Posted on Sabtu, 30 April 2016 Memahami Pram dan Keberpihakan Politiknya



Memahami Pram dan Keberpihakan Politiknya
Oleh Dhani Kurniawan

Keriuhan yang dipicu Caping Goenawan Mohamad yang menyinggung Pramoedya Ananta Toer “Maaf” mengingatkan saya kejadian setahun yang lalu. Ketika itu saya adalah seorang mahaiswa yang baru saja menempuh sidang skripsi. Suatu hari tanpa sengaja saya bertemu dengan sebuah pamflet yang ditempel di depan warnet kampus. Ada pengumuman menarik di dalamnya. Akan diselenggarakan rangkaian acara memperingati haul Pramoedya Ananta Toer yang salah satu agendanya adalah sayembara penulisan. Terlebih ada hadiah bagi pemenang. Saya pikir ini kesempatan bagus. Mungkin saya bisa mendapat hadiah lalu bisa menggunakannya sebagai tambahan ongkos mencetak skripsi. Saya belum pernah mengikuti sayembara menulis tetapi kali ini saya memberanikan diri. Apalagi temanya Pram. Sosok yang karyanya tidak asing lagi bagi saya.
Selang beberapa hari akhirnya saya menyelesaikan sebuah tulisan. Mungkin tidak begitu bagus tetapi ada sedikit harapan kepadanya. Setelah mengirim kepada panitia lewat email yang tercantum dalam pamflet lalu saya menunggu sampai batas waktu pengumuman. Hari demi hari sampai batas waktu terlewati. Sama sekali tidak ada kabar. Saya pikir pasti tulisan itu tidak lolos. Berselang lama setelah itu baru saya tahu apa yang terjadi. Bukan hanya tulisan saya yang tidak lolos tetapi acara itu sendiri juga tidak lolos. Lebih tepatnya acara tersebut dibatalkan karena tidak mendapat izin pihak birokrat kampus. Entah pertimbangan macam apa yang diambil birokrat. Besar kemungkinan sebabnya adalah riwayat kepengarangan Pram yang tidak bisa dilepaskan dari riwayat keberpihakan politiknya pada LEKRA dan PKI.
Sekian tahun setelah jatunya orde baru ternyata Pram masih merupakan sosok yang kontroversial. Karya-karyanya mulai diakui di dalam negeri sendiri terutama karena nama besarnya di kancah internasional (meski juga bukan berarti tanpa kecaman dari pihak tertentu) yang tak terbantahkan.[1] Sementara di sisi lain di negeranya sendiri masih ada kegamangan tentang bagaimana harus menempatkan seorang Pram. Terutama terkait riwayat sikap dan afiliasinya dalam politik.
Pra LEKRA
Ada fase di mana Pram diakui sebagai sastrawan yang mampu melahirkan karya-karya bermutu. Hampir tidak ada yang menyangsikan karya Pram yang terbit sampai awal tahun 1950. Pengakuan tersebut juga muncul dari buku terbitan pemerintah Orde Baru yang diperuntukan bagi siswa sekolah menengah, mahasiswa dan pegangan guru, meski dengan canggung. Seperti ada kesulitan luar biasa untuk begitu saja melenyapkan Pram dari panggung sejarah sastra. Pram tidak secara khusus dibahas sebagai tokoh sastra dari periode tertentu tetapi hanya sepintas muncul pada bagian pengantar sastra periode 1950an.
Pram setidaknya muncul dua kali. Kemunculan pertama terkait polemik krisis sastra Indonesia pada era 1950an. Pram dikatakan sebagai sosok yang mampu menerbitkan roman-roman tebal pada masa kebanyakan sastrawan Indonesia tidak mampu melakukannya.[2] Kemunculan kedua Pram adalah ketika dia disebut sebagai salah satu guru pertama bagi generasi baru sastrawan Indonesia. Generasi yang tidak lagi mengambil satrawan asing sebagai guru pertamanya sebagaimana yang dilakukan sastrawan Indonesia generasi sebelumnya.[3] Selanjutnya Pram tidak pernah muncul lagi. Padahal buku tersebut membahas periodisasi sastra dan sastrawan yang termasuk di dalamnya sampai periode 1970an.  Sementara buku itu sendiri terbit tahun 1990.
Keberadaannya dalam lingkaran gelanggang sampai dengan beberapa agenda ke luar negeri (Belanda 1953 dan Tiongkok 1956) di mana Pram diundang sebagai wakil sastrawan Indonesia telah menjadi bukti yang tak terbantahkan,[4] Pram telah mendapat reputasi sastrawan nasional. Pram pada fase inilah yang bisa kita lihat sebagai wajah pertama Pram. Pram yang bahkan kapasitasnya tak bisa begitu saja diabaikan oleh buku kanon sastra terbitan orde baru. Orde yang paling getol berusaha melenyapkan Pram dan karya-karyanya.
Pada wajah pertama ini pula kita bisa melihat Pram yang menjaga jarak dengan segala yang berbau pilitk. Dia merupakan bagian dari lingkaran gelanggang yang merupakan kelompok intelektual dan seniman non politis. Mereka menolak memihak partai politik atau ideologi tertentu. Pram sendiri pada masa ini melahirkan karya sastra yang menunjukkan keengganannya pada politik. Karya memang tidak bisa secara serta merta diklaim sebagai juga perwujudan pandangan sang penulis. Untunglah pada Pram telah ada studi mendalam dari Savitri Scherer yang berusaha mencari keterkaitan antara dunia nyata dan dunia kreatifnya.[5] Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa ada keterkaitan erat antara dunia nyata dan dunia fiksi Pram. Termasuk juga pandangan politiknya yang ternyata memberikan pengaruh besar terhadap karya-karyanya.
 Keengganan Pram pada politik yang tercermin dalam karya fiksinya “Dia Yang Menyerah”, terbit pertama kali pada 1952.  Karya tersebut mengisahkan pergulatan sebuah keluarga terpandang yang akhirnya cerai berai ditengah badai revolusi. Pada karya tersebut diperlihatkan bahwa pada masa sulit di tengah pergolakan revolusi keberpihakan politik juga terhadap PKI justru membawa malapetaka. Mereka yang berpolitik baik yang sepenuh hati maupun sekedar cari untung terperosok dalam akhir hidup yang tragis. Sementara mereka yang selamat dalam hal ini tokoh utama “Sri” adalah yang mengambil sikap kepasifan khas tradisional Jawa.[6] Pandangan dalam karya tersebut tidak bisa kita lepaskan dari pandangan pribadi Pram sendiri ketika karya tersebut dibuat.
LEKRA
Ada perubahan mendasar dalam pandangan politik yang memberikan warna pada karya Pram semenjak akhir 1950an sampai penangkapannya oleh militer pada 1965. Masa ketika Pram mulai akrab hingga akhirnya menjadi bagian dari sastrawan kiri. Periode yang seringkali dilihat sebagai noda dalam riwayat kepengarangan Pram. Beberapa kritikus dan seniman dengan tegas memisahkan Pram sebelum dan sesudah menjadi bagian dari pengarang kiri yang dinaungi oleh LEKRA. Jika dulu Pram diakui sebagai sastrawan yang mampu melahirkan karya bermutu maka pasca bergabung dengan LEKRA dia seringkali dilihat sebagai sastrawan yang hanya bisa melahirkan karya pamflet. Akhirnya dalam wacana dan kebudayaan intelektual Indonesia setidaknya ada dua wajah Pram.[7] Dari sinilah kita akan coba melihat wajah kedua Pram. Wajah yang memicu kontroversi yang tidak begitu saja selesai setelah kematiannya.
Perubahan kecenderungan politik Pram nampak jelas dengan lahirnya esai “Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden” termuat dalam Bintang Merah, jurnal terortis PKI edisi 24 Februari 1957. Pram dalam esai tersebut menyatakan dukungannya kepada konsepsi preiden Sukarno yang kemudian hari menemukan bentuknya dan kita kenal sebagai demokrasi terpimpin. Pram juga menjelaskan perubahan sikapnya terhadap PKI. Pram termasuk salah satu tokoh sastra yang pertama mendukung konsepsi tersebut. Pada esai tersebut ia menjelaskan kebenciaanya kepada PKI pada masa terdahulu adalah lebih karena hasil bacaan buku-buku barat.[8] Serentak nampak perubahan drastis dari sikap Pram yang dulunya menjaga jarak dengan politik dan membenci PKI. Secara tidak langsung kita bisa melihat esai tersebut sebagai deklarasi Pram untuk tidak lagi menjaga jarak dengan politik sekaligus menunjukkan simpatinya pada gerakan politik tertentu. Pada masa selanjutnya Pram secara konsisten berdiri rapat dengan presiden dan menggabungkan diri dalam jajaran penulis kiri yang terhimpun dalam LEKRA. Keputusan yang juga memberikan warna kepada karya-karyanya baik non fiksi maupun fiksi.
Pada puncak aktivitasnya di dalam LEKRA menurut Savitri Scherer, Pram bisa dikatakan benar-benar luruh dalam ideologi. Dia berusaha menerapkan metode dalam mengerjakan karya kreatif sesuai dengan yang digariskan LEKRA. Pram juga aktif terlibat dalam konfrontasi terbuka membela pendirian LEKRA yaitu politik sebagai panglima dan seni untuk rakyat. Tulisan Pram dalam dalam rangka konfrontasi itulah yang seringkali dinilai sebagai karya-karya pamfleter yang kurang bermutu dan sekedar menunjukkan keinginannya membabat lawan-lawanya. Seringkali orang lupa melihat bahwa pada masa ini Pram melakukan kerja-kerja kepenulisan yang serius dan bermutu. Dia juga mulai secara serius melakukan studi dan menyusun bahan-bahan terkait sejarah Indonesia yang akan menjadi dasar bagi karya-karya kelak yang lahir di pulau Buru.[9]  Pada masa ini juga lahir salah satu fiksi terbaiknya yaitu Gadis Pantai. Fiksi revolusioner yang tidak pernah terbit secara utuh.[10] Pertanyaan yang masih menggantung adalah apa kiranya yang menyebabkan perubahan radikal dalam diri Pram. Mengapa dia yang dulunya menjaga jarak sekarang justru luruh dalam politik.
Tidak mudah mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Tulisan Ayip Rosidi “Perubahan Sikap Pramoedya Ananta Toer” kiranya dapat membantu kita.[11] Menurut Ayip perubahan dalam diri Pram tidak bisa dilepaskan dari kesulitan hidup yang dialaminya. Pram yang telah mengambil jalan sebagai penulis penuh harus mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa. Menjadi penulis terutama penulis fiksi pada masa awal kemerdekaan belum merupakan profesi yang mampu sepenuhnya dijadikan tumpuan hidup. Tidak terkecuali bagi seorang penulis tenar sekalipun. Pada keadaan yang sulit inilah ternyata kelompok penulis kiri yang datang memberikan uluran tangan kepada Pram. Adalah AS Dharta Sekretaris Jenderal LEKRA yang datang mendekatinya.[12] Pram sendiri tidak memungkiri adanya pengaruh, bahwa dari diskusinya dengan para penulis kiri terutama AS Dharta telah membukakan hal-hal baru baginya. Begitu besar perubahan pandangan yang menerpanya hingga Pram menggambarkannya “sebagai bayi yang baru dilahirkan kembali (dan) mulai belajar kembali meninggalkan Rahim ibunya, menyesuaikan diri dengan terang matahari”.[13]  
Sementara faktor diatas begitu pribadi ada faktor lain yang lebih struktural tidak boleh dilupakan. Keretakan Pram dengan sastrawan lingkar gelanggang dan kondisi negara ketika itu yang terus dipolitisir oleh presiden Sukarno. Tidak begitu jelas apakah ini sudah merupakan pengaruh diskusinya dengan para penulis kiri tetapi sejak 1952 Pram telah memperlihatkan kecenderungannya kearah yang berbeda dengan sastrawan lingkar gelanggang. Pram dalam esai “Kesustraan dan Perdjuangan” yang ditulisnya pada April 1952 telah berpendapat bahwa karya-karya besar sastra lahir dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup.[14] Ketegangan makin memuncak ketika Balfas melalui tinjauan formalistik melancarkam kritiknya pada cerpen Pram yang berjudul Ketjapi. Selanjutnya Pram makin berada dalam kutub yang terdamaikan dengan para seniman dan intelektual lingkar gelanggang. Dia kemudian merasa bahwa kelompok sastrawan kirilah yang lebih mampu mewadahi pandangannya.
Sementara di sisi lain oleh presiden Sukarno negara terus diarahkan pada kondisi revolusioner yang sangat politis. Setiap orang diajak untuk berpolitik dan berorganisasi. Pada masa-masa tersebut adalah biasa jika kelompok masyarakat yang sekarang kita kenal apolitis seperti seniman dan inteltual juga terlibat dan secara terang menunjukkan keberpihakan politiknya.[15] Perpaduan beragam faktor itulah yang kiranya mengantarkan Pram pada pandangan barunya yang juga diiringi dengan komitmennya dalam berkarya. Keberadaannya di dalam LEKRA keberpihakannya kepada PKI dan konsepsi politik presiden Sukarno nampaknya lebih merupakan sebagai alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan berdasarkan keyakinannya sendiri. Setidaknya begitulah Pram menjelaskan kemudian hari baik tersurat melalui jawaban langsung maupun tersirat melalui komitmennya dalam berkarya sampai akhir hayat. 
PASCA LEKRA
1 Oktober 1965 pecah peristiwa yang oleh presiden Sukarno dikatakan sebagai riak kecil diantara gelombang besar. Riak kecil yang ternyata terus bergulung-gulung membesar hingga menggulung presiden Sukarno, para pendukung dan seluruh bangunan politiknya. PKI dan seluruh oragnisasi yang berdekatan dengannya yang berdiri rapat dengan presiden Sukarno mulai digulung habis. Pram dengan demikian juga harus menerima konsekuaensi dari keberpihakan politiknya. Menjadi korban atas nama penumpasan kaum pemberontak dan pengkhianat sampai ke akar-akarnya. Pram ditangkap lalu diangkut ke pulau Buru setelah sebelumnya dianiaya dan dijarah rumahnya. Penjarahahan yang juga memusnahkan begitu banyak koleksi dan hasil kerja kerasnya. Penguasa yang baru berhasil setidaknya untuk sementara menghentikan kerja keras Pram dalam menulis.
Beberapa tahun menjalani kehidupan di pulau Buru Pram akhirnya diizinkan menulis. Pemerintah akhirnya mau sedikit melunak terutama karena tekanan dunia internasional. Mulailah Pram memasuki fase baru dalam karir kepenulisannya. Selama di pulau Buru dia menghasilkan begitu banyak naskah mulai catatan pribadi, fiksi, sampai penelitian terkait perempuan yang dijadikan budak nafsu oleh tentara Jepang. Karya yang paling terkenal adalah tetralogi buru. Empat fiksi tebal dengan latar belakang masa awal pergerakan.[16] Karya yang secara pribadi mengawali perkenalan saya dengan Pram. Pengalaman yang kiranya juga dialami oleh mereka yang seangkatan dengan saya yang menjadi mahasiswa pada masa pasca reformasi. Mengingat karya Pram yang beredar pada masa itu bahkan sampai hari ini adalah karya-karya yang lahir di Pulau Buru dan yang sesudahnya. Agak sulit menemukan karya-karya Pram yang lahir semasa di LEKRA dan masa sebelumnya.
Selama penahanan di pulau Buru inilah menurut Goenawan Mohamad (GM), Pram justru mencapai puncaknya. Masa justru ketika tidak ada lagi partai atau organisasi dengan doktrin dan pertimbangan tertentu yang mempengaruhi. Namun Pram meninggal dengan mewarisi gagasan sastra yang kontroversial yang lahir terutama selama dia bernaung di LEKRA.[17] Secara tidak langsung Goenawan Mohamad menciptakan pemisahan antara Pram ketika di LEKRA dan Pram ketika di pulau Buru. GM dengan sengaja memisahkan Pram dengan komitmen politiknya. Tepat disinilah bagi saya GM telah menciptakan wajah pram yang ketiga yaitu Pram dalam karya Pulau Buru atau Pram pasca LEKRA. Wajah Pram yang terakhir inilah yang kiranya dikenal oleh generasi angkatan saya jika berkaca pada pengalaman pribadi dan situasi yang telah saya singgung. Wajah yang secara sepintas lalu tercermin dalam halaman akhir karya-karyanya yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Penulis dengan banyak karya dan penghargaan internasional tetapi masih dengan gamang diterima di negerinya sendiri karena dosa keberpihakan politiknya di masa lalu.
Merangkai yang Diretakkan
Uraian diatas lebih merupakan melihat Pram dari sudut pandang bagaimana keberadaannya diterima terutama di dalam negerinya sendiri. Pram dengan karya-karyanya telah mengukuhkan diri sebagai sosok yang tidak bisa begitu saja dianggap tidak pernah ada. Meski demikian ada keengganan dari beberapa pihak tertentu. Mereka membuat sekat yang keras antara sebelum, selama dan setelah aktivitas Pram di dalam LEKRA. Walhasil muncul bukan hanya satu wajah Pram dalam wacana intelektual dan kebudayaan di negeri ini. Pram yang dihormati karena kualitas karya-karyanya, Pram yang dihujat karena pilihan politiknya, dan Pram yang malu-malu diakui sembari dipisahkan dari komitmen politiknya.
Retak-retak yang memunculkan banyak wajah tersebut tidak lepas dari kontroversi terhadap LEKRA, PKI, dan politik presiden Sukarno. Ketiganya masih menjadi perdebatan. Namun ada kesamaan visi yang menjadikannya sejalan dan diambil Pram sebagai jalan. Aliansi Sukarnoisme radikal begitulah Max Lane menyebutnya. Aliansi revolusioner yang memperjuangkan rakyat banyak yang miskin dan konsisten menolak penjajahan dalam bentuk baru yang dikenal dengan istilah Nekolim.[18] Visi itulah yang terbukti tidak pernah ditinggalkan oleh Pram sepanjang hayatnya.[19]  Maka bagi saya sejatinya Pram tetaplah Pram yang satu. Kalau pun ada perubahan terhadap pandangan politiknya itu lebih merupakan perkembangan yang wajar. Bahwa seorang manusia nampak berbeda dalam pandangan banyak pihak adalah biasa. Namun sengaja membuat retak-retak yang memunculkan banyak wajah demi kepentingan tertentu merupakan soal yang berbeda. Tidak adil jika kita hanya mau menerima sebagain dari fase hidup Pram yang sesuai dengan kepentingan kita sendiri. Lalu dengan semena-mena menghujat fase yang lain. Kini setelah sepuluh tahun kematiannya bisakah negara memahami untuk kemudian berlaku adil kepada Pram dan pilihan politiknya ? 


[1] August Hans den Boef dan Kees Snoek, 2008, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 48.
[2] Soekono Wirjosoedarmo, 1990, Pengantar ke Arah Studi Sastra III Sastra Indonesia Modern, Surabaya: Sinar Wijaya, hlm. 145.
[3] Ibid. 147.
[4] Hilmar Farid, Pramoedya dan Historiografi Indonesia dalam Henk Schulte Nordolt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonseia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 83-85.
[5] Savitri Scherer, 2012, PRAMOEDYA ANANTA TOER Luruh dalam Ideologi, Jakarta: Komunitas Bambu.
[6] Ibid., hlm. 21.
[7] Hilmar Farid op.cit., hlm. 81.
[8] Savitri Scherer, op.cit., hlm. 79.
[9] Hilmar Farid, op.,cit, 88-89.
[10] Savitri Scherer, op.cit., hlm. 102-103.
[11] Ayip Rosidi, Perubahan Sikap Pramoedya Ananta Toer, Kata Pengantar dalam Savitri Scherer, op.cit., hlm. xiii.
[12] Ayip Rosidi, op.cit., hlm. xvi.
[13] Hilmar Farid op.cit., hlm. 84-85.
[14] Safitri Scherer, op.cit., hlm. 46.
[15] Adrian Vicker hlm. 223.
[16] Hilmar Farid, op.cit., hlm. 103.
[17] http://ekakurniawan.net/blog/pengantar-sastra-realisme-sosialis-2927.php
[18] Max Lane, 2012, Malapetaka di Indonesia Sebuah Esai Renungan tentang Pengalaman Sejarah Gerakan Kiri, tanpa keterangan kota terbit: Djaman Baroe, hlm. viii-ix.
[19] Misalnya Pram pada 1997 secara terbuka menyatakan keikutsertaannya dengan PRD partai yang menjadi representasi kekuatan kiri di Indonesia pada masa itu, Lihat Max Lane op.cit., hlm. 76. Pram pada tahun 2000 juga dengan tegas menjawab surat Goenawan Mohamad tentang permintaan maaf terhadap para eks tapol yang menurutnya hanya sekedar basa-basi saja. Terlihat bahwa Pram sampai usia senjanya masih punya komitmen kuat terhadap pilihan politiknya, lihat https://boemipoetra.wordpress.com/2013/03/09/gm-vs-pram/.

Posted on Senin, 29 Februari 2016 Meraba Tirani Korporasi




Meraba Tirani Korporasi*
Oleh Dhani Kurniawan

Sejak zaman pencerahan sampai pada abad dua puluh gelaran peradaban merupakan lahan tumbuh suburnya ideologi-ideologi. Sederat ideologi yang lahir merupakan cerminan pergumulan manusia mencari pandangan dunia guna memahami keberadaannya. Pergumulan tersebut memuncak pada abad 20 dalam pertarungan antara dua kutub ideologi. Pada kutub kiri sebagai perwujudan dari cita-cita kolektivesme radikal mengkristal menjadi komunisme sementara di kutub kanan sebagai perwujudan dari cita-cita individualisme radikal mengkristal menjadi liberalisme. Dua kutub tersebut membuat dunia seolah terbelah dua, blok komunis yang dipimpin Uni Soviet dan blok liberal yang dipimpin Amerika.
Tentu cara pandangan seperti ini sangat mengeneralisir dan mengabaikan pergolakan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Cara pandang yang dengan tegas ditolak oleh Sukarno. Ada banyak negara di dunia terutama negara yang baru terlepas dari jerat penjajahan seperti Indonesia menolak bergabung dalam salah satu dari kedua kutub tersebut. Indonesia telah mengukuhkan jalannya sendiri yang berpijak pada dasar negara Pancasila. Sejarah membuktikan bahwa kita tak punya pilihan selain memilih merapat di salah satu blok besar. Kita dipaksa memilih hanya dari pilihan yang ada. Negeri ini terseret antara dua kutub besar dan harus membayar mahal untuk setiap keputusan yang diambil. Kecenderungan kiri telah menyebabkan Sukarno digerogoti dan dipaksa lengser. Juga dihancurkannya gerakan-gerakan kerakyatan dengan penyiksaan dan pembantaian yang mengerikan. Lalu kecenderungan ke kanan yang dipilih Soeharto telah mengantarkan negeri ini tunduk pada skenario menjadi negara dunia ketiga. Kita makin mantap mengukuhkan posisi sebagai negara penyetok komoditas, tenaga kerja murah serta pasar bagi negara industri blok kanan.
Berakhirnya abad dua puluh sekaligus mengantarkan kita menapaki babak baru sejarah peradaban umat manusia. Uni Soviet runtuh diikuti oleh jatuhnya presiden Soeharto. Blok kiri dan seluruh teori komunis mengalami kemerosotan reputasi. Blok kanan tak butuh lagi rekan penguasa dunia ketiga yang mengelola negara dengan tangan besi. Seolah kita telah melewati masa-masa melelahkan pertarungan ideologi. Secara resmi negara ini memang masih Pancasila. Namun lihatlah arah kebijakan-kebijakan strategis dan tidak akan sulit untuk mengenali diam-diam kita masih merapat ke kanan. Apakah liberalisme yang mengasumsikan berpadunya ekonomi liberal dan politik demokrasi sebagai pilihan ideal telah menjadi mutlak. Benarkah itu semua membawa kebaikan terutama bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia.  
Mari perlahan kita meraba apa yang sedang menuntun kita. Babak baru macam apa yang tengah kita masuki. Saya akan mulai dengan mempertanyakan paduan antara ekonomi liberal dan politik demokrasi. Benarkah politik yang demokratis hanya bisa tumbuh di tengah sistem ekonomi yang liberal. Saya tak akan mempertanyakan demokrasi karena demokrasi bagi saya sampai saat ini masih merupakan jalan terbaik. Tentu demokrasi yang saya maksud adalah demokrasi substansial di mana pemerintahan benar-benar dijalankan untuk rakyat dan sepenuhnya dalam kendali rakyat. Bukan demokrasi seremonial di mana rakyat hanya punya hak pilih di TPS tetapi selanjutnya tak punya akses sama sekali terhadap jalannya pemerintahan.
 Pasca jatuhnya Soeharto kita didorong untuk membuka kran-kran ekonomi sebagai penyeimbang tatanan politik yang secara formal makin liberal. Liberalisasi ekonomi mengasumsikan semakin terkikisnya monopoli ekonomi oleh negara dan penguasa. Maka banyak sektor yang dulunya dikelola negara dilepas ke swasta. Beberapa pihak mengklaim ini sebagai proses demokratisasi ekonomi. Sayangnya proses itu juga berarti merupakan proses pelepasan pengelolaan yang berbasis publik ke privat. Negara punya tanggungjawab ke publik dan tidak boleh beroriantasi laba. Sementara itu swasta bertanggungjawab ke pemilik modal dan beroriantasi laba. Negara bagaimanapun adalah lembaga publik yang secara resmi rakyat punya hak atasnya sementara swasta adalah lembaga privat di mana rakyat tidak punya hak atasnya. Tepat di titik ini kita mulai melihat ada sesuatu yang ganjil.
Masalah lebih ruet lagi ketika kita menyadari bahwa pihak swasta yang merangsek bukanlah usaha-usaha yang berakar pada usaha rakyat kebanyakan. Swasta yang paling memenuhi syarat untuk bertarung adalah mereka yang telah memiliki akumulasi modal besar dan koneksi pada penguasa. Perusahaan swasta besar tersebut, yang setelah ini akan saya sebut korporasi. Mereka adalah elit yang tumbuh karena perlakuan istimewa dari penguasa. Pada kasus Indonesia kelompok ini adalah para korporat lingkar dalam Soeharto. Mereka menjadi besar tidak lepas dari hak-hak istimewa yang di dapat dari penguasa yang sangat protektif dan monopolistik. Kita bisa meraba, apa yang terjadi pada dasarnya bukan melepas monopoli dari pemerintah otoriter ke publik demokratis tetapi dari pemerintah otoriter ke tirani korporasi. Suatu tirani model baru yang lebih halus tapi tak kalah mematikan daripada tirani birokrasi dalam negara totaliter.
 Liberalisasi bahkan penerapan kebijakan pasar bebas pada level internasional dalam prakteknya tak bisa dikatakan sebagai demokratisasi ekonomi. Sama sekali tak ada persaingan yang adil. Orang-orang sepeti Noam Chomsky dan David C. Korten telah dengan terang benderang mendedah bahwa liberalisasi ekonomi hanya omong kosong. Apa yang terjadi adalah pemusatan penguasaan ekonomi pada korporasi transnasional yang mampu menembus batas-batas negara. Tentu saja konyol memaksa negara-negara dunia ketiga bertarung di satu arena dengan korporasi transnasional yang mendapat dukungan penuh pemerintah negara besar. Kita bisa melihat kasus sederet mega korporasi besar yang berinduk di Amerika Serikat. Mereka benar-benar mendapat dukungan penuh untuk invasi ke luar. Kita tak perlu jauh-jauh membayangkan karena kasus itu telah dengan telak mengenai kita. Soal Freeport McMoran misalnya. Bukankah keberhasilan korporasi tersebut tumbuh besar dan mencengkram Indonesia tak lepas dari dukungan pemerintah Amerika Serikat.
 Politik yang demokratis tak akan pernah tercipta dengan iklim yang demikian. Korporasi punya sifat yang sangat tertutup bahkan totaliter. Semua berlangsung dalam alur komando yang ketat dari atas ke bawah. Korporasi diam-diam telah membajak cita-cita kemerdekaan Indonesia yang dituangkan secara gamblang dalam tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan negara diam-diam berubah sesuai agenda korporasi. Keuntungan maksimal bagi perusahaan. Rakyat kehilangan kontrol terhadap negara. Korporasi akan berusaha meminimalisir akses publik pada jalannya pemerintahan. Mereka tak akan segan memastikan negara dijalankan oleh orang yang mendukung agenda korporasi. Kalau pun ada demokrasi itu tak lebih dari seremoni demokrasi top down. Suara rakyat hanya akan menjadi legitimasi. Sementara tentang jalannya pemerintahan yang sebenarnya kita tak akan dibiarkan menjangkaunya. Kita harus segera bangun dari ilusi demokrasi yang diciptakan oleh tirani korporasi. Bukan usaha yang mudah karena akses informasi berpengaruh yaitu media besar arus utama adalah juga bagian dari korporasi akan menjaga ilusi nampak nyata. Menjerat kita untuk terus ada di dalamnya. Negeri ini dalam beberapa hal mengikuti pola Tirani Korporasi yang telah terjadi di Amerika Serikat.

Madiun, 28 Februari 2016
*Istilah Tirani Korporasi saya pinjam dari Noam Chomsky
Saya berhutang besar pada Noam Chomsky dan David C. Korten, tulisan ini merupakan usaha saya memahami pemikiran mereka dalam konteks Indonesia.

Rujukan
Chomsky Noam. 2015. How the World Works. Terjemahan Tia Setiadi. Yogyakarta: Bentang.
Korten C. David. 2002. The Post-Corporate World: Kehidupan Setelah Kapitalisme. Terjemahan A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.