Posted on Rabu, 23 Mei 2012 Kejujuran Sejarah


Kita (Seharusnya) Bisa Jujur
Oleh Dhani Kurniawan
“Namun sebenarnya ada sebab yang lebih mendalam lagi. Baik di dalam menggeluti ilmu maupun  kehidupan politik demokratis, kejujuran di dalam mencari kebenara adalah syarat mutlak untuk berhasil biarpun kadang-kadang penemuan bisa berasa pahit. Siapa peduli !”
Max Lane
Mempelajari sejarah seharusnya juga membuat kita belajar untuk jujur. Memang dalam menulis sejarah setiap orang bisa berkreasi. Namun ada satu hal yang membatasi kreasi tersebut. Sejarawan Kuntowijoyo pernah memberi perumpaan seorang penulis sejarah sebagai orang yang bermain-main dengan batang koreng api. Dengan batang-batang korek yang berserakan seseorang harus menyusunnya menjadi petak-petakan, orang-orangan, rumah-rumahan dan sebagainya. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi. Yang mengikatnya hanya “batang korek” yang berupa fakta sejarah. Seorang penulis sejarah haruslah menulis sejarah berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Sejarah tidak hanya menulis kenangan indah, sejarah tidak hanya menulis kenangan manis. Seorang penulis sejarah tidak boleh mengingkari bahwa di masa lalu ada peristiwa-peristiwa suram. Pada saat dituntut menulis sejarah yang kelam, sejarah yang kelabu, bahkan sejarah yang hitam, kejujuran seseorang dipertaruhkan. Akankah dia menuliskan masa lalu yang tidak indah itu apa adanya ataukah dia akan berusaha menutup-nutupinya dan membuatnya terlihat indah.
Bangsa Indonesia nampaknya juga harus menerima kenyataan bahwa sejarahnya tidak selalu manis. Sudah saatnya kita menengok kembali historiografi bangsa ini. Apakah yang selama ini ditulis sebagai sejarah sudah mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau, ataukah masih banyak yang ditutup-tutupi bahkan dibelokkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa penulisan sejarah bangsa ini terutama sejarah resmi akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang saat itu menjadi penguasa.
Bangsa ini sudah semakin dewasa. Sudah seharusnya bangsa ini belajar untuk jujur. Sampai saat ini masih banyak peristiwa sejarah kelam yang mungkin dengan sengaja tidak pernah ditampilkan dalam penulisan sejarah resmi. Pernahkah kita berpikir bagaimana rasanya menjadi korban yang terlupakan ? Kita ambil saja satu contoh yaitu tentang pembantaian yang terjadi antara tahun 1965 sampai 1968.
Saya kira masih tersimpan dalam ingatan sebagian rakyat Indonesia tentang apa yang terjadi antara tahun 1965-1968. Pada tahun-tahun tersebut diperkirakan ratusan ribu rakyat Indonesia dibantai dengan kejam, mereka dibunuh secara sistematis tanpa melalui pengadilan apapun. Umumnya mereka dibantai hanya karena satu alasan yaitu karena mereka (dianggap) PKI. Hanya karena PKI dituduh akan melakukan kudeta, hanya karena PKI dituduh sebagai dalang tunggal peristiwa G30September yang menewaskan enam jenderal, satu puteri jenderal dan satu ajudan jenderal.
Sekalipun memang tidak bisa dipungkiri PKI terlibat dalam gerakan G30September apakah dapat dibenarkan jika para seniman, para petani, bahkan para buruh tani buta huruf yang tinggal di pelosok desa turut dipersalahkan dan dibantai dengan kejam. Namun yang paling menyedihkan adalah sejarah bangsa ini tak pernah mencatat pembantaian besar-besaran itu sebagai suatu tragedi kemanusiaan yang kejam dan patut disalahkan. Pembantaian tersebut malah seolah-olah adalah suatu tindakan mulia yang dapat dibenarkan. Sang penguasa orde baru dalam salah satu kesempatan hanya menyatakan pembantaian besar-besaran tersebut sebagai reaksi spontan dari masyarkat yang sudah lama memendam kebencian.
Sekarang ketika orde baru sudah tumbang ketika telah banyak ditemukan fakta-fakta baru apakah kita belum juga mau jujur ? Bagaimana mungkin sebuah bangsa melupakan begitu saja pembantaian besar-besaran terhdapa rakyatnya ? Saya kira peristiwa pembantaian tersebut hanya salah satu contoh. Masih banyak penulisan sejarah bangsa ini yang perlu kita kaji kembali. Terakhir, ada pertanyaan mendasar yang ingin saya ajukan, sudah siapkah kita menerima kenyataan, siapkah kita untuk jujur walaupun kejujuran itu terkadang pahit ?
Yogyakarta
20 Mei 2012
18.15 wib

Posting Komentar