Posted on Minggu, 03 Juni 2012 Selayang Pandang Pakubuwono X


Selayang Pandang Pakubuwono X
(Prespektif Barat)
Tokoh sentral dalam kerajaan Surakarta, ‘paku dunia’ Pakubuwono X tetap merupakan seorang yang elursif (sukar dipahami), membingungkan, dan barangkali dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur, seluruhnya berjumlah tigabelas, yang ditempatkan di Surakarta selama pemerintahannya yang panjang (1893-1939). Tetapi beberapa di antara pejabat itu kelihatan mampu menangkap pandangan sekilas tentang Susuhunan, yang tidak sesuai dengan penilaian yang umumnya dilihat rendah watak serta intelektualnya, suatu pandangan yang diperlihatkan dalam uraian yang menarik oleh Residen G.F van Wijk (1909-1914): “Raja ini penurut dan punya perangai yang sangat lemah. Ia ingin melakukan hal yang tepat tetapi tidak berani menonjiolkan dirinya karena takut konflik dengan pegawai tinggi istananya. Ia sangat sombong dan memberi kesan sebagai seorang anak manja. Kesalahan besar dimulai ketika ia dijadikan putera mahkota pada usia tiga tahun; sejak itu tak seorang yang berani menolak sesuatu yang diinginkannya; ia tak pernah menghayati dunia dalam keadaan sebenarnya; selalu dikelilingi kelompok pengikut yang besar yang hanya mengeluarkan kata-kata sanjungan dari mulut mereka, semua disajikan kepadanya secara palsu, dan ia telah menjadi seorang raja yang lemah dan bersifat kewanitaan. Ayahnya menganggap tidak perlu untuk memberi asuhan yang patut kepadanya; ia hanya belajar menulis aksara Jawa dan Melayu; berhitung ia tidak tahu sama sekali. Saya menyadari hal ini untuk pertama kali ketika pernah bersama-sama dengan saya ia mau mengetahui berapa banyak tonggak yang dilaluinya dalam satu jam dengan mobilnya; dari pandangan mata para pangeran yang cemas saya sudah bisa melihat betapa tinggi mereka memandangnya dalam hal ini; dan tak ada yang dihitungnya dengan benar. Ketika ia masih pangeran mahkota ia belajar berbahasa Belanda sedikit secara diam-diam ayahnya melarangnya tetapi hasilnya amat kurang. Perhatian satu-satunya adalah ‘perempuan’, dan keadaan ini agaknya akan tetap begitu. Tak perlu dikatakan bahwa tak banyak yang dihasilkan seorang berperangai lemah dan dibesarkan dalam lingkungan seperti itu serta mempunyai hiburan yang demikian.
Supaya sehat ia berhenti minum minuman keras dan tidak merokok sejak lama; minumannya hanyalah soda sedikit pada waktu berkunjung, sedangkan dirumah ia minum air juragraphap ekstrak tumbuhan yang, menurut orang Jawa, menambah kecantikan dan supaya awet muda. Ia suka sekali santapan enak dan oleh sebab itu ia gemuk gembung.
Salah satu sifat yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan; ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani; salah satu kekurangannya adalah ia tak mengenal nilai uang; pegawainya, bupati pangrembe Wiriodiningrat yang tua, sering bingung karena harus memenuhi permintaanya akan uang. Susuhunan tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang keadaan keuangannya; wazir bersama saudaranya, yaitu pegawai tersebut di atas, menyimpan sejumlah uang jauh dari dirinya untuk menjaga jangan sampai ia menghambur-hamburkannya.
 Sunan tidak memiliki pengertian sekecil pun tentang urusan-urusan resmi; sejak awal dari masa jabatanku saya selalu merundingkan urusan-urusan penting dengan beliau. Akan tetapi ia tak berani mengambil keputusan sendiri karena ia takut terhadap kelompok yang mengelilinginya, terutama terhadap wazir”. (Van Wijk, Mvo 1914:2-5).
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagai seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan pemerintah Hindia Belanda. Memang ia pasti senang bersolek dan hal ini dibuktikan dengan kebiasaan memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan kegemarannya mengenakan pakaian resmi. Ia juga ikut memeluk berbagai kepercayaan seperti  yang biasa dianut oleh rakyatnya, kepercayaan yang oleh banyak orang Barat dianggap sebagai tahyul. Ia percaya, misalnya, bahwa ia memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit dan mengubah cuaca lewat keris dan tombak yang sakti. Ia juga mengatakan dikunjungi Ratu Mitos dari Laut Selatan, Nyai Loro Kidul, yang memberi kepadanya nasihat dan ramalan. Tetapi gambaran yang disajikan di atas oleh Van Wijk dan diikuti oleh penulis yang lain, bahwa ia seorang raja yang lemah tubuh serta wataknya, yang takut kepada anggota keluarga dan pegawai tinggi di istana, barangkali terlalu berlebih-lebihan dan pasti sekali tidak benar untuk tahun-tahun kemudian.[1]


[1] George D. Larson.1990.Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press Hal. 43-45

Posting Komentar