Posted on Senin, 16 November 2015 IPT 1965 Antara Mantan dan Pengkhianat

IPT 1965 dan Salah Paham Massal di Dunia Maya
oleh Dhani Kurniawan

Tak seperti biasanya tahun ini drama seputar 65 mendapat nafas lebih panjang. Berakhirnya bulan Oktober tak sekaligus mengakhiri perhatian publik terhadap masalah tersebut. Keadaan ini tak lepas dari diselenggarakannya International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag 10-13 November 2015. Acara tersebut mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan. Banyak kalangan yang menanggapinya dengan cukup emosional termasuk beberapa pejabat pemerintahan dan kalangan pemerhati sejarah. Tanggapan tersebut terutama muncul di dunia maya. Sebagian dari mereka bahkan merasa tergerak jiwa nasionalismenya. Bagaimana mungkin Belanda mencoba mengadili Indonesia padahal mereka pernah menjajah negeri ini. Lebih dramatis lagi bahwa peradilan tersebut dimulai pada 10 November yang di Indonesia telah ditetapkan sebagai hari pahlawan. Belum lagi tentang tuntutan peradilan di mana korban adalah PKI dan tersangkanya adalah pemerintah Indonesia. Kombinasi yang sempurma antara penjajah dan pengkhianat bersatu menyerang bangsa Indonesia. Tentu mereka merasa sudah sepantasnya marah bahkan kalau perlu menyerukan perang sebagaimana yang terjadi 10 November 1945 ketika rakyat Indonesia menjawab ultimatum tentara sekutu.
Namun tidakkah kita merasa untuk terlebih dahulu mencari tahu apa itu IPT 1965. Benarkah Belanda sedang mengadili Indonesia. Benarkah ini ulah pengkhianat PKI yang bekerjasama dengan mantan penjajah Belanda. Sayangnya tidak. Tanggapan-tanggapan yang banyak mencerca IPT 1965 dan menyudutkan Belanda ternyata sama sekali tak berdasar. Acara tersebut juga sama sekali bukan ulah PKI atau KGB. Tentang apa itu IPT 1965 saya kira sudah banyak yang mepaparkan dengan gamblang. Setidaknya setahu saya ada dua media yang cukup serius memberikan pemaparan selain situs resmi yang diluncurkan IPT 1965. Pertama website majalah Historia dengan tulisan berjudul “Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 dan website BBC Indonesia dengan tulisan berjudul “# TrenSosial Salah kaprah soal pengadilan rakyat 1965 di Belanda”. Tulisan dari BBC memang muncul setelah merebaknya kesalah pahaman di dunia maya. Namun tulisan dari majalah Historia muncul lebih awal sebelum kesalah pahaman merebak. Malahan sebenarnya ada beberapa tulisan yang memaparkan apa itu IPT 1965 jauh sebelum sidang itu dimulai karena acara tersebut memang sudah direncanakan jauh-jauh hari.
Kita bisa melihat dengan gamblang bahwa telah terjadi salah paham massal. Menyedihkan bahwa reaksi yang menggebu-gebu dan nampak sangat nasionalis dari berbagai pihak ternyata bersandar pada pemahaman yang salah. Lebih menyedihkan lagi kenyataan bahwa salah paham tersebut ternyata terjadi bukan semata karena kurangnya informasi. Salah paham lebih terjadi karena banyak orang menanggapi wacana yang mencuat dengan sangat emosional tanpa merasa terlebih dahulu perlu mencari informasi secara lebih luas, dalam dan berimbang. Satu hal lagi yang begitu menggelisahkan saya bahwa kesalah pahaman ternyata juga menimpa beberapa orang dari kalangan pemerhati sejarah. Sebuah media (republika online) melansir pendapat seorang sejarawan profesional terkemuka yaitu Anhar Gonggong yang juga nampak emosional dan bersandar pada pemahaman yang salah. Namun untuk kasus ini saya rasa perlu konfirmasi langsung dengan Anhar Gonggong karena media seringkali mencomot pendapat seorang tokoh untuk membangun wacana tertentu. Setidaknya kita perlu tahu dalam konteks apa sebenarnya pendapat Anhar Gonggong dikemukakan.
Fenomena ini bagi saya menampilkan hal-hal yang lebih mendasar. Dunia yang terus berubah dengan informasi yang begitu melimpah ternyata tidak serta-merta menciptakan jalan terang yang bisa dengan mudah dilewati. Apa yang tercipta lebih seperti belantara informasi dan kita sendiri yang harus memilih dan memahaminya. Pemahaman yang adil dan berimbang ternyata juga tidak bisa begitu saja menjadi bagian dari diri kita padahal dia ada begitu nyata dan begitu dekat. Nyatanya kita harus mampu untuk menahan diri dari keterburuan akan kepastian. Kita perlu lebih tenang menyelami belantara informasi, memilah, dan membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Mungkin kebenaran itu ada dalam belantara tapi kita tak mampu menjamahnya karena kita sama sekali tak mau mengarahkan diri kepadanya.
Saya pikir masalah ini juga terkait erat dengan belum terbangunnya tradisi literasi kita. Negeri ini punya sejarah yang campur aduk dan terputus-putus. Kita sama sekali belum matang dalam tradisi cetak ketika tradisi dunia maya telah merasuk dalam masyarakat kita. Kita bisa melihatnya dengan mudah bahwa dunia maya yang menjelma di negeri ini lebih banyak mirip sebagai tradisi lisan yang menemukan bentuk barunya. Maka jangan heran jika kebanyakan aktivitas dunia maya masyarakat kita adalah sebatas sosial media. Padahal aktivitas tersebut seringkali jatuh pada pembacaan tergesa dan komentar-komentar pendek yang rentan tergelincir pada kesalah pahaman apalagi jika pembahasannya soal isu sensitif.    
Akhirnya kembali kepada soal IPT 1965. Jelas kita punya hak untuk bersikap kritis dan melakukan kritik terhadapnya jika memang dirasa perlu. Namun alangkah baiknya jika kritik yang muncul benar-benar lahir dari pemahaman yang mendalam, adil, dan berimbang. Maka akan tercipta diskusi yang sehat demi tercapainya pemahaman bersama bukan kritik emosional berdasar kesalah pahaman yang hanya memperkeruh keadaan.


Madiun, 15 November 2015

Posting Komentar