Posted on Rabu, 18 April 2012 Belanda yang Peduli Nasib Rakyat Jawa
Belanda yang Peduli Nasib Rakyat
Jawa*
Oleh Dhani Kurniawan
“Kaisar kerajaan Insulide yang
indah, yang melingkar nun di sana di kathulistiwa laksana sabuk zamrud!........
Kepada Tuan aku bertanya dengan penuh percaya apakah kemauan Tuan mahadiraja :
bahwa orang-orang seperti Havelaar keciprat lumpur orang-orang seperti
Slijmering dan Droogstoppel ; _ dan
bahwa nun jauh di sana rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta disiksa dan
dihisap atas namamu ? ……. “
(Multatuli)
Antara tahun 1830-1870
di Jawa sedang berlangsung suatu sistem yang populer dengan sebutan tanam
paksa. Sistem tanam paksa yang diperkenalkan di Jawa oleh Johannes Van Den
Bosch pada tahun 1830 tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan komoditi di Jawa
yang dapat dijual di pasar internasional. Komoditi yang dimaksud adalah hasil
bumi pertanian beserta pengolahan dasar yang dibutuhkan. Asumsi dasar dari
sistem ini adalah masyarakat Jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk
menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa. Karena itu petani-petani
Jawa harus dibujuk (sebenarnya dipaksa) untuk menggunakan sebagian tanah
garapannya (minimal seperlimanya) dan
sebagian tenaga kerjanya (juga seperlima, atau 66 hari dalam setahun) untuk
membudidayakan tanaman komoditi ekspor. Kondisi keuangan pemerintah kolonial
Belanda saat itu sangat buruk dan
diputuskan penerapan tanam paksa adalah solusinya.
Memang secara teori
sistem tanam paksa seharusnya tidak terlalu memberatkan rakyat. Namun
penyelengaraannya di lapangan berkata lain. Tanah rakyat yang ditanami tanaman
ekspor sering lebih dari seperlima, begitu juga tenaga yang harus dikerahkan
untuk mengerjakan tanaman ekspor sering melebihi aturan resmi. Tidak dapat
dipungkiri sebenarnya para penguasa lokal terutama bupati justru memparah
penderitaan rakyat. Para bupati sering hidup bermewah-mewah sekedar untuk
gengsi, untuk lebih dihormati, ditakuti, dan alasan-alasan lain yang tidak
dapat dibenarkan. Para bupati adalah perantara bagi pemerintah kolonial untuk
menghisap rakyat, jadi wajar kalau Belanda tidak berbuat banyak melihat
kenyataan itu. Namun ternyata dalam kondisi seperti itu ada orang Belanda yang
peduli nasib rakyat kecil. Seorang Belanda tulen yang tidak sanggup melihat
penderitaan rakyat, dialah Eduard Douwes Dekker.
Douwes Dekker lahir di Amsterdam
2 Maret 1820 dari keluarga protestan yang sederhana. Sempat menempuh pendidikan
di sekolah Latin namun gagal, kemudian bekerja di kantor dagang di Amsterdam
namun gagal juga. Ternyata wataknya yang selalu “gelisah” sering menimbulkan
kesulitan. Douwes Dekker pertama kali melihat penderitaan rakyat adalah ketika
dia menjadi konteir di Natal pada 1842. Natal adalah suatu daerah di Sumatera
dimana kekuasaan Belanda masih goyah, karena masih sering terjadi perlawanan.
Namun tidak lama kemudian dia diberhentikan dari jabatannya karena dianggap
sembrono dalam mengurusi administrasi keuangangan.
Kisah hidupnya
selanjutnya yang membuatnya lebih banyak lagi melihat penderitaan rakyat adalah
ketika dia menjadi asisten residen di Lebak 1856. Douwes Dekker prihatin
melihat rakyat hidup melarat sementara Bupati hidup mewah. Kartanatanegara
bupati Lebak saat itu telah menjadi
bupati selama 30 tahun sesuai hukum
adat. Bupati Kartanatanegara adalah seorang yang sangat dihormati sekaligus
ditakuti. Douwes Dekker melihat kenyataan bupati bertindak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya. Bahkan diketahuinya dari arsip-arsip asisten residen
sebelumnya bahwa penindasa tersebut telah berlangsung lama. Douwes Dekker
menulis surat kepada atasannya yaitu Residen Banten perihal perilaku bupati,
dia minta supaya keadilan ditegakkan. Kenyataanya residen tidak memberi jawaban
seperti yang diharapkannya. Dia kemudian menulis surat kepada gubernur jenderal
Duymaer van Twist, namun yang diterimanya justru surat pemindahan tugas karena
sikapnya dianggap keterlaluan.
Pengalaman Douwes
Dekker melihat penderitaan rakyat tanah jajahan mengilhaminya menulis sebuah
buku. “Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda” begitulah judul bukunya.
Dalam bukunya tersebut ia menggunakan nama pena atau nama samaran Multatuli
yang artinya aku yang banyak menderita. Ketika saya membaca buku tersebut
seolah-olah ada tiga karakter utama yang digambarkan oleh Douwes Dekker. Sosok
pertama Batavus Droogstoppel seorang makelar kopi yang tinggal di
Lauriergracht, sosok kedua Max Havelaar sang asisten residen Lebak, dan
Multatuli yang banyak menderita, yang mengangkat pena.
Menurut saya Max
Havelaar adalah karya yang luar biasa. Buku tersebut dengan sempurna
menggambarkan penderitaan rakyat di tanah jajahan. Diterbitkannnya buku
tersebut tentu merupakan tamparan hebat bagi pemerintah Belanda. Apalagi buku
tersebut terbit di Eropa dan ditulis oleh orang Eropa, padahal waktu itu tidak
banyak orang Eropa bahkan orang Belanda sendiri di negerinya yang mengetahui
penderitaan rakyat di tanah jajahan. Rakyat yang membuat negeri mereka makmur
dan kaya raya.
Sumber Utama
Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai
Dagang Belanda terjemaan HB Jassin
Tayangan Metro Files Edisi Nasionalisme
Sang Pembelot
Sumber Lain
Sistem Tanam Paksa di Jawa karangan
Robert van Neil
Anak Jajahan Belanda karangan Peter
Boomgaard
*Ditulis tengah malam jelang pergantian
hari antara tanggal 14 dan 15 April 2012 .Tulisan ini dibuat setelah beberapa
hari sebelumnya penulis selesai membaca Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai
Dagang Belanda terjemahan HB Jassin.
0
komentar |