Posted on Sabtu, 08 Desember 2012 Agus Salim
Biografi
Singkat Agus Salim
Oleh
Dhani Kurniawan
Orang tua yang sangat pandai ini, seorang jenius
dalam berbagai bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis paling sedikit
sembilan bahasa dengan sempurna, mempunyai satu kelemahan, yaitu selama
hidupnya melarat.
(Prof. Schermerhorn)
Orang
tua dengan perawakan kecil, berjenggot, berkacamata dan penggenar berat rokok
kretek. Hidup berpindah-pindah dalam kesederhanaan yang barangkali lebih
mendekati kekurangan. Tetapi orang tua itu bukan sembarang orang tua. Dia
kuasai begitu banyak bahasa asing, pengetahuannya luas, berpendirian tegas,
diplomat ulung dan seluruh hidupnya adalah pengabdian yang tak kenal pamrih. Dialah
Agus Salim The Grand Old Man of Indonesia baginya menjadi pemimpin berarti siap
menderita.
Latar
Belakang Keluarga dan Lingkungan Masyarakat
Belanda menguasai
seluruh Minangkabau setelah berhasil mematahkan perlawanan kaum pribumi yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan para
kepala adat (kaum pnghulu) untuk membendung apa yang mereka sebut fanatisme
Islam. Meskipun secara militer Belanda mengalami kemenangan namun dalam bidang
keagamaan kaum padri telah memberikan kesan mendalam pada masyarakat
Minangkabau.[1]
Tanah Minang
dikenal melahirkan banyak cendikiawan. Lahirnya para cendikiawan tersebut
selain karena adanya bibit-bibit unggul juga didorong oleh keadaan
masyarakatnya. Masyarakat Minang dikenal akan ketaatan pada agama, serta
kegotong-royongan dan musyawarah. Salah satu cendikiawan yang terlahir di tanah
Minang adalah Agus Salim pada 8 Oktober 1884, tepatnya di kota Gadang,
Bukittinggi.
Terlahir
dalam keluarga yang cukup terpandang Agus Salim pada mulanya bernama Mashudul
Haq. Ayahnya Sutan Mohammad Salim adalah seorang Jaksa Kepala di Riau dan
ibunya Siti Zaenab juga berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Status
sosial inilah yang kemudian hari menjadikan Mashudul Haq berkesempatan
mengenyam dunia pendidikan yang hanya bisa dinikmati segelintir pribumi kala
itu.
Pergantian
nama dari Masqudul Haq menjadi Agus Salim ternyata memiliki kisah tersendiri. Pada
waktu masih kecil oleh pengasuhnya yang berasal dari Jawa Masqudul Haq selalu
dipanggil dengan sebutan “Gus”. Ternyata panggilan itu menjadi populer di
sekolahnya. Sedangkan nama Salim berasal dari nama belakang ayahnya.[2]
Jadilah nama Agus Salim.
Pendidikan
Jabatan
ayah Agus Salim sebagai seorang jaksa meupakan kedudukan yang cukup tinggi bagi
pribumi pada masanya. Keadaan itulah yang membuat Agus Salim bisa diterima di
ELS (Europese Lagere School/sekolah untuk anak-anak Eropa khususnya Belanda).
Kepala atau direktur di sekolah tersebut ternyata tertarik kepada Agus Salim
yang menurutnya punya potensi untuk menjadi orang pandai. Menurut sang kepala
sekolah untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki, Agus Salim harus dididik
dengan lingkungan dan makanan yang tepat. Ia minta kepada keluarga Sutan Salim
agar Agus Salim bisa tinggal bersamanya. Ayah Agus Salim tidak menghargai nita
baik kepala sekolah, namun ia tidak setuju jika anaknya sepenuhnya dididik oleh
Belanda. Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Agus Salim akan berada di rumah
kepala sekolah pada waktu makan pagi, siang, malam dan sejenak sesudahnya.[3]
Setelah
lulus dari ELS Agus Salim merantau ke Batavia. Perantauan itu harus terjadi
jika dia benar-benar ingin melanjutkan pendidikan karena di Bukittinggi belum
ada sekolah lanjutan setelah ELS. Akhirnya agus Salim berhasil diterima di HBS
(Hogere Burger School). Prestasinya di HBS cukup baik sehingga para gurunya
mengusahannya agar bisa melanjutkan ke Stovia (sekolah dokter Jawa) namun
gagal. Bahkan Kartini yang mendapat tawaran melanjutkan studi ke Belanda tapi
tidak bisa menerimanya sempat menyarankan agar beasiswanya diberikan kepada
Agus Salim. Agus Salim menolak karena beasiswa itu menurutnya bukan berasal
dari niat baik pemerintah melainkan lebih disebabkan permintaan Kartini.[4]
Menariknya meskipun Agus Salim mendapat pendidikan Eropa dia tidak rela anaknya
mendapatkan pendidikan Eropa yang baginya merupakan ”jalan berlumpur”.[5]
Memasuki
Zaman Pergerakan
Setelah lulus HBS
Agus Sali akhirnya bekerja di sektor swasta bukan menjadi pegawai negeri
sebagaimana diharapkan orang tuanya. Ibu Agus Salim yang tergoncang jiwanya
melihat anaknya yang tidak berkenan bekerja sebagai pegawai negeri sakit dan
akhirnya meninggal. Setelah kejadian ini pikiran Agus Salim sehingga dia mau
bekerja di konsultan Belanda di Jeddah. Keberaannya di Arab tidak dia
sia-siakan. Agus Salim bekerja sembari memperdalam ilmu agama dan juga sempat
menunaikan ibadah haji. Dia juga belajar tata niaga, perdagangan, dan tata cara
kehidupan diplomasi. Dikemudian hari ternyata apa yang dipelajarinya sangat
bermanfaat dalam pengabdiaanya untuk Indonesia[6]
Awal
karier Agus Salim dalam dunia pergerakan adalah ketika dia memasuki dunia
jusnalistik. Pada tahun 1915 setelah bertekad untuk menetap di Jawa Agus Salim
bekerja pada kantor penerjemah, kemudian pindah ke Balai Pustaka. Agus Salim
kala itu tercatat sebagai redaktur ke II di surat kabar Neraca, sebuah surat
kabar yang mendapat kredit dari pemerintah Belanda. Agus Salim karena
kemampuannya diharapkan bisa bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda,
namun anggapan itu salah besar.[7]
Terlebih setelah mengenal Sarekat Islam dan berhubungan langsung dengan
pemimpinnya yaitu HOS Cokroaminoto dia justru menjadi anggota bahkan kemudian
pemimpin dari Srekat Islam. Agus Salim merasa bahwa tujuan Sarekat Islam baik dan dipimpin oleh orang
yang tepat [8]
Padahal Sarekat Islam adalah salah satu organisasi pergerakan yang paling
berani mengkritik bahkan menentang pemeintah.
Perjalanan
selanjutnya Agus Salim tidak pernah absen dari perjuangan pergerakan. Selain
terus aktif di Sarekat Islam dia juga sempat menjadi redaktur beberapa surat
kabar. Agus Salim juga pernah menjadi penasehat bagi oganisasi Jong Islamiten
Bond. Apa yang dikerjakannya bukan tanpa halangan dan resiko. Agus Salim yang
sepanjang hidupnya dalam kesederhanaan yang lebih dekat pada kekurangan juga
sempat harus merasakan menjadi orang buangan. Namun pada masa Jepang Agus Salim
tidak bisa berbuat banyak karena pemerintahan Jepang yang keras dan posisinya yang
tidak memungkinkan melakukan sebuah gerakan atau usaha yang cukup berarti.
Sekitar
Proklamasi
Jepang karena
posisinya yang mulai terdesak dalam perang dunia berusaha mencegah terjadinya
pergolakan di Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan. Sebagai usaha
perwujudan janjinya tersebut Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggota BPUPKI sejumalh 60 orang diluar ketua,
dan Agus Salim menjadi salah satu anggotanya. Agus Salim termasuk anggota yang
bertugas merancang Undang-Undang Dasar di bawah pimpinan Sukarno. Panitia
perancang Undang-Undang dasar ini kemudian membentuk panitia kerja yang
beranggotakan tujuh orang dengan Mr. Supomo sebgai ketunya, dan Agus Salim juga
termasuk salah satu anggotanya. BPUPKI juga sempat menyusun sebuah naskah yang
kelak di sebut sebagai Jakarta Charter dan Agus Salim juga terlibat di
dalamnya.[9]
Indonesia
Merdeka dan Pengabdian Sampai Akhir Hayat
Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya maka perlu segera dibentuk lembaga
kelengkapan negara. Salah satu komponen kelengkapan negara adalah Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), Agus Salim termasuk salah satu anggotanya. Tugas dari
DPA adalah menjawab pertanyaan presiden dan mengajukan ususl kepada pemerintah.[10]
Pada
pemerintahan awal republik Indonesia Agus Salim beberapa kali duduk dalam
kabinet. Agus Salim dalam kabinet Sjahrir II (1946) dan kabinet Sjahrir III
(1947) sebagai menteri muda luar negeri, menteri luar negeri kebinet Amir
Sjarifudin (1947) dan menteri luar negeri kabinet Hatta (1948-1949). Selama
duduk di pemerintahan Agus Salim mampu menjalankan tugasnya dengan baik.[11]
Agus
Salim setelah pensiun dari jabatan-jabatannya bukan berarti berhenti berkarya.
Agus Salim kemudian lebih mencurahkan perhatiaannya pada dunia pendidikan. Dia
bahkan sempat diundang menjadi dosen tamu di Cornell University. Kapasitas
kelimuaannya membuat dia juga dibutuhkan dalam dunia pendidikan di dalam
negeri. Agus Salim diminta menjadi dosen di Perguruan Tinggi Agama Islam di
Yogyakarta. Namun Tuhan berkehendak lain, dia meninggal sebelum sempat
menunaikan tugas. Agus Salim meninggal pada 4 November 1954.[12]
[1]
Riclefs.2008.Sejarah Indonesia Modern.Jakarta:Serambi.
hal 313
[2]
Mukayat.1985.Haji Agus Salim.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hal
1-2
[3]
Yanto Bashri dan Retno Suffatni (ed).2004.Sejarah Tokoh bangsa.Yogyakarta:LKiS.
Hal 140
[4]
Op.Cit, Mukayat., hal 5
[5]
Op.Cit, Yanto Bashri dan Retno Suffatni., hal 141
[6]
Mukayat.1985.Haji Agus Salim.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 7-9
[7]
Ibid hal 22
[8]
Yanto Bashri dan Retno Suffatni
(ed).2004.Sejarah Tokoh bangsa.Yogyakarta:LKiS
hal 142
[9]
Mukayat.1985.Haji Agus Salim.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hal
55-59
[10]
Ibid. hal 63
[11]
Yanto Bashri dan Retno Suffatni (ed).2004.Sejarah Tokoh bangsa.Yogyakarta:LKiS.
hal 152-153
[12]Op.
Cit. Mukayat., hal 80-83
0
komentar |