Posted on Sabtu, 08 Desember 2012 Agus Salim


Biografi Singkat Agus Salim
Oleh Dhani Kurniawan
Orang tua yang sangat pandai ini, seorang jenius dalam berbagai bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis paling sedikit sembilan bahasa dengan sempurna, mempunyai satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat.
(Prof. Schermerhorn)

            Orang tua dengan perawakan kecil, berjenggot, berkacamata dan penggenar berat rokok kretek. Hidup berpindah-pindah dalam kesederhanaan yang barangkali lebih mendekati kekurangan. Tetapi orang tua itu bukan sembarang orang tua. Dia kuasai begitu banyak bahasa asing, pengetahuannya luas, berpendirian tegas, diplomat ulung dan seluruh hidupnya adalah pengabdian yang tak kenal pamrih. Dialah Agus Salim The Grand Old Man of Indonesia baginya menjadi pemimpin berarti siap menderita.
Latar Belakang Keluarga dan Lingkungan Masyarakat
Belanda menguasai seluruh Minangkabau setelah berhasil mematahkan perlawanan kaum pribumi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan para kepala adat (kaum pnghulu) untuk membendung apa yang mereka sebut fanatisme Islam. Meskipun secara militer Belanda mengalami kemenangan namun dalam bidang keagamaan kaum padri telah memberikan kesan mendalam pada masyarakat Minangkabau.[1]
            Tanah Minang dikenal melahirkan banyak cendikiawan. Lahirnya para cendikiawan tersebut selain karena adanya bibit-bibit unggul juga didorong oleh keadaan masyarakatnya. Masyarakat Minang dikenal akan ketaatan pada agama, serta kegotong-royongan dan musyawarah. Salah satu cendikiawan yang terlahir di tanah Minang adalah Agus Salim pada 8 Oktober 1884, tepatnya di kota Gadang, Bukittinggi.
            Terlahir dalam keluarga yang cukup terpandang Agus Salim pada mulanya bernama Mashudul Haq. Ayahnya Sutan Mohammad Salim adalah seorang Jaksa Kepala di Riau dan ibunya Siti Zaenab juga berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Status sosial inilah yang kemudian hari menjadikan Mashudul Haq berkesempatan mengenyam dunia pendidikan yang hanya bisa dinikmati segelintir pribumi kala itu.
            Pergantian nama dari Masqudul Haq menjadi Agus Salim ternyata memiliki kisah tersendiri. Pada waktu masih kecil oleh pengasuhnya yang berasal dari Jawa Masqudul Haq selalu dipanggil dengan sebutan “Gus”. Ternyata panggilan itu menjadi populer di sekolahnya. Sedangkan nama Salim berasal dari nama belakang ayahnya.[2] Jadilah nama Agus Salim.
Pendidikan
            Jabatan ayah Agus Salim sebagai seorang jaksa meupakan kedudukan yang cukup tinggi bagi pribumi pada masanya. Keadaan itulah yang membuat Agus Salim bisa diterima di ELS (Europese Lagere School/sekolah untuk anak-anak Eropa khususnya Belanda). Kepala atau direktur di sekolah tersebut ternyata tertarik kepada Agus Salim yang menurutnya punya potensi untuk menjadi orang pandai. Menurut sang kepala sekolah untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki, Agus Salim harus dididik dengan lingkungan dan makanan yang tepat. Ia minta kepada keluarga Sutan Salim agar Agus Salim bisa tinggal bersamanya. Ayah Agus Salim tidak menghargai nita baik kepala sekolah, namun ia tidak setuju jika anaknya sepenuhnya dididik oleh Belanda. Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Agus Salim akan berada di rumah kepala sekolah pada waktu makan pagi, siang, malam dan sejenak sesudahnya.[3]
            Setelah lulus dari ELS Agus Salim merantau ke Batavia. Perantauan itu harus terjadi jika dia benar-benar ingin melanjutkan pendidikan karena di Bukittinggi belum ada sekolah lanjutan setelah ELS. Akhirnya agus Salim berhasil diterima di HBS (Hogere Burger School). Prestasinya di HBS cukup baik sehingga para gurunya mengusahannya agar bisa melanjutkan ke Stovia (sekolah dokter Jawa) namun gagal. Bahkan Kartini yang mendapat tawaran melanjutkan studi ke Belanda tapi tidak bisa menerimanya sempat menyarankan agar beasiswanya diberikan kepada Agus Salim. Agus Salim menolak karena beasiswa itu menurutnya bukan berasal dari niat baik pemerintah melainkan lebih disebabkan permintaan Kartini.[4] Menariknya meskipun Agus Salim mendapat pendidikan Eropa dia tidak rela anaknya mendapatkan pendidikan Eropa yang baginya merupakan ”jalan berlumpur”.[5]
Memasuki Zaman Pergerakan
            Setelah lulus HBS Agus Sali akhirnya bekerja di sektor swasta bukan menjadi pegawai negeri sebagaimana diharapkan orang tuanya. Ibu Agus Salim yang tergoncang jiwanya melihat anaknya yang tidak berkenan bekerja sebagai pegawai negeri sakit dan akhirnya meninggal. Setelah kejadian ini pikiran Agus Salim sehingga dia mau bekerja di konsultan Belanda di Jeddah. Keberaannya di Arab tidak dia sia-siakan. Agus Salim bekerja sembari memperdalam ilmu agama dan juga sempat menunaikan ibadah haji. Dia juga belajar tata niaga, perdagangan, dan tata cara kehidupan diplomasi. Dikemudian hari ternyata apa yang dipelajarinya sangat bermanfaat dalam pengabdiaanya untuk Indonesia[6]
            Awal karier Agus Salim dalam dunia pergerakan adalah ketika dia memasuki dunia jusnalistik. Pada tahun 1915 setelah bertekad untuk menetap di Jawa Agus Salim bekerja pada kantor penerjemah, kemudian pindah ke Balai Pustaka. Agus Salim kala itu tercatat sebagai redaktur ke II di surat kabar Neraca, sebuah surat kabar yang mendapat kredit dari pemerintah Belanda. Agus Salim karena kemampuannya diharapkan bisa bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda, namun anggapan itu salah besar.[7] Terlebih setelah mengenal Sarekat Islam dan berhubungan langsung dengan pemimpinnya yaitu HOS Cokroaminoto dia justru menjadi anggota bahkan kemudian pemimpin dari Srekat Islam. Agus Salim merasa bahwa tujuan  Sarekat Islam baik dan dipimpin oleh orang yang tepat [8] Padahal Sarekat Islam adalah salah satu organisasi pergerakan yang paling berani mengkritik bahkan menentang pemeintah.
            Perjalanan selanjutnya Agus Salim tidak pernah absen dari perjuangan pergerakan. Selain terus aktif di Sarekat Islam dia juga sempat menjadi redaktur beberapa surat kabar. Agus Salim juga pernah menjadi penasehat bagi oganisasi Jong Islamiten Bond. Apa yang dikerjakannya bukan tanpa halangan dan resiko. Agus Salim yang sepanjang hidupnya dalam kesederhanaan yang lebih dekat pada kekurangan juga sempat harus merasakan menjadi orang buangan. Namun pada masa Jepang Agus Salim tidak bisa berbuat banyak karena pemerintahan Jepang yang keras dan posisinya yang tidak memungkinkan melakukan sebuah gerakan atau usaha yang cukup berarti.
Sekitar Proklamasi
            Jepang karena posisinya yang mulai terdesak dalam perang dunia berusaha mencegah terjadinya pergolakan di Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan. Sebagai usaha perwujudan janjinya tersebut Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggota BPUPKI sejumalh 60 orang diluar ketua, dan Agus Salim menjadi salah satu anggotanya. Agus Salim termasuk anggota yang bertugas merancang Undang-Undang Dasar di bawah pimpinan Sukarno. Panitia perancang Undang-Undang dasar ini kemudian membentuk panitia kerja yang beranggotakan tujuh orang dengan Mr. Supomo sebgai ketunya, dan Agus Salim juga termasuk salah satu anggotanya. BPUPKI juga sempat menyusun sebuah naskah yang kelak di sebut sebagai Jakarta Charter dan Agus Salim juga terlibat di dalamnya.[9]
Indonesia Merdeka dan Pengabdian Sampai Akhir Hayat
            Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya maka perlu segera dibentuk lembaga kelengkapan negara. Salah satu komponen kelengkapan negara adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Agus Salim termasuk salah satu anggotanya. Tugas dari DPA adalah menjawab pertanyaan presiden dan mengajukan ususl kepada pemerintah.[10]
            Pada pemerintahan awal republik Indonesia Agus Salim beberapa kali duduk dalam kabinet. Agus Salim dalam kabinet Sjahrir II (1946) dan kabinet Sjahrir III (1947) sebagai menteri muda luar negeri, menteri luar negeri kebinet Amir Sjarifudin (1947) dan menteri luar negeri kabinet Hatta (1948-1949). Selama duduk di pemerintahan Agus Salim mampu menjalankan tugasnya dengan baik.[11]
            Agus Salim setelah pensiun dari jabatan-jabatannya bukan berarti berhenti berkarya. Agus Salim kemudian lebih mencurahkan perhatiaannya pada dunia pendidikan. Dia bahkan sempat diundang menjadi dosen tamu di Cornell University. Kapasitas kelimuaannya membuat dia juga dibutuhkan dalam dunia pendidikan di dalam negeri. Agus Salim diminta menjadi dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam di Yogyakarta. Namun Tuhan berkehendak lain, dia meninggal sebelum sempat menunaikan tugas. Agus Salim meninggal pada 4 November 1954.[12]
           


[1] Riclefs.2008.Sejarah Indonesia Modern.Jakarta:Serambi. hal 313
[2] Mukayat.1985.Haji Agus Salim.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hal 1-2
[3] Yanto Bashri dan Retno Suffatni (ed).2004.Sejarah Tokoh bangsa.Yogyakarta:LKiS. Hal 140
[4] Op.Cit, Mukayat., hal 5
[5] Op.Cit, Yanto Bashri dan Retno Suffatni., hal 141
[6] Mukayat.1985.Haji Agus Salim.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 7-9
[7] Ibid hal 22
[8]  Yanto Bashri dan Retno Suffatni (ed).2004.Sejarah Tokoh bangsa.Yogyakarta:LKiS  hal 142
[9] Mukayat.1985.Haji Agus Salim.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hal 55-59
[10] Ibid. hal 63
[11] Yanto Bashri dan Retno Suffatni (ed).2004.Sejarah Tokoh bangsa.Yogyakarta:LKiS. hal 152-153
[12]Op. Cit. Mukayat., hal 80-83

Posted on Senin, 05 November 2012 Liberalisme dalam Kehidupan Bernegara


Liberalisme dalam Kehidupan Bernegara
Oleh Dhani Kurniawan
            Liberalisme adalah sebuah paham yang ramai dihujat sekaligus tidak sepi dari pujian. Sebagian orang menganggap bahwa liberalisme menjanjikan kehidupan yang lebih baik di era modern ini. Sebagian orang lainnya nampak menganggap liberalisme sebagai monster jahat yang begitu berbahaya, harus dijauhi bahkan diberantas bila memungkinkan. Perdebatan dua kubu tersebut menjadikan liberalisme selalu menarik untuk dikaji. Sebenarnya tidak selayaknya orang menghakimi liberalisme tanpa terlebih dahulu memahami apa itu liberalisme.
Kelahiran Liberalisme
            Eropa abad pertengahan (kira-kira abad ke 5 sampai ke 15) ada pada sebuah era yang oleh sebagian orang disebut zaman gelap atau the dark age. Sebutan abad kegelapan diberikan karena pada masa ini terjadi kemandekan perkembangan ilmu. Keadaan tersebut disebabkan kuatnya dogma-dogma agama. Gereja menjadi pusat kekuasaan yang menguasai seluruh sisi kehidupan, bahkan juga mengekang kebebasan untuk berpikir. Ilmu hanya dipelajari untuk dilestarikan, bukan untuk dikembangkan, dikritisi, apalagi dikoreksi.
            Zaman gelap mulai menunjukkan akhir perjalannya dengan munculnya ide-ide baru yang sedikit banyak menggugat dominasi gereja. Kaum agamawan yang berkedudukan sebagai penguasa gereja mulai mendapat kritik atas perilaku buruk dan kewenangannya yang berlebihan.
            “Dante Alighieri (1265-1321) memasukkan Paus Boniface sebagai salah satu penghuni      delapan lingkaran neraka dalam karyanya yang terkenal, Divine Comedy. Dalam De Monarchia, Dante bersikeras untuk memisahkan kekuasaan negara dari kepausan. Tantangan-tantangan terhadap kekuasaan gereja Roma berlanjut hingga Martin Luther (1483-1546) yang mempersoalkan peran kewenangan yang dimainkan pendeta dalam menginterpretasikan Injil bagi umat dan kewewenang sekuler paus atas uskup-uskup lokal.”[1]
Masa ini kemudian akarab disebur era Renaisance. Orang Eropa merasa telah mendapatkan kembali jati dirinya sebagai manusia yang menjunjung tinggi akal pikiran dan lepas dari dogma-dogma agama yang mengungkung kebebasan berpikir. Pada masa ini pula sebenarnya embrio liberalisme muncul.
Menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) kebebasan adalah hak alami yang dimiliki manusia. Kebebasan menurut adalah ketiadaan kendala-kendala eksternal: kendala-kendala yang sering kali mengambil sebagian kekuatan manusia untuk melakukan apa yang diinginkannya; namun tidak dapat menghalanginya untuk menggunakan kekuatan yang tersisa, menurut penilaiannya dan akalnya.[2] Hobbes meskipun demikian masih menganggap perlunya kedaulatan yang berkuasa penuh untuk menjaga kedamaian segera setelah individu-individu yang setara secara sukarela menyerahkan hak-haknya demi kepentingan kedamaian.
Gagasan Hobbes tentu belum benar-benar menemukan jantung cita-cita liberalisme. Jantung cita-cita leberalisme adalah gagasan bahwa individu-individu yang bebas dan setara bisa secara sukarela mendukung kesepakan bagi keuntungan bersama. Meskipun demikian setidaknya Hobbes telah memberikan sumbangan pemikiran yang cukup penting. Adalah John Locke yang kemudian melengkapi kredo liberal dengan menegaskan bahwa kesepakatan adalah lem yang mengikat individu-individu bebas.[3]
Apa Itu Liberalisme ?
Banyak pendapat tentang apa itu itu liberalisme. Setiap orang dengan latar belakang berbeda hampir pasti punya penafsiran yang berbeda tentang liberalisme. Barangkali penjelasan yang paling dapat mendekati tentang apa itu liberalisme haruslah berasal dari kaum liberal itu sendiri. Ludwig von Mises seorang liberalis memberikan penjelasan tentang apa itu liberalisme sebagai berikut.
“Liberalisme bukan agama, cara pandang dunia, atau partai dengan kepentingan khusus. Liberalisme bukan agama karena tidak menuntut iman atau ketaatan, karena tidak bersifat gaib, dan karena tidak memiliki dogma. Liberalisme bukan cara pandang dunia karena tidak mencoba menjelaskan kosmos dan tidak memberi penjelasan tentang makna dan tujuan keberadaan manusia. Liberalisme bukan partai dengan kepentingan khusus karena tidak memberikan atau berusaha untuk memberikan keuntungan khusus kepada individu atau golongan mana pun. Liberalisme adalah sebuah ideologi, doktrin tentang hubungan yang setara antara anggota masyarakat dan pada saat yang sama merupakan penerapan doktrin tersebut dalam tindakan manusia dalam sebuah masyarakat.[4]
Penjelasan tersebut kiranya mampu memberikan pemahaman tentang apa itu liberalisme bagi kaum liberal. Sementara itu kaitannya dengan negara kaum liberal juga punya pendapatnya sendiri.
            Liberalisme bukan anarkisme, juga tak ada hubungannya sama sekali dengan anarkisme. Kaum liberal memahami dengan sangat jelas, bahwa tanpa paksaan, keberadaan masyarakat akan terancam, dan bahwa di balik aturan-aturan mengenai perilaku yang menuntut ketaatan anggota masyarakat untuk menjamin kerjasama manusia yang damai, harus ada ancaman paksaan kalau seluruh tatanan masyarakat tidak ingin terus bergantung pada belas kasihan salah satu anggotanya.[5]
Demokrasi Liberal penerapan liberalisme dalam kehidupan bernegara di Indonesia ?
            Setelah mencoba memahami apa itu liberalisme barangkali akan muncul pertanyaan, pernahkah liberalisme diterapkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Memang Indonesia pernah menganut sistem demokrasi liberal tapi apakah berarti waktu itu Indonesia menerapkan liberalisme dalam kehidupan bernegara ? Apapun jawabannya setidaknya pada masa itulah kata liberal diauki dalam menyatakan sebuah sistem pemerintahan. Jadi secara de Jure itulah masa dimana kehidupan bernegara paling dekat dengan liberalisme.
            Demokrasi liberal atau disebut juga demokrasi parlementer di Indonesia berlangsung antara tahun 1950-1959. Ciri utama masa ini adalah kebebasan politik; kebebasan pers dan media massa, serta penghargaan terhadap HAM. Salah satu prestasi terbesar yang dicapai sistem ini adalah terselengaranya pemilu yang sampai sekarang dianggap sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia. Padahal saat itu sebagian besar penduduk masih buta huruf.
            Meskipun cukup banyak prestasi yang dicapai oleh sistem demokrasi liberal namun sistem ini dan tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sistem demokrasi liberal dalam praktiknya menciptakan instabilisasi politik. Para politik kesulitan menggalang koalisi. Jatuh-bangun kabinet silih terjadi begitu cepat,[6] sehingga tidak ada kabinet yang mampu menerapkan program-programnya secara maksimal.
           
           


                         
           


[1] Josep Losco dan Leonard Williams.2005.Political Theori, Kajian Klasik dan Kontemporer Machiavelli-Rawls.terjemahan Haris Munandar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 14
[2] Ibid. hal 85-86
[3] Ibid. hal 16
[4] Ludwig von Mises.2011.Menemukan Kembali Liberalisme.Jakarta:The Foundation for Economic Education, Inc. hal 226
[5] Ibid. hal 44
[6]  Suwarno.2012.Sejarah Politik Indonesia Modern.Yogyakarta:Ombak. hal 60-62

Posted on Rabu, 31 Oktober 2012 Mata Pelajaran Ad Hoc Mata Kuliah Darurat


Mata Pelajaran Ad Hoc Mata Kuliah Darurat
Dhani Kurniawan
                  Judul artikel ini terinspiarsi oleh sebuah pementasan karya MH Ainun Najib. Judul pementasan tersebut adalah nabi darurat rasul ad hoc. Namun sebenarnya tidak ada hubungan antara apa yang akan saya utarakan dengan pementasan tersebut. Saya hanya merasa cocok menggunakan kata Ad Hoc dan Darurat. Saya juga merasa perlu menuliskan bahwa judul artikel ini terinspirasi dari judul pementasan tersebut agar tidak dikatakan plagiat. Apa yang yang tulis ini berkisah tentang kerisauan saya pada dunia pendidikan kita. Kisah ini barangkali hanya pengalaman pribadi seorang siswa atau mahasiswa biasa, tetapi pasti banyak orang lain yang mengalami hal serupa.
Pada waktu saya SMA ada mata  pelajaran baru yang masuk dalam kategori muatan lokal.  Mata pelajaran tersebut adalah PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup). Mata Pelajaran tersebut mangajarkan siswa untuk lebih mencintai dan melestarikan lingkungan. Saya sendiri tidak tahu mengapa mata pelajaran tersebut ditambahkan dalam kurikulum. Anehnya muatan lokal bahasa daerah (bahasa Jawa) justru tidak ada dalam kurikulum sekolah saya. Entah, apakah bahasa daerah tergusur oleh PLH atau memang sejak dulu tidak masuk kurikulum.
PLH sebagai suatu mata pelajaran sebenarnya tidak perlu ada jika semua mata pelajaran di sekolah sudah tercapai tujuannya. Bukankah sudah ada mata pe;ajaran Geografi pada jurusan IPS. Geogarfi tidak sekedar mengajarkan berapa luas daratan, seberapa luas laut atau seberapa besar penduduk Indonesia. Geografi seharusnya mampu menanamkan sikap dan kesadaran pada diri siswa tentang interaksi lingkungan dan manusia sehingga siswa memiliki kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.  Penambahan mata pelajaran PLH apakah berarti kegagalan mata pelajaran Goegrafi. Kalaupun jawabannya iya tidak berarti penyelesaiannya adalah denga menambahkan mata pelajaran baru. Mengapa tidak mengevaluasi, membenahi, dan mengoptimalkan mata pelajaran yang sudah ada.
Keanehan yang lebih parah lagi terjadi karena ternyata mata pelajaran PLH juga diajarkan di jurusan IPA. Bukankah alam adalah jiwa dari jurusan IPA. Apakah semua teori yang ada pada pelajaran rumpun IPA tidak cukup untuk menciptakan sikap sadar lingkungan pada para siswa. Apakah pembelajaran di jurusan IPA hanya sekedar teori-teori kosong yang gagal menyentuh kehidupan nyata para siswa. Mungkin juga karena masalah kelestarian lingkungan yang mendesak di daerah sekitar sekolah. Tetapi alasan yang terakhir rasanya tidak masuk akal karena saya rasa tidak ada masalah lingkungan yang darurat di sekitar sekolah saya.
Setelah lulus SMA kemudian saya melanjutkan ke perguruan tinggi dengan mengambil jurusan sejarah. Ketika saya belajar di perguruan tinggi saya menjumpai kasus yang mirip dengan pengalaman saya di SMA. Ada mata kuliah baru dalam kurikulum, yaitu mata kuliah pendidikan karakter. Meskipun sudah menempuh mata kuliah tersebut dan lulus dengan nilai A tetapi sejatinya saya tidak benar-benar mengerti apa maksud mata kuliah tersebut.
Nama mata kulaih (Pendidkan Karakter) sebenarnya terasa aneh bagi saya. Karakter yang dimaksud dalam kuliah tersebut terasa abstrak dan membingungkan. Materi dalam mata kuliah tersebut lebih mirirp materi Pkn (dulu PPKn) untuk SD. Alasan diadakannya mata kuliah tersebut juga tidak begitu jelas. Karakter mana yang ingin dibenahi atau karakter seperti apa yang ingin dibentuk. Mata kuliah tersebut lebih pada reaksi yang kalab terhadap perilaku atau moral generasi muda yang memprihatinkan.
Mata kuliah Pendidikan karakter seharusnya tidak perlu ada karena ruh dari pendidikan adalah karakter. Lagi pula jika yang dikhawatirkan adalah peroalan prilaku atau moral bukankah seharusnya bisa diatasi dengan mata kuliah yang sudah ada, misalnya pendidikan agama, pendidikan pancasila, dan pendidikan kewarganegaraa. Apakah ini berarti pelaksanaan ketiga mata kuliah tersebut telah gagal total dan sudah tidak bisa dibenahi lagi.
Saya merasa ada sedikit kemiripan pada pengalaman saya pada mata pelajaran PLH dan mata kuliah Pendidikan Karakter. Pertama keduanya sama-sama memaksa untuk diada-adakan. Sebenarnya esensi mata pelajaran dan mata kuliah tersebut sudah ada pada mata pelajaran dan mata kuliah yang selama ini diajarkan. Keduanya ternyata keduanya sama-sama memuat unsur prestisius. PLH mampu mendongkrak nilai tawar SMA saya yang berhasil beberapa kali mendapat anugerah adiwiyata. Sementara itu Pendidikan Karakter mampu memberi nilai lebih bagi Universitas tempat saya kuliah yang mengaku sebagai Leader dalam pendidikan berbasis karakter.
Pendidikan formal seharusnya tidak melupakan makna dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan seharusnya tidak dicampuri kepentingan politik atau prestis sebuah lembaga pendidikan atau pknum-oknum di dalamnya. Kurikulum sebagai kerangka dalam pelaksanaan pendidikan formal seharusnya memperhatikan kebutuhan dari siswa ata mahasiswa. Pendidikan harus dikembalikan ke kodratnya karena pada dasarnya pendidikan adalah untuk siswa atau mahasiswa bukan untuk orang tua, lembaga atau dunia kerja. Kepentingan, prestise, dan banyak hal lainnya dari lembaga pendidik atau oknum-oknumnya telah merusak dunia pendidikan kita.
Yogyakarta, pertengahan September 2012

Posted on Minggu, 21 Oktober 2012 Keruntutan Pemahaman


Keruntutan Pemahaman
Oleh Dhani Kurniawan

Hari ini aku coba mulai menulis atau lebih tepatnya mengerjakan tugas mata kuliah  sejarah filsafat. Pada mata kuliah ini kelompokku mendapat bagian untuk mengkaji tentnag Hegel, tentu terutama tentang pemukirannya yang berkaitan dengan sejarah dan filsafat. Sudah sejak beberapa hari yang lalu aku mulai  mencoba membaca-baca tentang Hegel, aku garis bawai kata atau kalimat yang menurutku penting. Awalnya setelah kelakukan itu proses pengerjaan tugas akan menjadi muah karena aku tinggal merangkai bagian-bagian yang sudah ku tandai.
Aku mulai mengerjakannya dengan menuliskna riwayat singkat Hegel. Pekerjaan awal ini tidak terlalu sulit. Meskipun hanya ada sedikit informasi tentang riwayat hidupnya tak masalah, toh bukan itu fokus tugasku. Selanjutnya aku ulai mencoba menulis tentang pemikirannya. Pada tahap inilah kesulitan aku temui. Aku tidak punya gambaran yang mantap tentang sistematika dalam menulis pemikiran yang belum begitu aku pahami. Aku bolak-balik buku yang ada di dekatku, juga file pdf di laptopku. Aku berusaha membacanya kembali agar aku paham dan dapat meyusun kerangka tulisannku nanti. Ku bacai lagi tulisan yang kemarin sudah aku tandai. Tapi tak semudah yang ku harapkan.
Kebingungan ini membawaku untuk membaca tulisan tentang apa itu filsafat sejarah. Itu pun harus dimulai dengan kembali memahami apa itu sejarah. Padahal tentang apa itu sejarah sudah tidak seharusnya aku masih bertanya-tanya. Tetap tetap saja aku harus bangun kembali pemahamanku yang samar. Setelah aku baca dan coba pahami tentang apa itu filsafat sejarah, perlahan aku baru tahu apa kesalahanku. Kesalahan terbesarku adalah mencoba memahami pemikiran hegel padahal aku belum paham apa itu filsafat sejarah
Perlahan aku mulai sadar tentang kesalahanku yang paling mendasar. Aku terlalu sombong, melompat-lompat dalam mempelajari ilmu. Ternyata ilmu memang harus dipelajari secara runtut, secara menyeluruh, tidak boleh melompat-lompat secara serampangan. Dampak  buruk terkecil dari pelompatan dalam mempelajari ilmu adalah seperti yang aku alami. Kesulitan mendapatkan pemahaman, konstruksi, dan gamabaran. Apa yang nampak hanyalah potongan kalimat-kalimat yang seolah bijak dan punya kekuatan besar. HAnya potongan-potongan kalimat yang tidak memberikan pemahaman tentang apapun.
Mengapa aku bilang itu dampak uruk terkecil, tentu karena aku yakin ada dampak buruk yang lebih besar. Kebingungan setidaknya lebih baik daripada salah pemahaman. Salah pemahaman akan menggiring seseornag ke arah yang tidak jelas. Arah yang tidak dituntun oleh apa yang dibacanya, juga oleh kesadarannya yang utuh. Tidak menutup kemungkinan dia akan tersesat dan yang paling berbahaya adalah jika dia teguh dalam kesesatannya.
HMPS 21 Oktober 2012

Posted on Selasa, 02 Oktober 2012 Berani Beda


Menjadi Beda
Oleh Dhani Kurniawan

“Berbahagialah mereka yang terperangkap dalam keterasingan karena memperjuangkan kemerdekaan”

Orang bilang hidup adalah pilihan. Kita selalu bisa memilih dalam situasi apapun. Orang biasanya ribut dengan pilihan yang mana yang akan dipilihnya. Namun masalah sebenarnya adalah setelah pilihan sudah dibuat akan ada harga yang harus dibayar.
Menjadi beda juga adalah sebuah pilihan. Tidak banyak orang yang berani menjadi beda. Padahal perbedaan adalah seuatu yang indah. Lebih dari itu menjadi beda sebenarnya berarti menegaskan eksistensi seseorang. Orang yang hanya mengikuti arus pada dasarnya dia telah hilang, larut dalam arus yang membawanya.
Setiap orang telah dibekali dengan nurani. Nurani sejatinya secara Universal mengakui nilai-nilai kebaikan. Apakah ada orang yang suka dibohongi, dianiaya, dan ditindas ? Tentu jawabannya tidak, terutama jika orang itu benar-benar waras. Namun mengapa hari ini kita sulit mendapati orang yang setia pada nuraninya ?
Hari ini menjadi orang yang setia pada nuraninya ternyata juga berarti menjadi orang yang berbeda. Orang yang berbeda apapun alasannya hampir pasti mendapat tentangan dari lingkungannya, paling tidak pada awalnya. Selanjutnya ada dua kemungkinan. Pertama orang tersebut akan menghilangkan perbedaan karena lingkunganmengikutinya. Kedua dia akan kehilangan perbedaan karena lingkungan menyeretnya dalam arus mayoritas. Barangkali yang kedua lebiha banyak terjadi.
Dunia telah menjadi saksi bahwa ternyata orang yang berbeda dan bisa menghilangkan perbedaan dengan membikin lingkungan mengkikutinya akan menjadi orang yang menjadi orang yang dikenang dan namanya dicatat dalam sejarah. Hanya orang-orang yang terpilih saja yang akan dikenang dan tercatat namanya dalam sejarah. Sayangnya hanya ada sedikit orang yang mampu bertahan sebagai orang yang berbeda. Lebih sedikit lagi orang yang mampu menghilangkan perbedaan dengan membuat lingkungan mengikutinya.

Posted on Rabu, 19 September 2012 Wanita II


Siapa Dia yang Begitu Indah Itu ?
Oleh Dhani Kurniawan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia wanita berarti kata halus dari perempuan, lawan kata lelaki, atau perempuan yang sudah dewasa. Kamus tersebut hanya menjelaskan wanitadari dari segi kata “wanita” dan kurang menyentuh sosok wanita yang sebenarnya. Wanita bukan sekedar kata yang digunakan untuk menyebut suatu jenis kelamin. Wanita memiliki makna yang cukup komplek karena wanita mewakili sesosok mahkluk yang sangat istimewa. Wanita tidak hanya berbeda secara fisik dengan pria tetapi juga perbedaan yang lebih kompleks dalam hal non fisik. Orang terkadang memandang remeh terhadap wanita. Pandangan tersebut kebanyakan didasarkan pada pandangan umum bahwa wanita lebih lemah daripada pria. Sepintas memang secara fisik wanita nampak lebih lemah daripada pria. Namun dibalik tubuh yang nampak lemah nan indah wanita memiliki pesona dan kekuatan yang luar biasa.
Wanita dengan segala pesonanya baik fisik maupun non fisik juga selalu menarik untuk dibicarakan. Ada kalanya wanita dipuji seperti dewi tetapi tidak jarang juga dihujat dan direndahkan. Bagaimanapun wanita diposisikan dan diperlakukan yang jelas tidak akan ada yang bisa mengingkari betapa penting kedudukan wanita. Perkembangan zaman bahkan telah membuat wanita menembus batas kedudukan dan perlakuan yang dahulu disakralkan. Wanita hari ini tidak sekedar pelengkap, tidak sekedar hiasan dan tidak sekedar” konco wingkeng yang suargo nunut neraka ketut”. Wanita hari ini adalah wanita yang berhak dan mampu menentukan jalan takdirnya sendiri.
Umat Islam punya kepercayaan bahwa wanita pertama diciptakan dai tulang rusuk lelaki yang juga manusia pertama yaitu Adam. Konon Adam yang saat itu ditempatkan di surga dengan segala kemewahan dan kenikmatan yang tiada tandingannya merasakan ada sesuatu yang kurang. Adam meskpun telah dikelilingi oleh segala macam keindahan ternyata merasa kesepian. Dia merasa tidak memiliki teman yang berasal dari jenis yaitu manusia.. Allah Tuhan dalam kepercayaan Islam mengetahui perasaan Adam. Allah dengan kekuasaan dan kebijaksanaannya kemudian menciptakan teman hidup bagi Adam dari jenisnya dan terciptalah wanita pertama.
Kisah tersebut memang hanya dipercaya oleh orang Islam atau mungkin juga Nasrani dan Yahudi. Namun sebenarnya ada makna yang menarik dari kisah tersebut. Pertama Adam ternyata merasa ada yang kurang dan merasa kesepian meski telah dilimpahi segala kemewahan dan kenikmatan. Keadaan tersebut menyiratkan pesan bahwa lelaki sebagai manusia tidak lengkap tanpa ada wanita yang menemaninya. Kedua diciptakannya wanita dari tulang rusuk. Mengapa harus tulang rusuk, bukan tulang kaki atau tulang kepala. Ternyata posisi tulang rusuk dalam manusia pas untuk menggambarkan posisi seharusnya wanita terhadap lelaki. Tulang rususk tidak terlalu rendah, tidak juga terlalu tinggi. Tulang rusuk juga memegang peranan penting bagi manusia yaitu melindungi organ tubuh yang cukup vital antara lain paru-paru dan jantung. Uniknya lagi ternyata tulang rusuk adalah tulang yang paling mungkin bertemu sacara pas ketika dua orang berpelukan.
            Kisah terciptanya wanita pertama menurut kepercayaan Islam bagi saya cukup untuk menjawab pertanyaan siapa itu wanita dan bagaimana posisinya terhadap lelaki. Wanita adalah mahkluk yang begitu luar biasa. Wanita adalah ciptaan luar biasa Yang Maha kuasa yang begitu indah dan sempurna. Menurut saya satu-satunya kekurangan terbesar wanita adalah ketika dia tidak menyadari posisinya dan tidak menyadari segala kelebihan yang dimilikinya
September 2012

Posted on Senin, 27 Agustus 2012 Ironi Petani di Negeri Agraris


Kisah Tragis Petani di Negeri Agraris
Oleh Dhani Kurniawan
Sabuk zamrud yang melingkar di katulistiwa, begitulah Multatuli memberi perumpamaan bagi keindahan alam Indonesia. Selain menyimpan keindahan yang luar biasa alam Indonesia telah sejak berabad lalu dikenal subur. Tanah Indonesia menumbuhkan berbagai macam tanaman dengan segala manfaat dan keindahannya. Sudah sejak zaman kejayaan kerajaan Hindu-Budha berabad yang lalu Nusantara dikenal dengan hasil buminya yang laku keras di pasaran internasional. Berbondong-bondong pedagang dari Arab, India, juga Cina berlayar ke Nusantara untuk mendapatkan hasil buminya.
Awal abad 17 tak ketinggalan bangsa Eropa dari daratan yang begitu jauh, bersusah payah mengarungi samudera. Bangsa Eropa rela bersusah payah menempuh perjalanan panjang beresiko juga tak lain demi mencari gugusan kepulauan yang terkenal dengan hasil buminya. Bahkan orang-orang Eropa kemudian datang tidak sekedar untuk berdagang. Perlahan-lahan mereka berusaha menguasai hasil bumi, tanah, bahkan manusia Indonesia. Kekayaan alam yang melimpah itu ternyata justru membawa malapetaka. Indonesia harus mengalami perjalanan pahit berganti-ganti dijajah bangsa asing.
Adalah petani Indonesia yang selama ini dengan sepenuh hati mengolah bumi agar menumbuhkan tanaman yang bermanfaat bagi manusia. Petani Indonesia adalah pihak yang paling berjasa atas segala macam hasil bumi yang memiliki kualitas tinggi dan begitu diminati pasar inetrnasional. Telah berabad lamanya Indonesia dengan luasnya lahan pertanian dan hasil buminya yang melimpah dikenal sebaga negara agraris. Bahkan di era kolonial, kopi, gula, semua hasil bumi Indonesia telah mengantarkan Belanda menjadi negeri yang kaya raya.
Sayang beribu sayang nasib petani di negeri ini tak semanis gula Indonesia yang pernah memaniskan Eropa. Sudah sejak dulu kaum petani selalu identik dengan kelas sosial rendah dan miskin. Padahal sebenarnya petani adalah golongan yang paling tidak pernah membebani negara. Mereka hidup mandiri walaupun pas-pasan dari keringat mereka sendiri. Petani juga adalah golongan yang paling tidak pernah mengeluh, warga negara yang baik, dan tentunya taat pajak.
Pemerintah nampaknya belum pernah memberikan perhatian yang serius kepada petani. Bahkan di era perdagangan bebas petani semakin tergencet. Entah mengapa kian hari produksi pertanian kita kian tertinggal daripada negara-negara lain. Indonesia yang telah berabad-abad terkenal sebaga negeri agraris sampai-sampai harus mengimpor produk pertanian yang paling pokok yaitu beras. Semakin hari neraca perdagangan produk pertanian kian menunjukkan ke arah negatif.
Nasib petani kian hari kian tragis. Petani seolah-olah adalah pekerjaan yang ditekuni sebagai pilihan terakhir. Bahkan dalam keluarga petani, kebanyakan mengharapkan keturunan mereka tidak menjadi petani. Para petani berusaha keras menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar kelak tidak seperti orang tuanya. Memang di negeri ini menjadi petani seolah-olah berarti menjadi miskin. Lihatlah betapa sulitnya hidup petani. Ketika musim tanam pupuk menghilang dan harganya melangit, irigasi buruk, dan ketika panen harga produk pertanian anjlok. Tak bisa disalahkan jika para petani tak rela keturunnnya mengalami nasib yang sama dengan mereka.
Sebenar ketika pekerjaan sebagai petani mulai dijauhi bom waktu telah dipasang untuk menghancurkna negeri ini dari dalam. Bayangkan jika semakin sedikit orang yang mau menjadi petani, semakin sedikit hasil pertanian, dan semakin banyak kita harus import, dan pada akhirnya semakin lemah ketahanan pangan negara ini. Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris dengan segala macam hasil buminya telah tamat. Indonesia kita nanti adalah Indonesia yang harus import untuk untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Sudah saatnya dunia pertanian lebih diperhatikan. Pertanian memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan paling pokok manusia. Jika guru selama ini bangga dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa maka rasanya tidak berlebihan jika petani Indonesia diberi gelar pahlawan tak dianggap. Barangkali terdengar menyedihkan, tetapi begitulah kehidupan petani di negeri ini.

Madiun, 18 Juli 2012 

Posted on Sabtu, 18 Agustus 2012 Kemerdekaan


Apa Benar (Indonesia Sudah) Merdeka ?
Refleksi Peringatan 67 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Oleh Dhani Kurniawan

“Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap, Merdeka atau Mati”
(Bung Tomo)[1]

Sepenggal pidato bung Tomo diatas setidaknya cukup memberi gambaran betapa hebat tekad bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Kemerdekaan yang diraih Indonesia tidak begitu saja jatuh dari langit. Sejarah membuktikan kemerdekaan diperjuangkan dan dipertahankan mati-matian. Bukan sekedar mempertaruhkan harta benda tetapi juga nyawa. Tidak hanya dengan cucuran keringat tetapi juga darah dan air mata. Perjuangan tersebut tentunya dibarengi harapan besar akan terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat setelah kemerdekaan tercapai.
Penjajahan yang dihadapi bangsa Indonesia dulu adalah jelas kolonialis-imperialis. Bangsa asing datang melakukan pendudukan, merebut kekuasaan di segala aspek, dan tidak segan-segan melakukan tekanan dengan senjata. Bangsa Indonesia saat ini sudah terbebas dari penjajahan semacam itu. Indonesia sudah menjadi bangsa yang memerintah dirinya sendiri. Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menjadi negara yang secara de facto dan de jure diakui dunia sebagai negara yang merdeka penuh.
Zaman telah berganti dan zaman kolonial memang sudah berakhir. Dunia kini sudah tidak lagi mengenal penjajahan gaya lama. Tidak ada lagi suatu negara mengirim angkatan bersenjata ke negara lain untuk melakukan penaklukan. Kalaupun ada invasi militer ke negara lain pasti dengan dalih yang mampu melegalkan tindakan tersebut. Misalnya invasi Amerika ke Irak dengan dalih Irak memiliki senjata pemusnah masal atau invasi ke Afganistan dengan dalih memburu teroris. Namun sadarkah kita bahwa zaman baru telah dimulai ? Sadarkah kita zaman neokolonial telah dimulai ?
“Oleh karena itulah, sadarlah hendaknja seluruh rakjat Indonesia, terutama sekali para Anggota MPRS sebagai Wakil-wakil Rakjat kita, bahwa kita sedang berada ditengah-tengah kantjah-perdjuangan matian-matian menghadapi Nekolim[2] serta antek-antekntja, untuk memenangkan Revolusi kita !
Insjaflah hai seluruh Rakjat Indonesia, dan segenap Anggota MPRS, akan tuntutan-sedjarah pada tingkatan memuntjaknja perdjuangan kita ini dalam bidang nasional dan internasional untuk memenangkan revolusi kita !”…….
(Soekarno pada pidato pembukaan sidang istimewa MPRS 11 April 1965)[3]
            Kutipan sebagaian pidato bung Karno diatas setidaknya telah membuktikan bahwa beliau telah memahami tantangan baru terhadap kemerdekaan sejati yang menjadi harapkan bangsa  Indonesia. Pada saat itu Bung Karno mengambil kebijakan politik konfrontasi dengan kapitalis barat. Namun Soekarno dijegal dan pasca kejatuhannya arah politik Indonesia berubah drastis.
‘Tapi sekarang, tahun 2012, jarak dan situasi Indonesia dengan Indonesia yang diperjuangkan oleh Soekarno sangatlah jauh. Dia memperjuangkan sosialisme Indonesia dimana rakyat yang mayoritas berkuasa dan bekerja dengan semangat gotong-royong; di mana Indonesia menjadi bagian dari New Emerging Forces (Nefos) yang sedang membangun sebuah tatanan dunia baru, tanpa kolonialisme dan neo-kolonialisme. Tetapi Indonesia yang berkembang dari 1965 sampai 2012 adalah Indonesia yang sepenuhnya tergerakkan oleh dinamika kapitalisme – kapitalisme vulgar eksploitatif dan terkadang pula, dengan elite berkuasa yang memiliki ciri khas sama – dan menyatunya dengan kekuatan imperialis yang berpusat di Washington, London, Tokyo, dan Canberra.”[4]
Nekolim dalam prakteknya tidak lagi menggunakan cara-cara lama untuk menjajah. Penjajah gaya baru masuk dengan jalan menguasai sumber daya alam, menguasai pasar dan mungkin disertai tekanan politik. Penjajahan modern tidak lagi dilakukan secara fisik, tetapi lebih berwawasan ekonomi. Wawasan ekonomi tersebut bahkan kemudian memengaruhi cara berpikir kita semua.[5]Konstitusi sebenarnya telah mengantisipasi masuknya nekolim.  UUD 1945 pasal 33 telah jelas mengungkapkan tentang penguasaan sumber daya alam. Namun tidak jarang terjadi perdebatan terhadap penafsiran pasal tersebut. Celakanya lagi peraturan-perundangan dibawahnya sudah mulai melenceng dan cenderung menguntungkan pihak asing.[6]
            Sekarang mari kita tengok siapa yang menguasai sumber daya alam Indonesia. Sebanyak 85 persen kekayaan migas , 75 persen kekayaan batubara, 50 persen lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90 persen dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju. 175 juta ha tanah dalam bentuk HPH,HGU,KONTRAK KARYA, air tawarnya dikuasai 246 perusahaan air minum dalam kemasan(AMDK). 65% dipasok oleh perusahaan asing (AQUA DANONE, dan ADES COCACOLA). AQUA DANONE milik Prancis menguras air Indonesia dari 2001 sampai dengan 2008 saja 32.000.000.000 liter dengan laba yang dilapor hanya Rp 728 milyar.[7] Sungguh tragis, pantaskah kita disebut merdeka ? Dalih umum yang digunakan sebagai pembenaran keadaan tersebut adalah Indonesia belum memiliki sumber daya alam dan modal yang cukup untuk mengolah sumber daya alamnya. Benarkah memang kita belum mampu ? Lucunya lagi adalah ketika pembagian laba hasil eksploitasi sumber daya alam perbandingannya sungguh tidak masuk akal.
            Negera kita mengaku bahwa mengedepankan ekonomi kerakyatan. Tetapi kenyataan berkata lain.  Kondisi pasar Indonesia juga sungguh meprihatinkan. Kita ditekan habis-habisan untuk masuk ke pasar bebas dan bersaing dengan negara-negara maju yang tentu saja merupakan persaingan yang tidak seimbang.[8] Akibatnya barang-barang import memenuhi pasaran Indonesia. Produk dalam negeri kalah saing. Akhirnya Indonesia menjadi negara konsumen yang merupakan sasaran empuk bagi negara-negara maju, terlebih lagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan sikap konsumtifnya.
            Maksud dari penulisan artikel ini bukanlah untuk membuat bangsa Indonesia putus asa. Artikel ini ditulis untuk menjadi renungan agar kita kita semua sadar. Kita harus sadar bahwa kita dijajah. Kemerdekaan sejati seperti yang dicita-citakan para pendiri negara ini tidak akan pernah diraih jika tidak sadar bahwa Indonesia masih dijajah.

Yogyakarta 29 Juni 2012


[1] Bung Tomo melakukan pidato menjawab ultimatum tentara Inggris lewat siaran radio yang begitu berapi-api sehingga mampu mengobarkan semangat rakyat Indonesia di Surabaya
[2] Nekolim merupakan kependekan dari neo kolonialis dan imperialis
[3] Berdiri diatas Kaki Sendiri (BERDIKARI) PENERBITAN CHUSUS 366 MPRS-DEPPEN Penerbit Harris, Medan.
[4] Lane, Max.2012. Malapetaka di Indonesia: sebuah esai renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri.terjemahan Chandra Utama.tanpa kota:penebit Djaman Baroe.
[6]  Misalnya UU 25 2007 pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun. Teritorial Indonesia (tanah dan laut) telah dibagi dalam bentuk KK Migas, KK Pertambangan, HGU Perkebunan, dan HPH Hutan. Total 175 juta hektar (93% luas daratan Indonesia) milik pemodal swasta/asing(Sumber : Salamuddin Daeng(SD), Insititut Global Justice (IGJ) dalam www.rimanews.com diakses 27 Juni 2012 pukul 13.55.  Ada pula UU nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas. Banyak pihak, khususnya kalangan peneliti, sudah membuktikan bahwa UU ini dibuat dengan sokongan lembaga-lembaga asing. Yang terakhir disebut-sebut mendanai pembuatan UU ini adalah United States Agency for International Development (USAID). sumber http://www.maula.or.id/?p=4016 diakses pukul 14.00
[8] Terhitung sejak, Selasa (10/1/2012), Indonesia telah resmi menjalani perdagangan bebas dengan ASEAN, Australia dan juga Selandia baru. Sumber Fajri Gelu dalam http://pasardana.com/indonesia-resmi-masuk-perdagangan-bebas/diakses 28 Juni 2012 pukul 23.48. Sejak disepakatinya perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dimulai tanggal 1 Januari 2010, produk jadi dari China membanjiri pasar domestik. Sumber Kompas Cetak Editor :Erlangga Djumena dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/02/1153057/Perdagangan.Indonesia-China
diakses 28 Juni 2012 pukul 23.53