Posted on Senin, 30 April 2012 Seminar Nasional Ikahimsi XVII di Universitas Padjajaran Kampus Jatinangor “Korupsi dalam Prespektif Sejarah” (sebuah catatan perjalanan)


Seminar Nasional Ikahimsi XVII di Universitas Padjajaran Kampus Jatinangor “Korupsi dalam Prespektif Sejarah”
(sebuah catatan perjalanan)
Oleh Dhani Kurniawan

Malam itu minggu, 22 April 2012 sekitar pukul 20.00 wib saya, Aris, Titan dan Oktandi berangkat ke stasiun Lempuyangan. Kami diantar oleh mas Adi, mbak Tika, Diki dan Ageng dengan empat sepeda motor jadi setiap dari kami dibonceng oleh satu orang pengantar dengan satu motor. Sesampainya di stasiun kami bertemu dengan rombongan mahasiswa PKNH UNY yang ternyata satu arah dengan kami. Mereka akan menghadiri acara di UPI Bandung. Sementara rombongan kami akan menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Ikahimsi di UNPAD. Rombongan kami satu kereta dengan rekan-rekan PKNH tetapi mereka ada di gerbong yang lebih depan daripada kami.
Sambil menunggu kereta tiba, Aris dan Oktandi berusaha menyempatkan diri untuk sholat sedangkan saya dan Titan menunggu Tas. Beberapa saat kemudian petugas stasiun mengumumkan kereta yang akan kami tumpangi segera tiba, namun Aris dan Oktandi belum juga muncul. Jujur saja saya dan mungkin juga Titan agak cemas. Kami takut ketinggalan kereta. Untungnya beberapa saat kenudian Aris dan Oktandi muncul, mereka mengatakan bahwa mereka belum sempat sholat. Kami berempat kemudian segera menuju ke kereta yang akan kami tumpangi. Kalau tidak salah kami mendapat tempat duduk di gerbong tiga. Setelah masuk ke dalam kereta kami mencari tempat duduk yang sesuai dengan yang tertera di tiket kereta. Belum lama kami duduk di tempat yang sesuai dengan yang tertera di tiket ada sekelompok pemuda di depan kami yang minta bertukar tempat duduk. Merasa tidak dirugikan kami bersedia bertukar tempat duduk. Titan, saya, dan Aris duduk di satu bangku yang menghadap ke depan kami, sedangkan Oktandi duduk di depan kami, dia diapit oleh dua orang bapak-bapak.
Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Ikahimsi sekaligu pengalaman pertama saya pergi ke Jawa barat. Saya tidak benar-benar tahu apa sebenarnya yang akan kami lakukan dalam acara tersebut. Ketika berbincang-bincang kami baru teringat bahwa kami belum membeli tiket untuk pulang. Kami sempat kebingungan tetapi kemudian memutuskan untuk segera membeli tiket ketika sampai di Bandung. Beberapa saat kemudian kami juga teringat bahwa tidak satu pun diantara kami yang membawa kamera atau semacamnya yang bisa mengabadikan segaian momen-momen yang akan kami lewati di Bandung dan di UNPAD. Padahal sebenarnya Aris bisa meminjam kamera kepada pacarnya. Apa boleh buat semua sudah terlambat.
Jadwal yang tertera di tiket kereta menyatakan bahwa kami akan tiba di staisiun Kiaracondong Bandung sekitar pukul 07.00 wib. Namun setelah berkomunikasi dengan Sugi dari Ilmu sejarah yang terlebih dahulu telah berada di UNPAD diputuskan kami akan turun di Staiun Ranca Ekek karena lebih dekat dengan UNPAD. Karena perjalanan masih panjang dan besoknya kami harus langsung mengikuti kegiatan kami semua berusaha untuk bisa tidur. Dalam perjalanan tersebut ternyata Oktandi adalah yang tidurnya paling nyenyak diantara kami berempat. Padahal sebelumnya Oktandi mengatakan dia tidak bisa tidur nyenyak di dalam kereta. Selanjutnya yang bisa tidur adalah Aris. Smenetara itu saya dan Titan kesulitan untuk bisa segera tidur. Saya menyempatkan membaca buku dan berharap segera bisa tertidur.   
Kereta yang kami tumpangi adalah kereta ekonomi sehingga sering sekali harus berhenti untuk mempersilakan kereta dengan kelas lebih tinggi melaju terlebh dahulu. Selain itu di dalam kereta rasanya tidak pernah sepi dari para pedagang. Mungkin itulah sebabnya saya kesulitan untuk tidur. Saya kemudian memilih untuk membaca buku dan berharap segera bia tertidur. Tetapi apa yang saya harapkan tidak juga terwujud. Buku saya letakkan kemudian saya berusaha memejamkan mata. Buku yang tadi saya baca kemudian dibaca oleh Titan.  Ketika saya berjuang untuk bisa tidur tiba-tiba Titan menyuruh saya untuk melihat Oktandi yang sedang tertidur. Seketika itu juga saya berusaha menahan tawa karena posisi Oktandi ketika tidur sangat lucu. Oktandi dengan mata terpejam, mulut terbuka, serta kepala yang seolah-olah akan terjatuh membuat saya dan Titan kesulitan menahan tawa.
Karena tidak juga bisa tidur Titan mengajak saya ke perbatasan gerbong kami dengan gerbong depan. Karena di situ ada pintu yang tidak ditutup kami menyempatkan diri merokok sekedar untuk menghilangkan penat. Setelah berbincang-bincang dan menghabiskan sebatang roko kami memutuskan kembali ke tempat duduk dan berusaha untuk bisa tidur.
Walau berusaha untuk tidur saya tetap kesulitan untuk tidur. Saya mungkin hanya bisa tidur sejenak saja dan kembali terbangun. Tidak terasa hari sudah mulai pagi. Ketika saya melihat ke jendela mulai terlihat pemandangan pegunungan, persawahan dan terkadang perumahan yang kondisinya agak memprihatinkan menurut saya. Kami bersiap-siap untuk turun karena stasiun tujuan kami sepertinya sudah dekat. Saat ini ysng kemudian menjadi masalah adalah bagaimana cara kami dari stasiun menuju ke UNPAD. Aris kemudian menghubungi Sugi dan katanya akan ada panitia yang menjemput kami.
Hari Pertama (23 April 2012)
Tidak berapa lama kemudian kami sampai di stasiun Ranca Ekek. Panitia yang katanya akan menjemput kami belum tiba, kemudian diputuskan kami akan membei tiket terlebih dahulu. Loket penjualan tiket ternyata belum buka kemudian kami bertanya kepada petugas keamanan yang ada di stasiun. Sesuai petunjuk petugas kami masuk ke loket penjualan tiket lewat pintu samping. Ketika membei tiket ternyata yang tersedia adalah rabu pagi sekitar pukul enam padahal dalam jadwal kami baru selesai dan bisa pulang pukul delapan. Akhirnya kami memutuskan menunda membeli tiket dan berkonsultasi terlebih dahulu dengan panitia penyelenggara acara.
Ranca Ekek adalah sebuah stasiun yang kecil dan jauh dari kota tetapi cukup ramai. Selma kami menunggu panitia yang akan menjemput saya melihat di stasiun ini cukup banyak orang yang akan naik kereta, bukan hanya orang yang akan bekerja tetapi saya juga melihat anak-anak sekolah. Kami menunggu cukup lama satidaknya satu jam lebih. Kami tiba di termina masih jam tuju kurang sementara itu panitia yang menjemput baru tiba sekitar pukul delapan. Panitia yang menjemput ternyata hanya dua orang. Seorang panitia memandu kami menuju angkot yang bisa mengantarkan kami sampai ke Jatinangor. Panitia beralasan tim yang dikirim untuk menjemput mengira kami turun di stasiun Kiara Condong, Bandung.
 Kami diajak berjalan menyusuri rel kereta. Ketika tiba di persimpangan antara rel kereta dan jalan raya ternyata pintu gerbang dikunci dengan borgol sehingga kami tida bisa keluar dari area rel kereta. Untunglah seorang panitia lainnya menghubungi petugas keamanan sehingga  kami bisa lewat setelah pintu dibuka. Kami kemudian meniji tempat pemberhentian angkot dan menunggu kedatangan angkot yang bisa membawa kami sampai ke tempat tujuan. Setelah menunggu beberapa saat kemudian angkot yang kami tunggu tiba. Kami berempat disertai seorang panitia menaiki angkot melewati jalanan yang seringkali rusak, bergelombang bahkan berkubang air.
Panitia yang memandu kami kemudian memberhentikan angkot yang kami tumpangi dan ternyata kami sudah sampai di penginapan. Sebelum mengikuti acara kami terlebih dahulu melakukan registrasi. Kami kemudia diminta langsung bersiap-siap menuju gedung Santika. Kami tidak diberi sarapan, bahkan sekedar cuci muka pun saya tidak sempat. Setelah menitipkan tas dan memakai jas almamater kami langsung ke depan penginapan untuk menunggu angkutan yang akan membawa kami ke tempat seminar. Ternyata bukan hanya kami yang tidak mendaatkan sarapan, rekan kami dari ilmu sejarah UNY mengatakan mereka juga tidak mendapat Sarapan padahal mereka sudah tiba di tempat itu sehari sebelum kami.
   Tak lama kemudian datang angkot khusus milik UNPAd yang membawa kami ke gedug seminar. Tentu bisa dibayangkan bagaimana keadaan kami. Semalaman tidur di kereta, tanpa istirahat, tanpa sarapan, tanpa sempat mandi, bahkan cuci muka pun saya tidak sempat. Mengikuti seminar dengan kondisi seperti itu saya tidak bisa optimal dalam menangkap apa yang disampaikan oleh pembicara. Saya lebih sibuk berjuang melawan rasa kantuk dan lapar.
Ada tiga pembicara dalam seminar tersebut. Pembicara pertama sejarawan Anhar Gonggong, pembicara kedua Sepranadja seorang ahli hukum dan pembicara ketiga Yudi Purnomo dari KPK. Seminar tersebut diikuti oleh seratus orang lebih. Tetapi menurut saya  jumlah tersebut masih sangat sedikit mengingat acara ini seharusnya dihadiri oleh seluruh perwakilan anggota IKAHIMSI.
Anhar Gonggong mengatakan korupsi di Indonesia sudah ada sejak lama. Bahkan menurutnya korupsi sudah ada sejak sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat ke Indonesia. Pada masa penjahan korupsi juga ada, terutama pada masa tanam paksa. Pada masa orde lama korupsi sebenarnya juga ada tetapi demokrasi terpimpim ala Soekarno membuat korupsi tidak terlihat atau sengaja ditutup-tutupi. Sedangkan orde baru masih menurut Anhar Gonggong sebenarnya lebih koup lagi. Sampai-sampai ada yang mengatakan Soeharto merupakan orang terkarup di dunia dengan nilai korupsi 35 Milyar dollar. Namun menurutnya korupsi pada masa orde baru cenderung terpusat.
Anhar Gonggong menawarkan pemecahan permasalahan korupsi di Indonesia dengan mengutip pendapat Kwik Kian Gie dengan istilah carrot and stick. Beliau sependapat dengan Kwik bahwa untuk mencegah korupsi pejabat harus diberi gaji yang cukup sehingga mereka bisa hidup makmur  bahkan terlihat “gagah”. Namun ketika mereka masih juga korupsi harus diberikan hukuman yang keras. Dengan sistem tersebut diharapkan tercipta aparatur negara yang baik. Mengutip dari penelitian Adicondro, Anhar Gonggong mengatakan pula bahwa sebenarnya ada tiga tingkatan dalam korupsi dan yang ingin di berantas di Indonesia barulah yang tingkat pertama saja.
Pembicara kedua yaitu Sepranadja lebih banyak berbicara tentang korupsi dari sudut pandang hukum. Menurutnya korupsi merupakan extra ordinary crimes. Beliau juga banyak berbicara tentang peraturan perundangan menyangkut korupsi. Beliau memberi contoh dua kasus yang pelakunya terjerat undang-undang korupsi akibat ketidak tahuan mereka. Kasus pertama yaitu yang dialami oleh seorang profesor yang ditangkap karena tuduhan korupsi. Padahal sang profesor baru saja pulang dari Belanda dalam rangka pertemuan anti korupsi internasional. Contoh kedua yaitu tentang seorang penjaga gudang yang karena ketidak tahuannya terjerat hukum. Penjaga gudang tersebut sebenarnya tidak mendapat keuntungan apapun dari tindakan yang dituduhkan kepadanya.
Pembicara ketiga sekaligus terakhir yaitu Yudhi Purnomo. Beliau merupakan anggota KPK. Menurut Yudi telah terjadi pergeseran pandangan terhadap koruptor. Dulu koruptor selalu identik dengan lelaki jelek, tua, dan gendut. Sementara itu sekarang koruptor adalah orang yang tampan/cantik, muda, keren, perlente dan sosialita. Menurutnya dulu tidak ada data tentang kasus korupsi apalagi yang sampai ke pengadilan bukan karena ketiadaan kasus korupsi. Pada masa lalu sebenarnya tindak korupsi ada, hanya saja selalu ditutup-tutupi.
Setelah semua pembicara selesai memaparkan pendapatnya tibalah di sesi diskusi atau tanya jawab. Peserta seminar terlihat begitu antusias untuk bertanya. Namun saya memilih untuk diam saja. Apa yang saya lakukan buka tanpa alasan. Sebagaimana yang telah saya paparkan di depan bahwa saya dalam kondisi kelelahan, mengantuk, dan kelaparan. Saya justru berharap diskusi segera selesai agar segera bisa beristirahat. Saya tidak terlalu memperhatikan dan juga tidak mencatat pertanyaan-pertanyaan para peserta serta jawaban yang diberikan oleh para pembicara.
Akhirnya setelah seminar selesai kami mendapatkan makanan dan air. Saya sudah lupa apa yang waktu itu saya makan karena saya sudah sangat keaparan. Hanya saja seingat saya konsumsi yang dierikan sangat minim. Setelah menghabiskan konsumsi yang diberikan saya dan Titan memutuskan mencari tempat untuk beristirahat sedangkang Aris dan Oktandi pergi untuk sholat. Saya dan Titan akhirnya memilih beristirahan di depan gedung yang berada di sebelah gedung yang digunakan utnuk seminar. Karena sangat kelelahan saya akhirnya tertidur, mungkin Titan juga.
Tidak lama kemudian datang Aris dan Oktandi. Saya kaget ketika dibangunkan dari tidur. Ternyata masih ada satu agenda lagi yang harus kami ikuti yaitu diskusi seputar korupsi. Kali ini hanya ada satu pembicara yaitu Budi Rajab seorang antropolog. Saya tidak tahu mengapa yang dijadikan pembicara adalah seorang antropolog. Ketika saya memasuki gedung sebenarnya pembicara telah memaparkan materi sejak beberapa menit yang lalu. Satu hal penting yang saya tangkap dari beliau, bahwa untuk membersihkan birokrasi yang korup harus menggunakan birokrasi lain yang bersih. Beliau mencontohkan adanya KPK yang dianggap sebagai birokrasi bersih yang diharapkan mampu memberantas korupsi.
Setelah diskusi selesai lalu kami dibawa ke penginapan. Kami kemudian mandi dan beristirahat. Sehabis makan malam seharusnya ada acara lagi yaitu diskusi bersama semua perwakilan Ikahimsi yang hadir. Namun karena sudah sangat keelahan saya tertidur dan tidak ikut dalam acara tersebut. Keesokan harinya saya baru tahu bahwa diantara kami hanya Aris yang ikut diskusi sementara saya Titan dan Oktandi tidur.
Tengah malam saya terbangun dan Aris tidak ada di kamar. Kemudian ketika melihat hp ternyata ada sms dari Aris. Dia mengatakan bahwa sedang keluar untuk sekedar main-main. Tak lama kemudia Titan dan Oktandi terbangun. Saya dan Titan kemudian memutuskan untuk keluar mencari rokok. Kami kemudian bertemu dengan Aris yang akan kembali ke penginapan dengan beberapa orang, terlihat juga rekan kami dari ilmu sejarah. Kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan.
Saya memilih melanjutkan tidur mengingat masih ada kegiatan untuk besok. Sementara itu saya tidak tahu apa yang dilakukan oleh ketiga rekan saya. Keesokan harinya ketika terbangun saya lalu mandi. Saya baru sadar ternyata di sekitar kami adalah kamar perempuan bahkan juga kamar yang ada tepat di depan kami. Panitia tidak menyiadakan sarapan jadi kami mencari sarapan sendiri, kami membeli nasi kuning. Agenda hari ini seharusnya adalah wisata sejarah dan dimulai pukul 08.00 wib. Namun entah mengapa molor samapai dua jam. Kami kemudian naik bus Damri yang telah disediakan panitia.
Hari Kedua (24 April 2012)
Kami tidak tahu mau dibawa kemana. Ketika kami bertanya ada panitia yang menjawab bahwa kami akan dibawa ke kebun kelapa. Saya tidak tahu tempat apa itu. Perjalanan dari kampus UNPAD di Jatinangor ke Bandung kota cukup jauh, belum lagi jalanan yang sangat ramai. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama kemudian bus berhenti di depn pertokoan, seingat saya ada juga toko roti Belanda di situ. Ternyata kebon kopi adalah semacam pusat perbelanjaan. Kami tidak tahu mengapa kami di bawa ke tempat tersebut. Karena tidak membawa ung yang cukup untuk membeli oleh-oleh kami berempat memutuskan mencari wc umum karena sudah menahan buang air kecil.
Setelah berjalan tanpa tahu tujuan yang pasti dan bertanya kepada pedagang akhirnya kami enemukan wc umum. Letaknya di lantai bawah dekat parkiran. Kami kemudian berjalan-jalan tanpa tujuan pasti. Ketika sedang berjalan-jalan kami tidak sengaja bertemu dengan peserta seminar Ikahimsi dari kampus lain. Kami kemudia bermain-main dengan lift. Kami naik turun tanpa keluar dari lift, bahkan badan saya semapt hampir terjepit lift ketika saya melongok keluar.
Kami lalu memutuskan berpisah dan mencari tempat yang nyaman untuk sekedar duduk-duduk. Ketika lewat di depan penjual eskrim kami tertarik. Kami berempat kemudian makan es krim sambil duduk-duduk.  Setelah menghabiskan es krim kami kemudian berjalan-jalan lagi. Titan kemudian tertarik membeli kaos. Setelah itu kami memutuskan kembali ke tempat tadi kami di turunkan. Ketika kami sampai kami tidak meilhat ada peseta lain. Seorang panitia kemudian memandu kami ke arah masjid bear di tengah kota Bandung. Kami berjalan cukup jauh, dan ketika melewati halaman masjid saya kaget. Baru kali ini saya melihat di pelataran bahkan di serambi masjid ada begitu banyak pedagang. Barang yang dijual juga cukup beraneka ragam mulai dari jam tangan sampai makanan.
Kami kemudian dikumpulkan di pinggir taman masjid, di dekat air mancur. Ketika kami sampai ternyata konsumsi belum siap. Setelah duduk-duduk cukup lama akhirnya makan siang datang. Anehnya kami diberi makanan tanpa ada minuman. Minum  baru datang setelah beberapa saat makanan kami habis. Padahal sepenglihatan saya ada banyak panitia yang hanya duduk-duduk saja.
Setelah makan siang selesai kami kamudian diajak berjalan kaki lagi. Kami melewati gedung yang dulu digunakan untuk Konferensi Asia-Afrika yang sekarang dijadikan museum. Sayangnya kami tidak bisa masuk. Kami dengar sedang ada acara dalam rangka peringatan KAA sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk. Selanjutnya kami digirng menuju tempat di mana kami akan naik bus lagi.
Kali ini kami dibawa ke museum geologi. Sesampainya di museum setelah panitia menghubungi petugas museum kami dijinkan masuk. Memasuki museum saya memilih melihat-lihat terlebih dahulu ke ruangan yang ada di sebelah kiri saya. Berurutan saya melihat-lihat koleksi museum. Dpamerkan koleksi berbagai jenis batu bahkan juga batu meteor. Selain itu ditunjukkan juga sejarah terbentukanya kepulauan di Indonesia sejak jutaan tahu silam. Kemudian ditunjuukan karakteristik geologi beberapa pulau-pulau besar di Indonesia.
Selanjutnya saya melihat-lihat ke ruangan sebelah kanan saya ketika saya masuk. Pintu menuju ruangan tersebut diatasnya bertuliskan sejarah kahidupan (kalau saya tidak salah ingat). Ruangan-ruangan tersebut memberikan gambaran tentang kemunculan dan perkembangan mahkluk hidup. Ada replika tulang-tulang binatang purba. Replika yang paling besar yaitu replika tulang Tyranosaurus Rex.
Setelah menjelajahi seluruh ruangan yang boleh dimasuki dalam museum kemudian saya keluar untuk sekedar duduk-duduk dan menunggu mau dibwa kemana lagi oleh panitia. Kami kemudian diajak berjalan kaki menuju gedung sate. Namun gedung tersebut tidak dibuka untuk umum jadi kami hanya bisa melihat-lihat dari luar. Beberapa mahasiswa lain tampak berfoto-foto. Sayang diantara kami berempat tidak ada yang membawa kamera atau semacamnya sehingga kami hanya melihat-lihat saja.
Selanjutnya kami diajak berjalan kaki lagi dan saya tidak tahu kami mau dibawa kemana. Kami melewati sebuah lapangan yang dipadatai oleh para Slanker, nampaknya akan ada konser Slank malam ini. Dari kejauhan saya melihat semacam monumen besar dengan reliaf Garuda Pancasila. Saya tidak tahu itu monumen apa tetapi menurut rekan saya Fitra monumen itu adalah monumen Pancasila. Monumen tersebut ternyata dipagari dan kami harus melompat untuk masuk. Tetapi karena kasihan denga Fitra yang tidak bisa melompat dengan tubuh gemuknya kami melanjutkan berjalan kaki menuju tempat parkiran bus. Setelah duduk-duduk dan mengobrol, panitia meminta kami segera naik ke dalam bus. Acara wisata kami sudah berakhir dan kami harus kembali ke penginapan.
Sesampainya di penginapan kami kemudian mandi dan beristirahat. Beberapa saat kemudian ada panitia datang membawa makan malam, namun lagi-lagi minuman datang terlambat. Acara selanutnya adalah menonton film dan dilanjutkan dengan penampilan dari para peserta seminar Ikahimsi ya mungkin semacam pentas seni. Akan tetapi karena film yang diputar bagi saya tidak terlalu menarik dan saya sudah sangat ngantuk saya mengajak Titan untuk kembali ke kamar. Kami akhirnya berhasil kembali ke kamar dan saya segera tidur karena sudah sangat mengantuk.
Hari Ketiga (25 April 2012)
Keesokan harinya ternyata ada satu agenda lagi yang harus kami ikuti yang tidak tercantum dalam jadwal. Panitia lagi-lagi tidak menyediakan sarapan dan kali ini kami berempat tidak sempat sarapan. Kali ini kami harus mengemasi semua barang-barang kami karena jatah kami di penginapan sudah habis. Selanjutnya kami di bawa ke balai Santika tempat yang juga digunakan untuk seminar dan diskusi pada hari pertama. Ternyata kami mengikuti acara bedah buku. Namun dalam acara kali ini Titan tidak ikut. Sesaat sebelum kami ke acara bedah buku, Titan dijemput rekannya untuk meluncur ke UPI.  Buku yang dibedah adalah karangan Peter Cerey tentang Pangeran Diponegoro.
Menurut saya tulisan yang terpampang di depan pintu masuk gedung agak berlebihan.
“Penulis Terbesar Inggris Singgah di Jatinangor” begitulah kira-kira tulisannya. Acara kali ini tidak hanya diikuti oleh delegasi Ikahimsi. Saya melihat ada anak-anak SMA dan beberapa peserta yang mungkin dari para akademisi. Setelah mengikuti acara ini ada beberapa hal yang saya tangkap. Pertama nasihat Peter Cerey, kita sebagai orang Jawa, orang Indonesia tidak lebih rendah dari orang Inggris orang Tionghoa dan orang-orang dari bangsa lain, kita harus berbangga dengan budaya kita sendiri. Nasihat Peter Cerey sangat mencengangkan bagi saya, mengingat dia adalah oarang barat, sama sekali tidak da darah Jawa atau Indonesia. Kedua, menurut saya Peter Cerey mampu mengangkat hal-hal yang bersifat mistis menjadi bahan perdebatan dalam ranah ilmiah. Dia mampu menghadirkan pandangan yang baru bagi saya. Peter mampu mengangkat hal-hal yang bersifat mistis menjadi semacam kekuatan pengerak dalam peristiwa sejarah.
            Setelah acara selesai kami kemudian mendapat makan siang dari panitia. Sperti yang terjadi sebelumnya, minuman selalu datang terlambat. Saya sendiri heran mengapa panitia mengulang-ulang kesalahan yang sama. Seusai makan siang kami para delegasi Ikahimsi kembali diminta masuk ke dalam gedung untuk acara penyerahan sertifikat dan kenang-kenangan dari panitia penyelenggara Seminar Nasional Ikahimsi XVII di Universitas Padjajaran Jatinangor. Ketika perwakilan dari Pendidikan Sejarah UNY diminta ke panggung untuk menerima sertifikat dan kenang-kenangan saya yang maju.
            Setelah acara tersebut kami tidak tahu harus kemana dan berbuat apa. Tiket yang dipesan untuk kepulangan kami adalah tiket kereta pukul 21.30 wib. Lalu saya mengajak rekan-rekan untuk main kartu. Akhirnya kami menghabiskan waktu dengan bermain kartu didepan gedung yang tadi kami gunakan untuk acara bedah buku. Setelah hari sudah menjelang sore dan urusan tentang buku dari rekan kami mahasiswa UGM selesai diputuskan kami akan langsung ke stasiun Kiara Condong untuk menunggu kereta. Kami diantar dengan angkot miik UNPAD tetapi kali ini kami harus membayar biaya transportasi.
            Kami kali ini bersama rombongan dari UGM, UNS, UM Lampung di angkut dengan dua angkot. Sebelum menuju ke stasiun kami barhenti dahulu karena ada beberapa orang yang ingin membeli oleh-oleh tahu Sumedang. Setelah membeli oleh-oleh perjalanan dilanjtukan. Sekitar pukul tujuh kami sampai di stasiun. Karena keberangkatan kereta masih lama dan kami belum makan malam dipuskan untuk mencari makan malam terlebih dahulu. Kami terpecah menjadi beberapa kelompok. Saya, Aris dan Seorang Mahasiswa dari Lampung (maaf saya lupa namanya) memutuskan makan di warteg. Selesai makan kami tidak langsung pergi tetapi bercakap-cakap sebentar. Kami bertukar pengalaman tentang dunia HIMA. Ketua Hima UM Lampung ternyata adalah mahasiswa semester delapan yang sekarang lebih sibuk mengurusi skripsi dan Hima ternyata tidak punya ruangnan sehingga pertemuan untuk rapat dan semacamnya sering dilakukan di kos.
            Setelah banyak bercerita dengan rekan kami dari Lampung kami kemudian berkumpul dengan rekan-rekan yang lain (UGM, UNS, UNY Ilmu). Dari UNS ada seorang mahasiswa yang benar-benar pandai membuat lelucon. Sementara itu dari UGM ada seorang mahasiswi yang suaranya “unik” mungkin lebih seperti suara boneka atau suara anak kecil. Begitulah kami bercanda sambil menunggu kereta.
            Singkat cerita kami naik kereta yang hanya mengantarkan sampai ke Kutoarjo. Dari Kutoarjo kami kemudian naik Pramex dan turun di stasiun Lempuyangan, sementara itu rekan-rekan dari UNS melanjutkan perjalanan sampai ke Solo dengan kereta tersebut. Setelah itu kami mencari angkutan yang bisa membawa kami sampai ke kampus. Rekan kami dari UGM memilih naik taksi karena membawa buku yang cukup banyak. Sementara itu kami dari UNY dan dua orang rekan kami dari Lampung naik mobil, ya sejenis Carry untuk mengantar kami sampai kampus UNY.
Ditulis mulai Jumat 27 April 2012 di Madiun
Dilanjutkan di Yogyakarta mulai Minggu 29 April 2012
                                       

Posted on Rabu, 18 April 2012 Belanda yang Peduli Nasib Rakyat Jawa


Belanda yang Peduli Nasib Rakyat Jawa*
Oleh Dhani Kurniawan

“Kaisar kerajaan Insulide yang indah, yang melingkar nun di sana di kathulistiwa laksana sabuk zamrud!........ Kepada Tuan aku bertanya dengan penuh percaya apakah kemauan Tuan mahadiraja : bahwa orang-orang seperti Havelaar keciprat lumpur orang-orang seperti Slijmering dan Droogstoppel ; _ dan bahwa nun jauh di sana rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta disiksa dan dihisap atas namamu ? …….
(Multatuli)

Antara tahun 1830-1870 di Jawa sedang berlangsung suatu sistem yang populer dengan sebutan tanam paksa. Sistem tanam paksa yang diperkenalkan di Jawa oleh Johannes Van Den Bosch pada tahun 1830 tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar internasional. Komoditi yang dimaksud adalah hasil bumi pertanian beserta pengolahan dasar yang dibutuhkan. Asumsi dasar dari sistem ini adalah masyarakat Jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa. Karena itu petani-petani Jawa harus dibujuk (sebenarnya dipaksa) untuk menggunakan sebagian tanah garapannya  (minimal seperlimanya) dan sebagian tenaga kerjanya (juga seperlima, atau 66 hari dalam setahun) untuk membudidayakan tanaman komoditi ekspor. Kondisi keuangan pemerintah kolonial Belanda saat itu  sangat buruk dan diputuskan penerapan tanam paksa adalah solusinya.
Memang secara teori sistem tanam paksa seharusnya tidak terlalu memberatkan rakyat. Namun penyelengaraannya di lapangan berkata lain. Tanah rakyat yang ditanami tanaman ekspor sering lebih dari seperlima, begitu juga tenaga yang harus dikerahkan untuk mengerjakan tanaman ekspor sering melebihi aturan resmi. Tidak dapat dipungkiri sebenarnya para penguasa lokal terutama bupati justru memparah penderitaan rakyat. Para bupati sering hidup bermewah-mewah sekedar untuk gengsi, untuk lebih dihormati, ditakuti, dan alasan-alasan lain yang tidak dapat dibenarkan. Para bupati adalah perantara bagi pemerintah kolonial untuk menghisap rakyat, jadi wajar kalau Belanda tidak berbuat banyak melihat kenyataan itu. Namun ternyata dalam kondisi seperti itu ada orang Belanda yang peduli nasib rakyat kecil. Seorang Belanda tulen yang tidak sanggup melihat penderitaan rakyat, dialah Eduard Douwes Dekker.
Douwes Dekker lahir di Amsterdam 2 Maret 1820 dari keluarga protestan yang sederhana. Sempat menempuh pendidikan di sekolah Latin namun gagal, kemudian bekerja di kantor dagang di Amsterdam namun gagal juga. Ternyata wataknya yang selalu “gelisah” sering menimbulkan kesulitan. Douwes Dekker pertama kali melihat penderitaan rakyat adalah ketika dia menjadi konteir di Natal pada 1842. Natal adalah suatu daerah di Sumatera dimana kekuasaan Belanda masih goyah, karena masih sering terjadi perlawanan. Namun tidak lama kemudian dia diberhentikan dari jabatannya karena dianggap sembrono dalam mengurusi administrasi keuangangan.
Kisah hidupnya selanjutnya yang membuatnya lebih banyak lagi melihat penderitaan rakyat adalah ketika dia menjadi asisten residen di Lebak 1856. Douwes Dekker prihatin melihat rakyat hidup melarat sementara Bupati hidup mewah. Kartanatanegara bupati Lebak saat itu  telah menjadi bupati selama 30 tahun  sesuai hukum adat. Bupati Kartanatanegara adalah seorang yang sangat dihormati sekaligus ditakuti. Douwes Dekker melihat kenyataan bupati bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Bahkan diketahuinya dari arsip-arsip asisten residen sebelumnya bahwa penindasa tersebut telah berlangsung lama. Douwes Dekker menulis surat kepada atasannya yaitu Residen Banten perihal perilaku bupati, dia minta supaya keadilan ditegakkan. Kenyataanya residen tidak memberi jawaban seperti yang diharapkannya. Dia kemudian menulis surat kepada gubernur jenderal Duymaer van Twist, namun yang diterimanya justru surat pemindahan tugas karena sikapnya dianggap keterlaluan.
Pengalaman Douwes Dekker melihat penderitaan rakyat tanah jajahan mengilhaminya menulis sebuah buku. “Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda” begitulah judul bukunya. Dalam bukunya tersebut ia menggunakan nama pena atau nama samaran Multatuli yang artinya aku yang banyak menderita. Ketika saya membaca buku tersebut seolah-olah ada tiga karakter utama yang digambarkan oleh Douwes Dekker. Sosok pertama Batavus Droogstoppel seorang makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht, sosok kedua Max Havelaar sang asisten residen Lebak, dan Multatuli yang banyak menderita, yang mengangkat pena.
Menurut saya Max Havelaar adalah karya yang luar biasa. Buku tersebut dengan sempurna menggambarkan penderitaan rakyat di tanah jajahan. Diterbitkannnya buku tersebut tentu merupakan tamparan hebat bagi pemerintah Belanda. Apalagi buku tersebut terbit di Eropa dan ditulis oleh orang Eropa, padahal waktu itu tidak banyak orang Eropa bahkan orang Belanda sendiri di negerinya yang mengetahui penderitaan rakyat di tanah jajahan. Rakyat yang membuat negeri mereka makmur dan kaya raya.
Sumber Utama
Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda terjemaan HB Jassin
Tayangan Metro Files Edisi Nasionalisme Sang Pembelot
Sumber Lain
Sistem Tanam Paksa di Jawa karangan Robert van Neil
Anak Jajahan Belanda karangan Peter Boomgaard
*Ditulis tengah malam jelang pergantian hari antara tanggal 14 dan 15 April 2012 .Tulisan ini dibuat setelah beberapa hari sebelumnya penulis selesai membaca Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda terjemahan HB Jassin.


Posted on Minggu, 15 April 2012 Mengapa (Harus) Ujian Nasional ?


Mengapa Harus Ujian Nasional ?
Oleh Dhani Kurniawan*
Sudah menjadi tradisi setiap tahun dunia pendidikan selalu disibukkan dengan Ujian Nasional. Suatu ujian berstandar nasional yang menentukan kelulusan siswa terutama lembaga pendidikan formal setingkat SMP dan SMA. Angka-angka dari hasil ujian nasional seolah merupakan penetu nasib dan masa depan siswa. Bahkan nilai-nilai tersebut menyangkut prestis berbagai pihak, seperti orang tua siswa, kepala sekolah maupun dinas pendidikan setempat. Pihak sekolah dan orang tua berlomba-lomba dengan berbagai upaya memastikan siswa lulus dengan nilai yang tinggi.
Menjelang Ujian Nasional sekolah biasanya akan menambah jam mata pelajaran yang masuk ujian nasional. Penambahan mata pelajaran Ujian Nasional tentu saja berarti pemotongan bahkan peniadaan mata pelajaran non Ujian Nasional. Secara tidak langsung sekolah telah menanamkan dalam pikiran para siswa bahwa selain pelajaran yang masuk dalam Ujian Nasional adalah tidak penting. Lalu bagaimana seandainya sebenarnya ada siswa yang berbakat di mata pelajaran yang non Ujian Nasional ? Bagaiman seandainya siswa tersebut sama sekali tidak memiliki potensi dalam mata pelajaran yang termasuk dalam Ujian Nasional ?  Disadari atau tidak tindakan tersebut sebenarnya juga merupakan pembunuhan terhadap potensi siswa. Namun kesalahan tidak bisa begitu saja ditimpakan pada sekolah apalagi guru, kenyataannya mereka hanyalah korban dari sistem
Orang tua juga tidak kalah sibuk. Bagi sebagian orang tua jika anaknya lulus dengan nilai tinggi adalah suatu kebanggaan. Tidak jarang bahkan orang tua tidak peduli bagaimana anaknya mendapatkan nilai. Anak didorong untuk belajar lebih keras, dipaksa mengikuti pelajaran tambahan, mengikuti bimbel di luar sekolah, dan kegiatan apapun yang diharapkan mampu mendongkrak pencapaian nilai Ujian Nasional. Anak kehilangan waktu untuk mengembangkan potensinya, anak rentan mengalami stres, anak megalami tekanan yang hebat.
Kita tentunya masih ingat berita tentang Ujian Nasional tahun lalu. Pemberitaan tentang siswa SD yang menolak mengikuti perintah gurunya untuk memberikan contekan kepada teman-temannya. Kita masih ingat betapa ketika anak tersebut mencoba jujur dan membuka sistem yang bobrok justru mendapat banyak kejacaman. Bukan hanya anak tersebut bahkan keluarganya justru dikucilkan, dan mendapat tekanan dari masyarakat. Kejadian tersebut harusnya membuka mata semua pihak tentang dampak dari dipaksakannya Ujian Nasional.
Setiap tahun Ujian Nasional selalu menimbulkan kontroversi. Berbagai pihak, berbagai kalngan ikut bersuara. Tetapi kenyataannya pemerintah tetap ngotot menyelenggarakan Ujian Nasional. Bahkan Ujian Nasional kedepan juga akan dijadikan standar atau sekaligus tes masuk perguruan tinggi. Padahal kalau kita mau mambuka mata tingkat kejujuran menyangkut Ujian Nasional sangat memprihatinkan. Sudah menjadi rahasia umum banyak dilakukan cara-cara yang tidak jujur agar didapat nilai yang tinggi. Banyak guru yang terpaksa membuat skenario contekan masal, banyak terjadi kasus pembelian soal maupun kunci jawaban. Kita tentu bisa membayangkan bagaimana kualitas lulusan yang lulus dengan cara seperti itu.
Setiap tahun ketika banyak orang berbicara tentang Ujian Nasional. Namun pernahkah kita terpikirkan untuk mendengarkan suara siswa ? Pernahkan kita bertanya kepada mereka tentang Ujian Nasional ? Lalu sebenarnya untuk siapa Ujian Nasioanal ? Untuk siapa sistem pendidikan kita ? Untuk orang tua, untuk sekolah, atau untuk dunia kerja ? Mengapa kita tidak pernah berusaha memahami apa yang dirasakan dan dibutuhkan siswa ? Sudah saatnya pembunuhan potensi siswa lewat Ujian Nasional dihentikan.
*Penulis adalah mahasiswa S1 pendidikan sejarah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta
Mrican, Yogyakarta
Sabtu, 14 April 2012
21.41 wib

Posted on Senin, 09 April 2012 Lahirnya PKI


Lahirnya Partai Komunis Indonesia
Oleh Dhani Kurniawan

“Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berichtiar menjerahkan djiwa saya goena keperloean ra’jat Boeat orang jang merasa perboeatannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes tetap menerangkan ichtiarnja mentjapai  Maksoednja jaitoe HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA’JAT HINDIA”
(Semaoen, 24 Djuli 1919)

Ketika berbicara tentang pergerakan nasional orang pasti langsung terpikir Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam dan organisasi-organisasi pergerakan lain yang pernah ada di Indonesia. Namun mungkin sedikit bahkan hampir tidak ada orang yang teringat dengan PKI. Kalau pun ada yang menyinggung PKI hampir pasti berpandangan negatif terhadap organisasi tersebut. Padahal kalau kita mau jujur PKI punya andil yang cukup besar dalam gerakan menentang penjajah. Mereka sebenarnya bisa dikatakan organisasi yang paling vokal bahkan cenderung radikal dalam menentang penjajah Belanda.
            Sebelum berbicara Partai Komunis Indonesia alangkah baiknya kita terlebih dahulu membicarakan SI(Sarekat Islam) Semarang. Sebagian dari pembaca mungkin akan bertanya-tanya mengapa kita harus membicarakan SI Semarang yang merupakan cabang dari suatu perkumpulan keagamaan. SI Semarang memiliki peran penting sebagai tempat berseminya embrio gerakan Marxis pertama di Indonesia. Para petinggi SI Semarang kelak yang akan menjadi para petinggi PKI. Bahkan ketuan SI Semarang yaitu Semaon dikemudian hari menjadi ketua sekaligus salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia yang pertama. SI Semarang dibawah kepemimpinan Semaoen pada 1917-1920 telah dengan jelas mulai menunjukkan tendensi-tendensi sosialistik.[1]  Menurut Soe Hoek Gie  proses perevolusioneran SI Semarang sendiri sebenarnya lebih dipengaruhi bahkan ditentukan oleh keadaan rakyat Indonesia dan Semarang menjelang berakhirnya PD II.[2] Faktor yang mendorong perevolusioneran SI Semarang yang berasal dari dalam antara lain  permasalahan Agraria, Volksraad dan Indie Weebaar, dan Wabah Pes, serta dari luar yaitu kedatangan Perdelict Sneevliet.[3]
Faktor Dari Dalam
A.    Agraria
Pada tahun 1870 pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang gula (21 Juli, S 136) yang menyatakan berakhirnya sistem tanam paksa. Selain itu juga dikeluarkan UU Agraria (9 April 1870 S 55) dan dekrit Agraria (KB 20 Juli 1870, S 118) yang memungkinkan perusahaan-perusahaan Eropa untuk menyewa tanah dalam jangka panjang. Pemerintah selanjutnya mengatur tentang kepemilikan tanah oleh pribumi secara individual guna memudahkan kontrak sewa tanah. [4] Pada tahun 1895 ditetapkan lagi peraturan sewa tanah baru (Stb no. 247) yang memaksa pendaftaran kontrak sewa tanah dan hukuman bagi pemakaian sewa tanah tanpa kontrak yang terdaftar. Peraturan sewa tanah dipertajam lagi pada 1900 (Stb no. 240). Peraturan tersebut memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap penyewaan tanah pribumi oleh perusahaan-perusahaan Eropa.[5]
Pada kenyataannya kebijakan pemerintah kolonial tersebut  tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat pribumi. Rakyat dengan berbagai upaya dipaksa untuk menyewakan tanahnya kepada perusahaan-perusahaan Eropa. Uang sewa yang diterima rakyat sama sekali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, padahal rakyat sudah tidak punya lahan untuk bercocok tanam. Akhirnya rakyat terpaksa bekerja sebagai kuli di perusahaan-perusahaan Eropa yang sebanarnya berarti menjadi kuli bagi bangsa asing di tanah sendiri.
B.     Volksraad dan Indie Weebaar
Meletusnya perang dunia II cukup berpengaruh terhdap Bangsa Indonesia. Budi Utomo beranggapan perlunya pertahanan mandiri bagi Indonesia (Hindia Belanda). Mereka kemudian mengeluarkan :
1.      Gagasan wajib militer bagi penduduk Indonesia
2.      Wajib militer tersebut harus diputuskan dalam parlemen yang berhak membuat undang-undang
3.      Dibentuknya parlemen di Indonesia yang sampai saat itu belum ada
Gagasan-gagasan tersebut kemudian melahirkan panitia yang disebut Indie Weerbaar (Hindia yang berketahanan). Utusan Indie Weerbaar yang dikirim ke Belanda untuk mendesak pemerintah antara lain Dwijosewojo dan Abdul Muis. Mereka gagal mendesak pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang wajib miiter tetapi berhasil mendesak pemerintah bersedia melakukan pembahasan soal parlemen.
            Pembetukan milisi bumi putera sebenarnya menjadi perdebatan yang sengit di Indonesia sendiri. Tokoh-tokoh pergerakan kiri saat itu (Sneevliet dan Tjipto Mangunkusumo) sangat tidak setuju diselengarakannya milisi bumi putera. Mereka melihatnya sebagai usaha mempertahankan kepentingan Belanda dengan memanfaatkan rakyat Indonesia.[6]
            Sebagian kecil pimpinan Syarekat Islam dalam Kongres ke II di Bandung menolak ikut serta dalam volkstraad karena menganggapnya hanya sebagai alat kaum kapitalis untuk membodohi rakyat.[7] SI Semarang sendiri semakin tidak percaya terhadap keseriusan pemerintah dalam membuat sebuah parlemen setelah melihat susunan anggota volkstraad. Bagi mereka volkstraad tak lebih dari dewan rayap[8] dan anggotanya anak komedi[9]
C.     Wabah Pes
Kondisi kampung-kampung di Semarang  sangat buruk. Rakyat tinggal berjejal-jejal di gang-gang sempit dan becek. Rumah-rumah yang beratapkan rumbia dan bambu menjadi sarang-sarang tikus. Kekurangan pangan, tidak adanya pemeliharaan kesehatan akhirnya menimbulkan wabah pes pada triwulan pertama 1917.
Wabah pes semakin memburuk dan angka kematian sangat tinggi. Pemerintah akhirnya melakukan tindakan. Perumahan rakyat yang menjadi sarang tikus dibongkar dan dibakari. Rakyat miskin yang tidak punya apa-apa otomatis menjadi gelandangan. Memang akhirnya pemerintah atas tekanan-tekanan organisasi rakyat membangun perumahan untuk rakyat. Tetapi tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah sebelumnya telah sangat menyakiti hati rakyat.  Maka itu agitasi Sarekat Islam Semarang tentang wabah pes disambut baik oleh masyarakat. Situasi di Semarang saat itu membuat keadaan masak untuk gerakan-gerakan radikal SI Semarang.[10]
Faktor Dari Luar
Persdelict Sneevliet
            Merupakan seorang sosialis Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913. Kemudian pada tahun 1914 ia mendirikan ISDV (Indische Sociaal De-mocratische Vereeniging) di Surabaya. Selain bergelut dalam ISDV, ia juga menjadi editor De Volharding surat kabar berbahasa Belanda di Semarang yang menjadi organ VSTP. Semula pegawai VSTP adalah orang-orang Eropa tetapi Sneevliet menyarankan agar juga mem-pekerjakan pegawai bumi putera den-gan pertimbangan bahwa pada saat itu jumlah pegawai bumi putera sudah ban-yak yang terpelajar. Kemudian Sneevliet berhasil mengarahkan VSTP untuk bergerak secara radikal guna memperbaiki nasib pegawai-pegawai bumi putera yang tidak cakap dan miskin. Atas dasar latar belakang itulah Semaoen tertarik untuk menjadi aktivis VSTP (Vereeniging van Spoor en Treemweg Personeel) dan ISDV (Yuliati 2000: 7-8)[11]. Bagaimanapun, sumbangan Sneevliet harus dibatasi dalam dua segi - pertama karena terbatasnya waktu yang dia lewatkan di Indonesia (1914-1918), dan kedua, karena terbatasnya tendensi revolusioner dalam gerakan Sosial-Demokrasi sendiri.[12]
SI Semarang dan Pergerakan Kiri
Kaum sosialis kiri yang tergabung dalam ISDV berhasil mempengaruhi para pemimpin SI Semarang karena adanya persamaan tujuan. Penyebab keberhasilan ISDV menanamkan pengaruhnya di SI Semarang disebabkan
1.      CSI sebagai badan kordinasi pusat kekuasaannya masih sangat lemah
2.      Tiap-tiap cabang Sarekat Islam berdiri sendiri secara bebas
3.      Para pemimpin lokal yang kuat mempunyai pengaruh yang menentukan di Sarekat Islam Cabang
4.      Kondisi kepartaian saat itu memungkinkan seseorang untuk menjadi anggota di dua partai sekaligus
Dengan demikian akhirnya beberapa pemimpin muda SI Semarang sekaligus menjadi pemimpin di ISDV.[13]
            Eratnya hubungan komunis dan-gan Islam mencapai puncaknya pada tahun 1919 ketika Semaoen menyatukan pergerakan ISDV, VSTP dan Sarekat Is-lam. Kesatuan visi pergerakan antara ketiga organisasi besar ini melahirkan Persatuan Perkumpulan Kaum Buruh yang pertama di Indonesia pada bulan Desember 1919 (Sulistiyono 2004:31).
            Semaoen mendirikan federasi buruh yang merupakan gabungan dari 20 serikat pekerja yang di bawah naungan Sarekat Islam dengan 72.000 orang bu-ruh. Akan tetapi, Semaoen mendapat serangan dari “Si Raja Mogok” yang juga pemimpin serikat sekerja dari Central Sarekat Islam yaitu Sorjopranoto, yang mempersoalkan kepemimpinan Semaoen sehingga federasi tersebut bubar.[14]
Dari ISDV Menjadi PKI
Pada 1920 ISDV menerima surat dari Haring (nama samaran Sneevliet) dari Shanghai yang menganjurkan ISDV menjadi anggota komitern(komunis internasional). Untuk itu harus dipenuhi 21 syarat diantaranya harus memakai nama terang partai komunis dan menyebutkan nama negaranya. Semaoen kemudian mengirimkan tembusan surat tersebut kepada para petinggi ISDV termasuk Darsono yang waktu itu masih di penjara Surabaya. Dalam pertemuannya dengan Hertog di penjara Surabaya, Darsono menyatakan persetujuannya sembari menambahkan dua alasan lagi yaitu
1.      Manifest yang ditulis Marx-Engels dinamai manifest komunis bukan manifes sosial demokrat
2.      Rakyat Indonesia tidak dapat membedakan antara ISDV yang revolusioner dengan ISDP yang evolusioner
Hertog yang waktu itu adalah ketua ISDV menolak pendapat Darsono tersebut.
            Menyikapi kondisi tersebut diselenggarakan kongres istimewa yang dihadiri 40 orang, semuanya orang Indonesia. Sidang berlangsung panas hingga Alimin meninggalkan sidang. Dalam sidang tersebut dua orang menolak dengan alasan jika bergabung dengan komitern berarti menjadi bawahan Rusia. Semaon meyakinkan pesrta sidang bahwa komitern bukan milik Rusia dan perubahan nama sekedar sebagai bentuk disiplin organisasi. Akhirnya sidang menyepakati perubahan tersebut dan akhirnya pada 23 Mei 1920 lahirlah partai komunis Hindia. Semaon dipilih sebagai ketua, Darsono wakil, Bergsma sebagai sekertaris, Dekker sebagai bendahara dan Kraan sebagai anggota. Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai pengindonesiaan gerakan Marxis di Indonesia.[15]




[1] Gie Soe Hoek.1999.Dibawah Lentera Merah.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya
[2] Ibid hlm 7
[3] Ibid
[4] Boomgaard Peter.2004.Anak Jajahan Belanda terjemahan Monique Sosman  dan Koesalan Soebagyo Toer.Jakarta:Djambatan hal 64
[5] Burger.1962.Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia jiid pertama.terjemahan Prajudi Atmosudirdjo.Jakarta:Prajnjaparamita. Hal 234
[6] Gie Soe Hoek.1999.Dibawah Lentera Merah.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya hal 11
[7] Pangestri Dewi Murni Sri.2005.”Pergerakan Nasional.”_e-USU Repository
[8] Chadirin,”Pemandangan”,Sinar Hindia,19 Januari 1919 dalam Gie Soe Hoek.1999.Dibawah Lentera Merah.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya
[9] Sinar Hindia, 6 Juli 1918 dalam Gie Soe Hoek.1999.Dibawah Lentera Merah.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya
[10] Gie Soe Hoek.1999.Dibawah Lentera Merah.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya hal 12-13
[11] Endang Muryati.2010.”Muncul dan Pecahnya Sarekat Islam di Semarang 1913-1920”.Paramita:.Semarang.
[12]  In Defence of Marxism http://www.marxist.com
[13] Pangestri Dewi Murni Sri.2005.”Pergerakan Nasional.”_e-USU Repository hal 8-9
[14] Pangestri Dewi Murni Sri.2005.”Pergerakan Nasional.”_e-USU Repository hal 31-32
[15] [15] Gie Soe Hoek.1999.Dibawah Lentera Merah.Yogyakarta:Yayasan Bentang Budaya hal 54-55