Posted on Kamis, 31 Mei 2012 Kapan dan darimana ?


Kapan, dan Darimana Naionalisme Indonesia Bangkit (Lahir)
Oleh Dhani Kurniawan
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis sebuah artikel yang mempertanyakan (menyangkal) ditetapkannya Boedi Oetomo sebagai tonggak bangkitnya nasionalisme Indonesia. Saya dalam artikel tersebut setuju dengan sejarawan Asvi Varnam Adam mengapa Boedi Oetomo patut digugat nasionalismenya terlebih lagi jika sampai ditetapkan sebgai momentum kebangkitan nasional, dan nampaknya argumen tersebut sudah cukup jelas. Namun yang kemudian menjadi masalah adalah Kapan, dan Darimana Nasionalisme kita Bangkit (Lahir).
Sebenarnya pada artikel tersebut saya juga sudah sedikit memberi keterangan tentang kapan dan darimana Nasionalisme kita Bangkit (Lahir) dengan meminjam gagasan Pramoedya Ananta Toer. Akan tetapi di luar sana ternyata masih belum ada kesepakatan tentang permasalahan ini. Mungkin hanya sedikit sekali orang yang setuju dengan pemikiran Pram. Bahkan masih ada sebagian orang yang masih menganut keyakinan bahwa lahirnya Boedi Oetomo  patut dianggap sebagai tonggak bangkitnya nasionalisme Indonesia.
Kebetulan kemarin Sabtu 26 Mei 2012 Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah menyelenggarakan acara KASET (Kajian Sejarah Terpadu). Acara juga membahas tentang nasionalisme dengan pembicara Mu’arif SP.d (aktivis dan penulis) dan Farid Setiawan SP.d (pengamat pergerakan Indonesia). Saya dalam acara tersebut menjadi peserta. Saya memanfaatkan momentum tersebut untuk mencoba kembali mencari jawaban tentang kapan dan darimana bangkitnya (lahirnya) nasionalisme Indonesia.
Ternyata dari keterangan kedua pembicara saya belum juga mendapatkan sesuatu yang bisa memuaskan hati saya. Pembicara pertama yaitu Mu’arif bahkan dengan terang-terangan mengatakan bahwa apa yang saya tanyakan cukup membuatnya pusing. Meskipun begitu beliau tetap berusaha memberi jawaban. Mu’arif menyatakan lebih setuju jika momentum bangkitnya (lahirnya) nasionalisme ditarik dari peristiwa sumpah pemuda. Sementara itu pembicara kedua justru memberikan jawaban yang bagi saya sama sekali baru. Menurut Farid Setiawan dengan mengambil pendapat Delier Noer bahwa nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme Islam. Dasar pemikirannya bahwa kebanyakan gerakan perlawanan terhadap penjajah sebenarnya mengandung unsur pergerakan agama khususnya Islam. Menurutnya bisa jadi sebenarnya nasionalisme Indonesia lahir di pesantren.
  Keterangan yang saya dapat tersebut sebenarnya tidak bisa mengantarkan saya pada satu kesimpulan. Bahkan semakin banyak pendapat tentang permasalahan tersebut. Namun setidaknya sudah ada usaha-usaha untuk mencari jawaban yang sebenarnya. Perbedaan pendapat tersebut seharusnya bisa mengantarkan kita ke dalam sebuah diskusi yang menghasilkan sebuah kesimpulan yang pasti. Memang itu bukan perkara mudah, tetapi kita harus tetap berusaha. Sudah 60 tahun lebih Indonesia merdeka, bangsa ini harus segera menemukan jati dirinya,  Bangsa ini harus bisa menuliskan kembali sejarahnya !
Yogyakarta, 27 Mei 2012
23.45 wib



Posted on Rabu, 23 Mei 2012 Kejujuran Sejarah


Kita (Seharusnya) Bisa Jujur
Oleh Dhani Kurniawan
“Namun sebenarnya ada sebab yang lebih mendalam lagi. Baik di dalam menggeluti ilmu maupun  kehidupan politik demokratis, kejujuran di dalam mencari kebenara adalah syarat mutlak untuk berhasil biarpun kadang-kadang penemuan bisa berasa pahit. Siapa peduli !”
Max Lane
Mempelajari sejarah seharusnya juga membuat kita belajar untuk jujur. Memang dalam menulis sejarah setiap orang bisa berkreasi. Namun ada satu hal yang membatasi kreasi tersebut. Sejarawan Kuntowijoyo pernah memberi perumpaan seorang penulis sejarah sebagai orang yang bermain-main dengan batang koreng api. Dengan batang-batang korek yang berserakan seseorang harus menyusunnya menjadi petak-petakan, orang-orangan, rumah-rumahan dan sebagainya. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan mempunyai kebebasan dalam rekonstruksi. Yang mengikatnya hanya “batang korek” yang berupa fakta sejarah. Seorang penulis sejarah haruslah menulis sejarah berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Sejarah tidak hanya menulis kenangan indah, sejarah tidak hanya menulis kenangan manis. Seorang penulis sejarah tidak boleh mengingkari bahwa di masa lalu ada peristiwa-peristiwa suram. Pada saat dituntut menulis sejarah yang kelam, sejarah yang kelabu, bahkan sejarah yang hitam, kejujuran seseorang dipertaruhkan. Akankah dia menuliskan masa lalu yang tidak indah itu apa adanya ataukah dia akan berusaha menutup-nutupinya dan membuatnya terlihat indah.
Bangsa Indonesia nampaknya juga harus menerima kenyataan bahwa sejarahnya tidak selalu manis. Sudah saatnya kita menengok kembali historiografi bangsa ini. Apakah yang selama ini ditulis sebagai sejarah sudah mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau, ataukah masih banyak yang ditutup-tutupi bahkan dibelokkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa penulisan sejarah bangsa ini terutama sejarah resmi akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang saat itu menjadi penguasa.
Bangsa ini sudah semakin dewasa. Sudah seharusnya bangsa ini belajar untuk jujur. Sampai saat ini masih banyak peristiwa sejarah kelam yang mungkin dengan sengaja tidak pernah ditampilkan dalam penulisan sejarah resmi. Pernahkah kita berpikir bagaimana rasanya menjadi korban yang terlupakan ? Kita ambil saja satu contoh yaitu tentang pembantaian yang terjadi antara tahun 1965 sampai 1968.
Saya kira masih tersimpan dalam ingatan sebagian rakyat Indonesia tentang apa yang terjadi antara tahun 1965-1968. Pada tahun-tahun tersebut diperkirakan ratusan ribu rakyat Indonesia dibantai dengan kejam, mereka dibunuh secara sistematis tanpa melalui pengadilan apapun. Umumnya mereka dibantai hanya karena satu alasan yaitu karena mereka (dianggap) PKI. Hanya karena PKI dituduh akan melakukan kudeta, hanya karena PKI dituduh sebagai dalang tunggal peristiwa G30September yang menewaskan enam jenderal, satu puteri jenderal dan satu ajudan jenderal.
Sekalipun memang tidak bisa dipungkiri PKI terlibat dalam gerakan G30September apakah dapat dibenarkan jika para seniman, para petani, bahkan para buruh tani buta huruf yang tinggal di pelosok desa turut dipersalahkan dan dibantai dengan kejam. Namun yang paling menyedihkan adalah sejarah bangsa ini tak pernah mencatat pembantaian besar-besaran itu sebagai suatu tragedi kemanusiaan yang kejam dan patut disalahkan. Pembantaian tersebut malah seolah-olah adalah suatu tindakan mulia yang dapat dibenarkan. Sang penguasa orde baru dalam salah satu kesempatan hanya menyatakan pembantaian besar-besaran tersebut sebagai reaksi spontan dari masyarkat yang sudah lama memendam kebencian.
Sekarang ketika orde baru sudah tumbang ketika telah banyak ditemukan fakta-fakta baru apakah kita belum juga mau jujur ? Bagaimana mungkin sebuah bangsa melupakan begitu saja pembantaian besar-besaran terhdapa rakyatnya ? Saya kira peristiwa pembantaian tersebut hanya salah satu contoh. Masih banyak penulisan sejarah bangsa ini yang perlu kita kaji kembali. Terakhir, ada pertanyaan mendasar yang ingin saya ajukan, sudah siapkah kita menerima kenyataan, siapkah kita untuk jujur walaupun kejujuran itu terkadang pahit ?
Yogyakarta
20 Mei 2012
18.15 wib

Posted on Senin, 21 Mei 2012 Kebangkitan Nasionalisme Indonesia


Beodi Oetomo, Kebangkitan Nasionalisme Indonesia ?
 Oleh Dhani Kurniawan
Pada bulan Mei selain peringatan hari pendidikan ada pula peringatan hari kebangkitan nasional. 20 Mei yang sebenarnya merupakan hari lahirnya Boedi Oetomo dianggap sebagai tonggak bersejarah dalam bangkitnya nasionalisme Indonesia. Bahkan sudah sejak lama hari lahir Boedi Oetomo diperingati setiap tahun sebagai hari kebangkitan nasional. Sampai saat ini Boedi Oetomo memang tercatat sebagai organisasi modern pertama yang didirikan oleh kaum pribumi.
Sebagai organisasi modern pertama yang didirikan oleh pribumi sebenarnya Boedi Oetomo sebenarnya masih bersifat kedaerahan dan belum secara langsung bergerak di ranah politik.  Sejarawan Asvi Warman Adam bahkan mengatakan Boedi Oetomo pada dasarnya tetap merupakan organisasi priyayi Jawa. Lebih lanjut Asvi menyatakan bahwa Boedi Oetomo merupakan organisasi yang moderat yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial sebagai tanda keberhasilan politik etis.
Jauh sebelum Asvi, Pramoedya Ananta Toer pernah mengungkapkan pemikiran yang juga  menolak pemikiran warisan koloial tersebut. Menurut Pramoedya nasionalisme bukanlah sesuatu yang ”bangkit” dari tidur pada tahun 1908 (seperti dikatakan dalam historigrafi ortodoks), tetapi sesuatu yang diciptakan dari kondisi-kondisi material era kolonial oleh orang-orang sepeti ‘sang pemula’ Tirto Adisoerjo. Pram juga menolak bahwa nasionalisme Indonesia sudah terbentuk sejak era Majapahit atau bahkan Sriwijaya.
Dengan menetapan hari lahir Boedi Oetomo sebagai hari kebangkitan nasional sebenarnya bangsa ini masih mengadopsi historiografi kolonial. Sudah saatnya bangsa ini berusaha dengan kemampuannya sendiri untuk menentukan penulisan sejarahnya sendiri. Namun sayangnya saat ini masih sedikit bahkan hampir tidak ada orang Indonesia yang mau membongkar kembali historiografi tersebut. Sampai saat ini bangsa Indonesia umumnya masih menerima begitu saja warisan kolonial tersebut. Kalaupun ada diskusi-diskusi tentang hari kebangkitan nasional hampir semuanya hanya membenarkan saja hari lahirnya Boedi Oetomo sebagai hari kebangkitan nasional.

Yogyakarta, 13 Mei 2012
21.30 wib

Posted on Senin, 07 Mei 2012 Anda(wanita) Minta Apa Lagi Dari Saya(pria) ?


 Anda(wanita) Minta Apa Lagi Dari Saya(pria) ?*
Oleh Dhani Kurniawan

Bulan April baru saja berlalu, bulan yang mungkin istimewa di Indonesia terutama bagi para wanita/perempuan atau terserah kalian apa kata yang pantas untuk merujuk pada salah satu mahkluk Tuhan yang teramat istimewa itu. Setiap tahun 21 April yang merupakan hari lahir Kartini selalu ada peringatan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Kartini adalah sosok yang dianggap memberikan sumbangan besar bagi kemajuan wanita Indonesia. Memang Kartini hidup di zaman di mana tradisi masih kuat, memposisikan wanita dibawah atau di belakang lelaki. Kartini mendambakan wanita Indonesia yang bisa mendapatkan hak yang seimbang dengan kaum lelaki. Pemikiran-pemikirannya tentang wanita dianggap telah melampaui zamannya. Kartini mendirikan sekolah khusus wanita, Kartini menjadi pengajar, meskipun begitu Kartini juga tetap menjadi seorang istri. Bahkan Kartini melepas kesempatan beasiswa sekolah di Belanda untuk dipingit dan kemudian dikawinkan dengan seorang adipati yang telah mempunyai lebih dari satu istri.
Dewasa ini kita juga sering menjumpai gagasan-gagasan tentang kesetaraan gender atau persamaan hak antara wanita dan pria. Semangat Kartini tak jarang dibawa-bawa untuk mempromosikan gagasan-gagasan tersebut di Indonesia. Harusnya sekarang kita semua melihat apakah semangat zaman kita sekarang ini masih sama dengan zaman Kartini ? Kartini hidup di masa tradisi masih kuat memposisikan pria lebih dari wanita. Sementara itu kita hidup dalam zaman yang lain. Kita hidup di zaman di mana wanita tidak lagi diposisikan dibawah lelaki. Kita hidup di zaman dimana pendidikan, pekerjaan dan bahkan politik atau kekuasaan tidak memposisikan wanita sebagai second position setelah pria. Wanita telah bisa memdapatkan pendidikan yang tinggi, wanita telah mendapatkan jabatan yang tinggi, bahkan di Indonesia jabatan RI 1 (presiden) pernah diduduki oleh wanita.
Meskipun begitu sampai sekarang kita masih menjumpai orang-orang yang bagi saya seolah-olah meperjuangkan hak-hak wanita dan seolah-olah memposisikan wanita sebgagai kaum terjajah yang harus berjuang untuk merdeka. Mereka memba ide bahwa emansipasi, kesetaraan, adalah mutlak dalam segala hal. Apapun yang bisa didapat oleh pria harus bisa didapat oleh wanita, apaun yang bisa dilakukan oleh pria harus dilakukan oleh wanita. Bahkan mereka membawa pesan bahwa “wanita dijajah pria”. Ide-ide mereka bagi saya tentu saja terlihat konyol. Wanita yang menuntut lebih dari apa yang seharusnya meurut saya hanyalah akan membawa kerugian bagi kaum wanita itu sendiri. Lagi pula saat ini apalagi yang bisa “direlakan oleh pria untuk diambil alih para wanita ?” Bukankah mereka sudah mendapat segalanya ?
Anehnya mengapa wanita tidak pernah memprotes ketika mereka (terutama dari segi fisik) dijadikan ajang komersialisasi untuk mengeruk keuntungan bagi para “kapitalis jahat” ? Mengapa wanita tidak pernah protes ketika mereka dipaksa untuk mengakui bahwa cantik itu berkulit putih. tinggi, langsing, berambut lurus, berdada besar, dan indikator-indikator lain yang sebenarnya menyiksa para wanita khususnya wanita Indonesia ? Kita setiap hari pasti bisa dengan mudah menemukan iklan pemutih kulit, baik kulit wajah maupun kulit tubuh. Bukankah kita semua tahu sebagian besar wanita Indonesia “aslinya” berkulit coklat ? Lalu mengapa wanita hanya diam ketika ada iklan produk pemutih yang begitu terang-terangan “mengejek” kulit cokelat ? Dalam salah satu iklan yang diteyangkan di tv digambarkan bahkan seorang wanita malu ketika anak kecil menunjuk kulitnya dan mengatakan “cokelat”. Seburuk itukah wanita berkulit cokelat ? Tidakkah ini merupakan kemenangan propaganda “kapitalis jahat” ?
Produk pemutih tentu saja hanya sedikit contoh kecil. Masih banyak contoh lain yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Tidakkah fenomena ini harusnya menjadi bahan renungan bagi kta semua terutama para wanita ? Sudahlah musuh kalian bukanlah pria. Bukankah secara alamiah pria dan wanita saling membutuhkan ? Mengapa kita yang saling membutuhkan bisa saling di adu seperti ini ? Wanita saat ini memang tetap harus berjuang. Wanita memang tetap harus melawan. Tetapi yang paling penting wanita harus tahu apa yang mereka perjuangkan. Wanita harus tahu apa atau siapa yang akan mereka lawan. Sudah cukup rasanya semangat para wanita dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak. Sadarlah wahai para wanita Indonesia !
Yogyakarta, Minggu 6 April 2012
18.20 wib
*Persembahan untuk wanita yang aku cintai dengan segenap nafsuku dan kusayangi dengan segenap hatiku. Bahagialah dengan orang yang kau pilih. Jika tidak datanglah padaku. Aku sampai saat ini masih mengharapkanmu.

Posted on Rabu, 02 Mei 2012 Korupsi dalam Prespektif Sejarah

Korupsi dalam Prespektif Sejarah
oleh Dhani Kurniawan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini hampir setiap hari kita selalu disuguhi pemberitaan tentang korupsi. Pejabat dari tingkat pusat sampai tingkat daerah seolah tidak luput dari jeratan korupsi. Bahkan ada kecenderungan para “koruptor muda” lebih “rakus” daripada para pendahulunya.  Korupsi telah menjelma menjadi penyakit akut yang menjangkiti negara. Kenyataanya upaya pemberantasan korupsi banyak menemui hambatan.
Koruptor saat ini bahkan cenderung lebih sulit diadili karena biasanya mereka melakukan tindak korupsi secara “berjamaah.” Institusi negara yang berwenang menangai masalah korupsi bahkan kehilangan kepercayaan rakyat. Lembaga kepolisian. Kejaksaan , dan kehakiman apabila berfingsi secara maksimal seharusnya mampu menjerat para koruptor. Namun pemerintah malah membentuk lembaga ed-hog yang khusus menangani masalah korupsi yaitu KPK. Rakyat sendiri memang telah kehilangan keprcayaan terhadap kepolisisan, kejaksaan dan kehakiman. Rakyat saat ini lebih menaruh harapan besar kepada KPK.
Sebenarnya apabila ditilik lebih lanjut korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, setidaknya semenjak masa penjajahan Belanda. Korupsi yang dilakukan oleh orang pribumi pada waktu terjadi karena sistem pemerintahan masih tumpang tindih antara sistem tradisional dan sistem modern. Para penguasa probumi cenderung tidak membedakan antara hak-hak sebagai penguasa dan hak-hak pribadi. Tindakan memanfaatkan kedudukan untuk kepentingan pribadi adalah sesuatu yang lumrah saat itu. Pemerintah kolonial Belanda tidak mampu berbuat banyak karena kenyataannya mereka masih membutuhkan para penguasa pribumi sebagai perantara untuk ”menghisap rakyat.”
Para pejabat pribumi yang melakukann tindak korupsi pada masa penjajahn Belanda umumnya para bupati, para demang, dan para aparatur tingkat desa. Posisi mereka yang “unik” memang memungkinkan mereka untuk melakukan tindak korupsi. Belanda membutuhkan para penguasa pribumi sebagai penghubung dengan rakyat jadi penguasa pribumi bisa dikatakan sebagai golongan menengah yang merupakan penghisap rakyat yang sebenarnya. Pemerintah Belanda cenderung membiarkan perilaku korup para pejabat pribumi memingat pentingnya posisi mereka bagi kelangsungan sistem penjajahan. Kondisi tersebut setidaknya dapat kita lihat pada kasus bupati Lebak yang mengihami Douwes Dekker menulis Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kebijakan pemerintah yang memberi peluang terjadinya korupsi ?
2.      Bagaimana otoritarian bupati pada masa penjajahan Belanda ?
3.      Bagaimana terjadinya kasus Lebak ?
C. Tujuan dan Manfaat
1.      Menambah wawasan mengenai permasalahan korupsi di Indonesia dalam prespekti sejarah



BAB II
PEMBAHASAN

Kebijakan Pemerintah Kolonial
Antara tahun 1830-1870 di Jawa sedang berlangsung suatu sistem yang populer dengan sebutan tanam paksa. Sistem tanam paksa yang diperkenalkan di Jawa oleh Johannes Van Den Bosch pada tahun 1830 tujuan utamanya adalah untuk mendpatkan komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar internasional. Komoditi yang dimaksud adalah hasil bumi pertanian beserta pengolahan dasar yang dibutuhkan. Asumsi dasar dari sistem ini adalah masyarakat Jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa. Karena itu petani-petani Jawa harus dibujuk (sebenarnya dipaksa) untuk menggunakan sebagian tanah garapannya  (minimal seperlimanya) dan sebagian tenaga kerjanya (juga seperlima, atau 66 hari dalam setahun) untuk membudidayakan tanaman komoditi ekspor. Kondisi keuangan pemerintah kolonial Belanda saat itu  sangat buruk dan diputuskan penerapan tanam paksa adalah solusinya.
Memang secara teori sistem tanam paksa seharusnya tidak terlalu memberatkan rakyat. Namun penyelengaraannya di lapangan berkata lain. Tanah rakyat yang ditanami tanaman ekspor sering lebih dari seperlima, begitu juga tenaga yang harus dikerahkan untuk mengerjakan tanaman ekspor sering melebihi aturan resmi. Tidak dapat dipungkiri sebenarnya para penguasa lokal terutama bupati justru memparah penderitaan rakyat. Para bupati sering hidup bermewah-mewah sekedar untuk gengsi, untuk lebih dihormati, ditakuti, dan alasan-alasan lain yang tidak dapat dibenarkan. Para bupati adalah perantara bagi pemerintah kolonial untuk menghisap rakyat, jadi wajar kalau Belanda tidak berbuat banyak melihat kenyataan itu. Sistem pemerintahan yang setengah modern dan setengah feodal memungkinkan banyak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.

Otoritarian Bupati
            Otoriteranisme adalah bentuk kekuasaan bentuk kekuasaan lazim berlaku sistem semi feodal.  Dalam konteks kebudayaan politik seperti itu jelas, bahwa tidak relevan, bahkan tidak layak, untuk memberlakukan prinsip-prinsip birokrasi legal rasional yang secara tegas membedakan dan memisahkan hak dan kewajiban formal dari yang pribadi. Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini tidak berdaya apa-apa. Bahkan sistem politik tersebut sengaja dipertahankan oleh pemerintah Belanda. Hak turun temururn kedudukan bupati, pemberian gelar kebangsawanan beserta lambang kebesaran seperti song-song (payung), pakaian kebesaran dan lain sebagainya dilestarikan sebgai wujud sistem feodal.

Kasus Lebak
Douwes Dekker (asisten residen Lebak) prihatin melihat rakyat hidup melarat sementara Bupati hidup mewah. Kartanatanegara bupati Lebak saat itu  telah menjadi bupati selama 30 tahun  sesuai hukum adat. Bupati Kartanatanegara adalah seorang yang sangat dihormati sekaligus ditakuti. Douwes Dekker melihat kenyataan bupati bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Bahkan diketahuinya dari arsip-arsip asisten residen sebelumnya bahwa penindasa tersebut telah berlangsung lama. Douwes Dekker menulis surat kepada atasannya yaitu Residen Banten perihal perilaku bupati, dia minta supaya keadilan ditegakkan. Kenyataanya residen tidak memberi jawaban seperti yang diharapkannya. Dia kemudian menulis surat kepada gubernur jenderal Duymaer van Twist, namun yang diterimanya justru surat pemindahan tugas karena sikapnya dianggap keterlaluan.
            Rakyat dikerahkan untuk membersihkan kebupaten, waktu bupati akan punya kerja, berbagai macam sumbangan mengalir ke dalam kabupaten seperti bermacam-macam hasil bumi, ternak untuk disembelih, dan lain sebagainya. Di mata asisten residen semua itu merupakan pungutan yang tidak sah. Kecuali peringatan kepada bupati, dia juga mengajukan usul pemecatannya.
            Rupanya Kartanatanagara sendiri tidak merasa bersalah, oleh karena konsep kekuasaannya masih berakar pada lingkungan feodal atau patriakal, di mana dia dibesarkan. Anggapan umum dan wajar saja apabila sang bupati selaku penguasa yang dihormati menerima bermacam-macam upeti, memperolah bantuan serta pelayanan dan lain sebagainya.
Pengalaman Douwes Dekker melihat penderitaan rakyat tanah jajahan mengilhaminya menulis sebuah buku. “Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda” begitulah judul bukunya. Dalam bukunya tersebut ia menggunakan nama pena atau nama samaran Multatuli yang artinya aku yang banyak menderita. Dalam buku tersebut seolah-olah ada tiga karakter utama yang digambarkan oleh Douwes Dekker. Sosok pertama Batavus Droogstoppel seorang makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht, sosok kedua Max Havelaar sang asisten residen Lebak, dan Multatuli yang banyak menderita, yang mengangkat pena.
            Peristiwa Lebak adalah suatu kasus di antara banyak sekali kasus korupsi atau malversasi di kalangan aristokrasi Jawa, yang sangat dominan peranannya dalam struktur kekuasaan zaman kolonial. Selama adab ke -19 bahkan sampai akhir masa penjajahan Belanda, politik kolonial memberi peluang untuk pertumbuhan ambivalensi fungsional dipertahankan, agar keefektifan birokrasinya terjamin. Belanda memposisikan para bupati sebagai perantara untuk “menghisap rakyat.”



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebenarnya apabila ditilik lebih lanjut korupsi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, setidaknya semenjak masa penjajahan Belanda. Korupsi yang dilakukan oleh orang pribumi pada waktu terjadi karena sistem pemerintahan masih tumpang tindih antara sistem tradisional dan sistem modern. Para penguasa probumi cenderung tidak membedakan antara hak-hak sebagai penguasa dan hak-hak pribadi. Tindakan memanfaatkan kedudukan untuk kepentingan pribadi adalah sesuatu yang lumrah saat itu. Pemerintah kolonial Belanda tidak mampu berbuat banyak karena kenyataannya mereka masih membutuhkan para penguasa pribumi sebagai perantara untuk ”menghisap rakyat.”
Peristiwa Lebak adalah suatu kasus di antara banyak sekali kasus korupsi atau malversasi di kalangan aristokrasi Jawa, yang sangat dominan peranannya dalam struktur kekuasaan zaman kolonial. Selama adab ke -19 bahkan sampai akhir masa penjajahan Belanda, politik kolonial memberi peluang untuk pertumbuhan ambivalensi fungsional dipertahankan, agar keefektifan birokrasinya terjamin.
 Dalam konteks kebudayaan politik seperti itu jelas, bahwa tidak relevan, bahkan tidak layak, untuk memberlakukan prinsip-prinsip birokrasi legal rasional yang secara tegas membedakan dan memisahkan hak dan kewajiban formal dari yang pribadi. Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini tidak berdaya apa-apa. Bahkan sistem politik tersebut sengaja dipertahankan oleh pemerintah Belanda. Hak turun temururn kedudukan bupati, pemberian gelar kebangsawanan beserta lambang kebesaran seperti song-song (payung), pakaian kebesaran dan lain sebagainya dilestarikan sebgai wujud sistem feodal.




DAFTAR PUSTAKA

Douwes Dekker Eduard.1985.Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang             Belanda.terjemahan HB Jassin.Jakarta:Djambatan.
Kartidirdjo Sartono.2005.Sejak Indische sampai Indonesia.Jakarta:Kompas
Van Neil Robert.2003.Sistem Tanam Paksa di Jawa.Jakarta:LP3S.
Boomgraad Peter.2004.Anak Jajahan Belanda (Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-   1880).Jakarta:KITLV Jakarta-Djambatan
ditulis di Yogyakarta kira-kira sehari menjelang Seminar Nasional Ikahimsi XVII di Universitas Padjajaran Jatinangor