Posted on Kamis, 12 November 2015 Lenyapnya Sejarawan dalam Masyarakat Kekinian Kita

Lenyapnya Sejarawan dalam Masyarakat Kekinian Kita
oleh Dhani Kurniawan

Seperti sudah menjadi agenda tahunan begitu memasuki bulan September maka perbincangan seputar Gerakan 30 September kembali merebak. Tiap tahun hampir selalu ada hal yang baru yang muncul. Kebaruan itu terkadang muncul seputar tafsir sejarah, cara pandang, fakta, sampai tentang sikap pemerintah yang berkuasa. Celakanya hampir setiap tahun pula begitu bulan Oktober berakhir maka berakhir pula semua hiruk pikuk tersebut tanpa adanya suatu hasil yang berarti.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dilumpuhkannya Gerakan 30 September (yang menurut pemerintah orde baru didalangi oleh PKI) diikuti oleh “pembersihan” besar-besaran terhadap mereka yang dianggap PKI. Sudah rahasia umum juga bahwa pembersihan tersebut terjadi dengan berdarah-darah. Ada banyak versi tafsir sejarah, ada banyak versi jumlah orang yang terkena dampak pembersihan tapi satu kesepakatan umum bahwa peristiwa itu terjadi dan bahwa ada darah anak bangsa yang tertumpah.
Beberapa media besar tahun ini cukup serius dalam menggarap isu tersebut. Mereka berlomba menurunkan liputan khusus sampai menyelenggarakan dialog khusus yang mengundang tokoh-tokoh ternama. Tema yang mereka angkat juga cukup beragam. Dua yang menurut saya layak disebut adalah apa yang ditampilkan oleh TV One dan Tempo. Pertama TV One dengan dialog khususnya yang jelas mengarah ke wacana permintaan maaf oleh pemerintah. Kedua Tempo yang menyelenggarakan diskusi yang fokus pada upaya penelusuran kembali peritiwa sejarah dengan kemungkinan adanya fakta dan tafsir sejarah yang baru. Upaya-upaya tersebut bagus dan patut kita apresiasi.
Namun bagi saya yang sempat mendalami sejarah dari jalur pendidikan formal dan sempat bersinggungan dengan karya sejarawan-sejarawan profesional, upaya kebanyakan media tersebut bukan tanpa masalah. Saya melihat absennya sejarawan dalam perbincangan tentang masa lalu. Saya tidak melihat adanya seorang pun sejarawan profesional yang dilibatkan secara serius. Padahal seputar Gerakan 30 September ada banyak sejarawan terkemukan yang menurut saya cukup kompeten baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Bahkan nyaris tidak ada karya sejarah yang disebut. Tentu hal ini menimbulkan tanda tanya besar saya. Bukankah selama ini ketika membicarakan suatu permasalahan maka media akan mengundang pakar di bidangnya, misalnya pakar ekonomi jika sedang membicarakan ekonomi atau pakar kesehatan jika membicarakan soal kesehatan. Lalu mengapa media (dan mungkin juga kebanyakan dari anggota masyarakat kita) tidak merasa perlu secara serius melibatkan sejarawan ketika membicarakan masalah yang terkait erat dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Pertanyaan tersebut bagi saya menyimpan berjuta kemungkinan tapi di sini saya akan coba menampilkan dua diantaranya.  Pertama saya menduga bahwa banyak pihak terutama media memang sama sekali tidak bertujuan untuk mencari pemahaman sejarah yang lebih lengkap dan berimbang. Media merasa bahwa mereka tidak punya kepentingan langsung terhadap hal tersebut. Mereka lebih banyak menggunakan gaya berpikir korporasi yang artinya bahwa tujuan mereka hanya mengejar ranting yang berujung pada soal keuntungan semata. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka sengaja menggiring opini masyarakat ke arah tertentu untuk tujuan yang lebih politis. Bukankah media di negeri ini banyak yang berafiliasi bahkan dimiliki oleh kelompok politik tertentu. Kedua saya menduga ada gejala ketidakpercayaan terhadap profesionalitas sejarawan. Mungkin media dan sebagian besar dari masyarakat kita belum menerima sejarawan sebagai kegiatan yang profesional dan membutuhkan kemampuan khusus. Maka tidak mengherankan jika sejarawan tidak mendapatkan pengakuan sebagaimana pakar-pakar di bidang lain. Bahkan ketika berbicara mengenai masa lalu tidak banyak yang merasa perlu melibatkan sejarawan profesional.
Kedua gejala tersebut mungkin sekali hanya gejala permukaan dari masalah yang lebih  mendasar. Masalah yang lebih mendasar bagi saya, pertama lenyapnya sejarawan dari masyarakat kita. Lenyapnya sejarawan di sini tidak semata-mata berarti bahwa tidak ada lagi orang yang punya kemampuan dalam bidang kajian sejarah. Kelenyapan di sini lebih kepada hilangnya penghargaan terhadap mereka yang memiliki kemampuan dan secara serius bergelut dengan sejarah. Tidak ada tempat bagi sejarawan profesional dalam struktur bawah sadar masyarakat. Kedua dapat diakatakan secara tidak langsung sebenarnya masyarakat kita semakin tumbuh sebagai masyarakat yang ahistoris. Masyarakat kita makin kehilangan pengetahuan dan kesadaran akan sejarahnya sendiri. Masyarakat yang demikian dapat kita analogikan dengan seorang yang menderita amnesia. Padahal orang yang amnesia adalah orang yang tidak mampu memahami keberadaan dan tujuan hidupnya karena ketiadaan pemahaman terhadap masa lalunya.
Keresahan inilah yang mendorong saya untuk mengajak kita semua kembali mempertimbangkan pentingnya menghargai sejarawan profesional. Menghargai di sini bukan berarti taklik buta tetapi lebih sebagai upaya memberikan tempat dan berusaha memahaminya dengan serius. Profesional di sini juga bukan semata-mata berarti mereka yang secara formal dididik untuk menjadi sejarawan lalu bekerja sebagai peneliti sejarah dan menutup diri dari pihak luar. Memang pertama-tama kita harus memperhatikan mereka yang terdidik dan menguasai teori-teori sejarah melalui jalur pendidikan formal sebagaimana kita memperhatikan nasihat dokter untuk urusan kesehatan. Namun kita juga tidak boleh menutup diri dari mereka yang belajar secara otodidak tetapi terbukti mampu memahami teori sejarah dan mampu melahirkan karya sejarah yang bermutu.


Madiun, 6 November 2015 

Posting Komentar