
Indonesia setidaknya ada dua wajah Pram.[7] Dari
sinilah kita akan coba melihat wajah kedua Pram. Wajah yang memicu kontroversi
yang tidak begitu saja selesai setelah kematiannya.
Perubahan kecenderungan
politik Pram nampak jelas dengan lahirnya esai “Djembatan Gantung dan Konsepsi
Presiden” termuat dalam Bintang Merah, jurnal terortis PKI edisi 24 Februari
1957. Pram dalam esai tersebut menyatakan dukungannya kepada konsepsi preiden
Sukarno yang kemudian hari menemukan bentuknya dan kita kenal sebagai demokrasi
terpimpin. Pram juga menjelaskan perubahan sikapnya terhadap PKI. Pram termasuk
salah satu tokoh sastra yang pertama mendukung konsepsi tersebut. Pada esai
tersebut ia menjelaskan kebenciaanya kepada PKI pada masa terdahulu adalah
lebih karena hasil bacaan buku-buku barat.[8]
Serentak nampak perubahan drastis dari sikap Pram yang dulunya menjaga jarak
dengan politik dan membenci PKI. Secara tidak langsung kita bisa melihat esai
tersebut sebagai deklarasi Pram untuk tidak lagi menjaga jarak dengan politik
sekaligus menunjukkan simpatinya pada gerakan politik tertentu. Pada masa
selanjutnya Pram secara konsisten berdiri rapat dengan presiden dan
menggabungkan diri dalam jajaran penulis kiri yang terhimpun dalam LEKRA. Keputusan
yang juga memberikan warna kepada karya-karyanya baik non fiksi maupun fiksi.
Pada puncak
aktivitasnya di dalam LEKRA menurut Savitri Scherer, Pram bisa dikatakan
benar-benar luruh dalam ideologi. Dia berusaha menerapkan metode dalam
mengerjakan karya kreatif sesuai dengan yang digariskan LEKRA. Pram juga aktif
terlibat dalam konfrontasi terbuka membela pendirian LEKRA yaitu politik
sebagai panglima dan seni untuk rakyat. Tulisan Pram dalam dalam rangka
konfrontasi itulah yang seringkali dinilai sebagai karya-karya pamfleter yang
kurang bermutu dan sekedar menunjukkan keinginannya membabat lawan-lawanya.
Seringkali orang lupa melihat bahwa pada masa ini Pram melakukan kerja-kerja
kepenulisan yang serius dan bermutu. Dia juga mulai secara serius melakukan
studi dan menyusun bahan-bahan terkait sejarah Indonesia yang akan menjadi
dasar bagi karya-karya kelak yang lahir di pulau Buru.[9] Pada masa ini juga lahir salah satu fiksi
terbaiknya yaitu Gadis Pantai. Fiksi revolusioner yang tidak pernah terbit
secara utuh.[10]
Pertanyaan yang masih menggantung adalah apa kiranya yang menyebabkan perubahan
radikal dalam diri Pram. Mengapa dia yang dulunya menjaga jarak sekarang justru
luruh dalam politik.
Tidak mudah mencari
jawaban atas pertanyaan tersebut. Tulisan Ayip Rosidi “Perubahan Sikap
Pramoedya Ananta Toer” kiranya dapat membantu kita.[11]
Menurut Ayip perubahan dalam diri Pram tidak bisa dilepaskan dari kesulitan
hidup yang dialaminya. Pram yang telah mengambil jalan sebagai penulis penuh
harus mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa. Menjadi penulis terutama
penulis fiksi pada masa awal kemerdekaan belum merupakan profesi yang mampu
sepenuhnya dijadikan tumpuan hidup. Tidak terkecuali bagi seorang penulis tenar
sekalipun. Pada keadaan yang sulit inilah ternyata kelompok penulis kiri yang
datang memberikan uluran tangan kepada Pram. Adalah AS Dharta Sekretaris
Jenderal LEKRA yang datang mendekatinya.[12]
Pram sendiri tidak memungkiri adanya pengaruh, bahwa dari diskusinya dengan
para penulis kiri terutama AS Dharta telah membukakan hal-hal baru baginya.
Begitu besar perubahan pandangan yang menerpanya hingga Pram menggambarkannya
“sebagai bayi yang baru dilahirkan kembali (dan) mulai belajar kembali
meninggalkan Rahim ibunya, menyesuaikan diri dengan terang matahari”.[13]
Sementara faktor diatas
begitu pribadi ada faktor lain yang lebih struktural tidak boleh dilupakan. Keretakan
Pram dengan sastrawan lingkar gelanggang dan kondisi negara ketika itu yang
terus dipolitisir oleh presiden Sukarno. Tidak begitu jelas apakah ini sudah
merupakan pengaruh diskusinya dengan para penulis kiri tetapi sejak 1952 Pram
telah memperlihatkan kecenderungannya kearah yang berbeda dengan sastrawan
lingkar gelanggang. Pram dalam esai “Kesustraan dan Perdjuangan” yang
ditulisnya pada April 1952 telah berpendapat bahwa karya-karya besar sastra
lahir dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup.[14]
Ketegangan makin memuncak ketika Balfas melalui tinjauan formalistik
melancarkam kritiknya pada cerpen Pram yang berjudul Ketjapi. Selanjutnya Pram
makin berada dalam kutub yang terdamaikan dengan para seniman dan intelektual
lingkar gelanggang. Dia kemudian merasa bahwa kelompok sastrawan kirilah yang
lebih mampu mewadahi pandangannya.
Sementara di sisi lain
oleh presiden Sukarno negara terus diarahkan pada kondisi revolusioner yang
sangat politis. Setiap orang diajak untuk berpolitik dan berorganisasi. Pada
masa-masa tersebut adalah biasa jika kelompok masyarakat yang sekarang kita
kenal apolitis seperti seniman dan inteltual juga terlibat dan secara terang
menunjukkan keberpihakan politiknya.[15] Perpaduan
beragam faktor itulah yang kiranya mengantarkan Pram pada pandangan barunya
yang juga diiringi dengan komitmennya dalam berkarya. Keberadaannya di dalam
LEKRA keberpihakannya kepada PKI dan konsepsi politik presiden Sukarno
nampaknya lebih merupakan sebagai alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan
berdasarkan keyakinannya sendiri. Setidaknya begitulah Pram menjelaskan
kemudian hari baik tersurat melalui jawaban langsung maupun tersirat melalui
komitmennya dalam berkarya sampai akhir hayat.
PASCA
LEKRA
1 Oktober 1965 pecah
peristiwa yang oleh presiden Sukarno dikatakan sebagai riak kecil diantara
gelombang besar. Riak kecil yang ternyata terus bergulung-gulung membesar
hingga menggulung presiden Sukarno, para pendukung dan seluruh bangunan
politiknya. PKI dan seluruh oragnisasi yang berdekatan dengannya yang berdiri
rapat dengan presiden Sukarno mulai digulung habis. Pram dengan demikian juga
harus menerima konsekuaensi dari keberpihakan politiknya. Menjadi korban atas
nama penumpasan kaum pemberontak dan pengkhianat sampai ke akar-akarnya. Pram ditangkap lalu diangkut ke pulau Buru setelah sebelumnya dianiaya dan
dijarah rumahnya. Penjarahahan yang juga memusnahkan begitu banyak koleksi dan
hasil kerja kerasnya. Penguasa yang baru berhasil setidaknya untuk sementara
menghentikan kerja keras Pram dalam menulis.
Beberapa tahun
menjalani kehidupan di pulau Buru Pram akhirnya diizinkan menulis. Pemerintah
akhirnya mau sedikit melunak terutama karena tekanan dunia internasional.
Mulailah Pram memasuki fase baru dalam karir kepenulisannya. Selama di pulau
Buru dia menghasilkan begitu banyak naskah mulai catatan pribadi, fiksi, sampai
penelitian terkait perempuan yang dijadikan budak nafsu oleh tentara Jepang.
Karya yang paling terkenal adalah tetralogi buru. Empat fiksi tebal dengan
latar belakang masa awal pergerakan.[16]
Karya yang secara pribadi mengawali perkenalan saya dengan Pram. Pengalaman
yang kiranya juga dialami oleh mereka yang seangkatan dengan saya yang menjadi
mahasiswa pada masa pasca reformasi. Mengingat karya Pram yang beredar pada
masa itu bahkan sampai hari ini adalah karya-karya yang lahir di Pulau Buru dan
yang sesudahnya. Agak sulit menemukan karya-karya Pram yang lahir semasa di
LEKRA dan masa sebelumnya.
Selama penahanan di
pulau Buru inilah menurut Goenawan Mohamad (GM), Pram justru mencapai
puncaknya. Masa justru ketika tidak ada lagi partai atau organisasi dengan
doktrin dan pertimbangan tertentu yang mempengaruhi. Namun Pram meninggal
dengan mewarisi gagasan sastra yang kontroversial yang lahir terutama selama dia
bernaung di LEKRA.[17] Secara
tidak langsung Goenawan Mohamad menciptakan pemisahan antara Pram ketika di
LEKRA dan Pram ketika di pulau Buru. GM dengan sengaja memisahkan Pram dengan
komitmen politiknya. Tepat disinilah bagi saya GM telah menciptakan wajah pram
yang ketiga yaitu Pram dalam karya Pulau Buru atau Pram pasca LEKRA. Wajah Pram
yang terakhir inilah yang kiranya dikenal oleh generasi angkatan saya jika
berkaca pada pengalaman pribadi dan situasi yang telah saya singgung. Wajah
yang secara sepintas lalu tercermin dalam halaman akhir karya-karyanya yang
diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Penulis dengan banyak karya dan penghargaan
internasional tetapi masih dengan gamang diterima di negerinya sendiri karena dosa
keberpihakan politiknya di masa lalu.
Merangkai
yang Diretakkan
Uraian diatas lebih
merupakan melihat Pram dari sudut pandang bagaimana keberadaannya diterima
terutama di dalam negerinya sendiri. Pram dengan karya-karyanya telah
mengukuhkan diri sebagai sosok yang tidak bisa begitu saja dianggap tidak
pernah ada. Meski demikian ada keengganan dari beberapa pihak tertentu. Mereka
membuat sekat yang keras antara sebelum, selama dan setelah aktivitas Pram di
dalam LEKRA. Walhasil muncul bukan hanya satu wajah Pram dalam wacana
intelektual dan kebudayaan di negeri ini. Pram yang dihormati karena kualitas
karya-karyanya, Pram yang dihujat karena pilihan politiknya, dan Pram yang
malu-malu diakui sembari dipisahkan dari komitmen politiknya.
Retak-retak yang
memunculkan banyak wajah tersebut tidak lepas dari kontroversi terhadap LEKRA,
PKI, dan politik presiden Sukarno. Ketiganya masih menjadi perdebatan. Namun
ada kesamaan visi yang menjadikannya sejalan dan diambil Pram sebagai jalan.
Aliansi Sukarnoisme radikal begitulah Max Lane menyebutnya. Aliansi
revolusioner yang memperjuangkan rakyat banyak yang miskin dan konsisten
menolak penjajahan dalam bentuk baru yang dikenal dengan istilah Nekolim.[18]
Visi itulah yang terbukti tidak pernah ditinggalkan oleh Pram sepanjang
hayatnya.[19] Maka bagi saya sejatinya Pram tetaplah Pram
yang satu. Kalau pun ada perubahan terhadap pandangan politiknya itu lebih
merupakan perkembangan yang wajar. Bahwa seorang manusia nampak berbeda dalam
pandangan banyak pihak adalah biasa. Namun sengaja membuat retak-retak yang
memunculkan banyak wajah demi kepentingan tertentu merupakan soal yang berbeda.
Tidak adil jika kita hanya mau menerima sebagain dari fase hidup Pram yang
sesuai dengan kepentingan kita sendiri. Lalu dengan semena-mena menghujat fase
yang lain. Kini setelah sepuluh tahun kematiannya bisakah negara memahami untuk
kemudian berlaku adil kepada Pram dan pilihan politiknya ?
[1]
August Hans den Boef dan Kees Snoek, 2008, Saya
Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta
Toer, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 48.
[2]
Soekono Wirjosoedarmo, 1990, Pengantar ke
Arah Studi Sastra III Sastra Indonesia Modern, Surabaya: Sinar Wijaya, hlm.
145.
[3]
Ibid. 147.
[4]
Hilmar Farid, Pramoedya dan Historiografi
Indonesia dalam Henk Schulte Nordolt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari
(ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indonseia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 83-85.
[5]
Savitri Scherer, 2012, PRAMOEDYA ANANTA
TOER Luruh dalam Ideologi, Jakarta: Komunitas Bambu.
[6]
Ibid., hlm. 21.
[7]
Hilmar Farid op.cit., hlm. 81.
[8]
Savitri Scherer, op.cit., hlm. 79.
[9]
Hilmar Farid, op.,cit, 88-89.
[10]
Savitri Scherer, op.cit., hlm.
102-103.
[11]
Ayip Rosidi, Perubahan Sikap Pramoedya Ananta Toer, Kata Pengantar dalam
Savitri Scherer, op.cit., hlm. xiii.
[12]
Ayip Rosidi, op.cit., hlm. xvi.
[13]
Hilmar Farid op.cit., hlm. 84-85.
[14]
Safitri Scherer, op.cit., hlm. 46.
[15]
Adrian Vicker hlm. 223.
[16]
Hilmar Farid, op.cit., hlm. 103.
[17]
http://ekakurniawan.net/blog/pengantar-sastra-realisme-sosialis-2927.php
[18]
Max Lane, 2012, Malapetaka di Indonesia Sebuah Esai Renungan tentang Pengalaman
Sejarah Gerakan Kiri, tanpa keterangan kota terbit: Djaman Baroe, hlm. viii-ix.
[19]
Misalnya Pram pada 1997 secara terbuka menyatakan keikutsertaannya dengan PRD
partai yang menjadi representasi kekuatan kiri di Indonesia pada masa itu,
Lihat Max Lane op.cit., hlm. 76. Pram pada tahun 2000 juga dengan tegas
menjawab surat Goenawan Mohamad tentang permintaan maaf terhadap para eks tapol
yang menurutnya hanya sekedar basa-basi saja. Terlihat bahwa Pram sampai usia
senjanya masih punya komitmen kuat terhadap pilihan politiknya, lihat https://boemipoetra.wordpress.com/2013/03/09/gm-vs-pram/.
0
komentar |