Posted on Rabu, 02 Mei 2012 Korupsi dalam Prespektif Sejarah

Korupsi dalam Prespektif Sejarah
oleh Dhani Kurniawan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini hampir setiap hari kita selalu disuguhi pemberitaan tentang korupsi. Pejabat dari tingkat pusat sampai tingkat daerah seolah tidak luput dari jeratan korupsi. Bahkan ada kecenderungan para “koruptor muda” lebih “rakus” daripada para pendahulunya.  Korupsi telah menjelma menjadi penyakit akut yang menjangkiti negara. Kenyataanya upaya pemberantasan korupsi banyak menemui hambatan.
Koruptor saat ini bahkan cenderung lebih sulit diadili karena biasanya mereka melakukan tindak korupsi secara “berjamaah.” Institusi negara yang berwenang menangai masalah korupsi bahkan kehilangan kepercayaan rakyat. Lembaga kepolisian. Kejaksaan , dan kehakiman apabila berfingsi secara maksimal seharusnya mampu menjerat para koruptor. Namun pemerintah malah membentuk lembaga ed-hog yang khusus menangani masalah korupsi yaitu KPK. Rakyat sendiri memang telah kehilangan keprcayaan terhadap kepolisisan, kejaksaan dan kehakiman. Rakyat saat ini lebih menaruh harapan besar kepada KPK.
Sebenarnya apabila ditilik lebih lanjut korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, setidaknya semenjak masa penjajahan Belanda. Korupsi yang dilakukan oleh orang pribumi pada waktu terjadi karena sistem pemerintahan masih tumpang tindih antara sistem tradisional dan sistem modern. Para penguasa probumi cenderung tidak membedakan antara hak-hak sebagai penguasa dan hak-hak pribadi. Tindakan memanfaatkan kedudukan untuk kepentingan pribadi adalah sesuatu yang lumrah saat itu. Pemerintah kolonial Belanda tidak mampu berbuat banyak karena kenyataannya mereka masih membutuhkan para penguasa pribumi sebagai perantara untuk ”menghisap rakyat.”
Para pejabat pribumi yang melakukann tindak korupsi pada masa penjajahn Belanda umumnya para bupati, para demang, dan para aparatur tingkat desa. Posisi mereka yang “unik” memang memungkinkan mereka untuk melakukan tindak korupsi. Belanda membutuhkan para penguasa pribumi sebagai penghubung dengan rakyat jadi penguasa pribumi bisa dikatakan sebagai golongan menengah yang merupakan penghisap rakyat yang sebenarnya. Pemerintah Belanda cenderung membiarkan perilaku korup para pejabat pribumi memingat pentingnya posisi mereka bagi kelangsungan sistem penjajahan. Kondisi tersebut setidaknya dapat kita lihat pada kasus bupati Lebak yang mengihami Douwes Dekker menulis Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kebijakan pemerintah yang memberi peluang terjadinya korupsi ?
2.      Bagaimana otoritarian bupati pada masa penjajahan Belanda ?
3.      Bagaimana terjadinya kasus Lebak ?
C. Tujuan dan Manfaat
1.      Menambah wawasan mengenai permasalahan korupsi di Indonesia dalam prespekti sejarah



BAB II
PEMBAHASAN

Kebijakan Pemerintah Kolonial
Antara tahun 1830-1870 di Jawa sedang berlangsung suatu sistem yang populer dengan sebutan tanam paksa. Sistem tanam paksa yang diperkenalkan di Jawa oleh Johannes Van Den Bosch pada tahun 1830 tujuan utamanya adalah untuk mendpatkan komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar internasional. Komoditi yang dimaksud adalah hasil bumi pertanian beserta pengolahan dasar yang dibutuhkan. Asumsi dasar dari sistem ini adalah masyarakat Jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa. Karena itu petani-petani Jawa harus dibujuk (sebenarnya dipaksa) untuk menggunakan sebagian tanah garapannya  (minimal seperlimanya) dan sebagian tenaga kerjanya (juga seperlima, atau 66 hari dalam setahun) untuk membudidayakan tanaman komoditi ekspor. Kondisi keuangan pemerintah kolonial Belanda saat itu  sangat buruk dan diputuskan penerapan tanam paksa adalah solusinya.
Memang secara teori sistem tanam paksa seharusnya tidak terlalu memberatkan rakyat. Namun penyelengaraannya di lapangan berkata lain. Tanah rakyat yang ditanami tanaman ekspor sering lebih dari seperlima, begitu juga tenaga yang harus dikerahkan untuk mengerjakan tanaman ekspor sering melebihi aturan resmi. Tidak dapat dipungkiri sebenarnya para penguasa lokal terutama bupati justru memparah penderitaan rakyat. Para bupati sering hidup bermewah-mewah sekedar untuk gengsi, untuk lebih dihormati, ditakuti, dan alasan-alasan lain yang tidak dapat dibenarkan. Para bupati adalah perantara bagi pemerintah kolonial untuk menghisap rakyat, jadi wajar kalau Belanda tidak berbuat banyak melihat kenyataan itu. Sistem pemerintahan yang setengah modern dan setengah feodal memungkinkan banyak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.

Otoritarian Bupati
            Otoriteranisme adalah bentuk kekuasaan bentuk kekuasaan lazim berlaku sistem semi feodal.  Dalam konteks kebudayaan politik seperti itu jelas, bahwa tidak relevan, bahkan tidak layak, untuk memberlakukan prinsip-prinsip birokrasi legal rasional yang secara tegas membedakan dan memisahkan hak dan kewajiban formal dari yang pribadi. Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini tidak berdaya apa-apa. Bahkan sistem politik tersebut sengaja dipertahankan oleh pemerintah Belanda. Hak turun temururn kedudukan bupati, pemberian gelar kebangsawanan beserta lambang kebesaran seperti song-song (payung), pakaian kebesaran dan lain sebagainya dilestarikan sebgai wujud sistem feodal.

Kasus Lebak
Douwes Dekker (asisten residen Lebak) prihatin melihat rakyat hidup melarat sementara Bupati hidup mewah. Kartanatanegara bupati Lebak saat itu  telah menjadi bupati selama 30 tahun  sesuai hukum adat. Bupati Kartanatanegara adalah seorang yang sangat dihormati sekaligus ditakuti. Douwes Dekker melihat kenyataan bupati bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Bahkan diketahuinya dari arsip-arsip asisten residen sebelumnya bahwa penindasa tersebut telah berlangsung lama. Douwes Dekker menulis surat kepada atasannya yaitu Residen Banten perihal perilaku bupati, dia minta supaya keadilan ditegakkan. Kenyataanya residen tidak memberi jawaban seperti yang diharapkannya. Dia kemudian menulis surat kepada gubernur jenderal Duymaer van Twist, namun yang diterimanya justru surat pemindahan tugas karena sikapnya dianggap keterlaluan.
            Rakyat dikerahkan untuk membersihkan kebupaten, waktu bupati akan punya kerja, berbagai macam sumbangan mengalir ke dalam kabupaten seperti bermacam-macam hasil bumi, ternak untuk disembelih, dan lain sebagainya. Di mata asisten residen semua itu merupakan pungutan yang tidak sah. Kecuali peringatan kepada bupati, dia juga mengajukan usul pemecatannya.
            Rupanya Kartanatanagara sendiri tidak merasa bersalah, oleh karena konsep kekuasaannya masih berakar pada lingkungan feodal atau patriakal, di mana dia dibesarkan. Anggapan umum dan wajar saja apabila sang bupati selaku penguasa yang dihormati menerima bermacam-macam upeti, memperolah bantuan serta pelayanan dan lain sebagainya.
Pengalaman Douwes Dekker melihat penderitaan rakyat tanah jajahan mengilhaminya menulis sebuah buku. “Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda” begitulah judul bukunya. Dalam bukunya tersebut ia menggunakan nama pena atau nama samaran Multatuli yang artinya aku yang banyak menderita. Dalam buku tersebut seolah-olah ada tiga karakter utama yang digambarkan oleh Douwes Dekker. Sosok pertama Batavus Droogstoppel seorang makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht, sosok kedua Max Havelaar sang asisten residen Lebak, dan Multatuli yang banyak menderita, yang mengangkat pena.
            Peristiwa Lebak adalah suatu kasus di antara banyak sekali kasus korupsi atau malversasi di kalangan aristokrasi Jawa, yang sangat dominan peranannya dalam struktur kekuasaan zaman kolonial. Selama adab ke -19 bahkan sampai akhir masa penjajahan Belanda, politik kolonial memberi peluang untuk pertumbuhan ambivalensi fungsional dipertahankan, agar keefektifan birokrasinya terjamin. Belanda memposisikan para bupati sebagai perantara untuk “menghisap rakyat.”



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebenarnya apabila ditilik lebih lanjut korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, setidaknya semenjak masa penjajahan Belanda. Korupsi yang dilakukan oleh orang pribumi pada waktu terjadi karena sistem pemerintahan masih tumpang tindih antara sistem tradisional dan sistem modern. Para penguasa probumi cenderung tidak membedakan antara hak-hak sebagai penguasa dan hak-hak pribadi. Tindakan memanfaatkan kedudukan untuk kepentingan pribadi adalah sesuatu yang lumrah saat itu. Pemerintah kolonial Belanda tidak mampu berbuat banyak karena kenyataannya mereka masih membutuhkan para penguasa pribumi sebagai perantara untuk ”menghisap rakyat.”
Peristiwa Lebak adalah suatu kasus di antara banyak sekali kasus korupsi atau malversasi di kalangan aristokrasi Jawa, yang sangat dominan peranannya dalam struktur kekuasaan zaman kolonial. Selama adab ke -19 bahkan sampai akhir masa penjajahan Belanda, politik kolonial memberi peluang untuk pertumbuhan ambivalensi fungsional dipertahankan, agar keefektifan birokrasinya terjamin.
 Dalam konteks kebudayaan politik seperti itu jelas, bahwa tidak relevan, bahkan tidak layak, untuk memberlakukan prinsip-prinsip birokrasi legal rasional yang secara tegas membedakan dan memisahkan hak dan kewajiban formal dari yang pribadi. Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini tidak berdaya apa-apa. Bahkan sistem politik tersebut sengaja dipertahankan oleh pemerintah Belanda. Hak turun temururn kedudukan bupati, pemberian gelar kebangsawanan beserta lambang kebesaran seperti song-song (payung), pakaian kebesaran dan lain sebagainya dilestarikan sebgai wujud sistem feodal.




DAFTAR PUSTAKA

Douwes Dekker Eduard.1985.Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang             Belanda.terjemahan HB Jassin.Jakarta:Djambatan.
Kartidirdjo Sartono.2005.Sejak Indische sampai Indonesia.Jakarta:Kompas
Van Neil Robert.2003.Sistem Tanam Paksa di Jawa.Jakarta:LP3S.
Boomgraad Peter.2004.Anak Jajahan Belanda (Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-   1880).Jakarta:KITLV Jakarta-Djambatan
ditulis di Yogyakarta kira-kira sehari menjelang Seminar Nasional Ikahimsi XVII di Universitas Padjajaran Jatinangor

Posting Komentar