Posted on Senin, 27 Agustus 2012 Ironi Petani di Negeri Agraris
Kisah
Tragis Petani di Negeri Agraris
Oleh
Dhani Kurniawan
Sabuk zamrud yang melingkar di
katulistiwa, begitulah Multatuli memberi perumpamaan bagi keindahan alam Indonesia .
Selain menyimpan keindahan yang luar biasa alam Indonesia telah sejak berabad lalu
dikenal subur. Tanah Indonesia
menumbuhkan berbagai macam tanaman dengan segala manfaat dan keindahannya.
Sudah sejak zaman kejayaan kerajaan Hindu-Budha berabad yang lalu Nusantara
dikenal dengan hasil buminya yang laku keras di pasaran internasional. Berbondong-bondong
pedagang dari Arab , India , juga Cina berlayar ke
Nusantara untuk mendapatkan hasil buminya.
Awal abad 17 tak ketinggalan
bangsa Eropa dari daratan yang begitu jauh, bersusah payah mengarungi samudera.
Bangsa Eropa rela bersusah payah menempuh perjalanan panjang beresiko juga tak
lain demi mencari gugusan kepulauan yang terkenal dengan hasil buminya. Bahkan
orang-orang Eropa kemudian datang tidak sekedar untuk berdagang. Perlahan-lahan
mereka berusaha menguasai hasil bumi, tanah, bahkan manusia Indonesia .
Kekayaan alam yang melimpah itu ternyata justru membawa malapetaka. Indonesia harus
mengalami perjalanan pahit berganti-ganti dijajah bangsa asing.
Adalah petani Indonesia yang
selama ini dengan sepenuh hati mengolah bumi agar menumbuhkan tanaman yang
bermanfaat bagi manusia. Petani Indonesia
adalah pihak yang paling berjasa atas segala macam hasil bumi yang memiliki
kualitas tinggi dan begitu diminati pasar inetrnasional. Telah berabad lamanya Indonesia
dengan luasnya lahan pertanian dan hasil buminya yang melimpah dikenal sebaga
negara agraris. Bahkan di era kolonial, kopi, gula, semua hasil bumi Indonesia telah
mengantarkan Belanda menjadi negeri yang kaya raya.
Sayang beribu sayang nasib
petani di negeri ini tak semanis gula Indonesia yang pernah memaniskan
Eropa. Sudah sejak dulu kaum petani selalu identik dengan kelas sosial rendah
dan miskin. Padahal sebenarnya petani adalah golongan yang paling tidak pernah
membebani negara. Mereka hidup mandiri walaupun pas-pasan dari keringat mereka
sendiri. Petani juga adalah golongan yang paling tidak pernah mengeluh, warga
negara yang baik, dan tentunya taat pajak.
Pemerintah nampaknya belum
pernah memberikan perhatian yang serius kepada petani. Bahkan di era
perdagangan bebas petani semakin tergencet. Entah mengapa kian hari produksi
pertanian kita kian tertinggal daripada negara-negara lain. Indonesia yang
telah berabad-abad terkenal sebaga negeri agraris sampai-sampai harus mengimpor
produk pertanian yang paling pokok yaitu beras. Semakin hari neraca perdagangan
produk pertanian kian menunjukkan ke arah negatif.
Nasib petani kian hari kian
tragis. Petani seolah-olah adalah pekerjaan yang ditekuni sebagai pilihan
terakhir. Bahkan dalam keluarga petani, kebanyakan mengharapkan keturunan
mereka tidak menjadi petani. Para petani
berusaha keras menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar kelak tidak seperti
orang tuanya. Memang di negeri ini menjadi petani seolah-olah berarti menjadi
miskin. Lihatlah betapa sulitnya hidup petani. Ketika musim tanam pupuk
menghilang dan harganya melangit, irigasi buruk, dan ketika panen harga produk
pertanian anjlok. Tak bisa disalahkan jika para petani tak rela keturunnnya
mengalami nasib yang sama dengan mereka.
Sebenar ketika pekerjaan
sebagai petani mulai dijauhi bom waktu telah dipasang untuk menghancurkna
negeri ini dari dalam. Bayangkan jika semakin sedikit orang yang mau menjadi
petani, semakin sedikit hasil pertanian, dan semakin banyak kita harus import,
dan pada akhirnya semakin lemah ketahanan pangan negara ini. Indonesia yang
dikenal sebagai negeri agraris dengan segala macam hasil buminya telah tamat. Indonesia kita nanti adalah Indonesia yang
harus import untuk untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Sudah saatnya dunia pertanian
lebih diperhatikan. Pertanian memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan
paling pokok manusia. Jika guru selama ini bangga dengan sebutan pahlawan tanpa
tanda jasa maka rasanya tidak berlebihan jika petani Indonesia diberi gelar pahlawan tak
dianggap. Barangkali terdengar menyedihkan, tetapi begitulah kehidupan petani
di negeri ini.
Madiun, 18 Juli 2012
0
komentar |