Posted on Minggu, 03 Januari 2016 Pram dan Revolusi Kemerdekaan
Pram dan Revolusi Kemerdekaan
Oleh
Dhani Kurniawan
Kiranya sulit mencari
penulis Indonesia yang menyita perhatian dunia melebihi Pramoedya Ananta Toer.
Berderet penghargaan dari berbagai lembaga internasional bergengsi telah
didapatnya. Pram menjadi sorotan dunia selain karena karya-karya besarnya juga
karena perjalanan hidupnya yang penuh liku bahkan kontroversial. Terlahir di
Blora 6 Februari 1925 dan meninggal pada 30 April 2006 menjadikan Pram sebagai
salah satu orang Indonesia yang turut menjadi pemain di banyak episode sejarah
Indonesia. Pengalaman hidup yang panjang tersebut sedikit banyak mempengaruhi
pemikiran dan karya-karyanya. Sudah cukup banyak orang dari berbagai kalangan
yang mencoba membaca karya Pram dan kisah hidupnya. Namun saya kira masih ada
banyak celah yang bisa digali. Salah satunya adalah kehidupan Pram dan karyanya
pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Kita di bangku sekolah
selalu diajarkan bahwa revolusi kemerdekaan Indonesia adalah salah satu babak
penting dalam sejarah Indonesia. Satu babak dimana bangsa Indonesia dengan
semangat cinta tanah air dan kerinduan akan kemerdekaan bersatu padu melawan
penjajah. Rakyat di seluruh Indonesia bergolak dan rela menyerahkan segalanya
dengan tanpa pamrih demi bangsanya. Namun apakah pada masa itu rakyat tidak
juga disibukkan dengan urusan yang mungkin tampak aneh dan sepele. Kebutuhan
ekonomi, masalah rumah tangga, pengkhianatan, pertemanan bahkan percintaan.
Apakah masalah seperti itu tidak ada pada masa revolusi kemerdekaan. Setidaknya
kita di sekolah tidak diajarkan bahwa masalah seperti itu ada. Mungkin masalah
seperti itu bisa menurunkan kadar heroisme dan patriotisme jadi biarlah
anak-anak sekolah cuma tahu bahwa para pahlawan bangsa ini adalah orang-orang
yang tangguh dan pejuang yang gigih hingga tak sempat memikirkan hal yang
remeh-temeh.
Pram sebagai orang yang
mengalami masa tersebut dan sedikit banyak menuangkan pengalamannya dalam
karyanya justru menampilkan hal yang sangat berbeda. Pram kala itu adalah satu
dari sekian banyak pemuda Indonesia yang bergabung untuk berjuang melawan sisa
pasukan Jepang dan kembalinya Belanda. Dia mulai bergabung dengan para pejuang
tepat setelah mendengar berita proklamasi. Pram bahkan sempat mendapat pangkat
letnan dua. Dia ikut bertempur melawan Jepang kemudian, NICA sampai akhinya
ditahan oleh pemerintah pendudukan Belanda. Dia tertangkap saat bertugas
mencetak dan menyebarkan pamflet dari gerakan bawah tanah. Pram baru dibebaskan
pada akhir Desember 1949 sesudah Konferensi Meja Bundar.
Pram meskipun ada dalam
penjara pemerintah Belanda tetapi tetap diijinkan untuk menulis. Pada tahun
terakhirnya di penjara lahirlah “Keluarga Gerilya”. Karya ini dikatakan sendiri
oleh Pram pada pengantarnya sebagai “Kejadian-kejadian di sekitar revolusi
nasional yang berserak-serak itu, dengan benang-perangkai dari khayal,”. Karya
tersebut selain memang digali dari pengalaman Pram sendiri juga merupakan
persemahannya kepada Kolonel Wahab. Seoarang komandan gerilya yang sangat
dihormatinya yang akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer
Belanda. Pada masa ini juga Pram mengalami pergolakan hebat sampai akhirnya
sejak saat itu dia tidak lagi takut dengan kematian. Pram sudah siap kapanpun
maut datang menjemput.
Pada pengantar karya
tersebut Pram mengajukan pertanyaan yang mungkin nampak aneh bagi kita generasi
yang terlahir di era paska kemerdekaan. Pertanyaannya yang dijawabnya sendiri.
Pram bertanya “Berapa banyak jumlah keluarga yang hancur oleh peperangan?
Peperangan mana saja, termasuk juga peperangan yang diakibatkan oleh revolusi
nasional? Dan berapa ratus ribu dan juta orang yang mati, dan menyeret
keluarganya ke dalam kehancuran dan penderitaan? Dan berapa banyak keluarga
jang hancur separoh atau seluruhnya? Tak terhitung.” Keluarga Gerilya adalah
usahanya menampilkan satu contoh dari yang tak terhitung jumlahnya tentang
sebuah keluarga yang hancur dan terseret ke dalam penderitaan karena perang
revolusi kemerdekaan.
Keluarga Gerilya adalah cerita tiga hari tiga
malam yang membuat sebuah keluarga hampir kehilangan segalanya. Sebuah keluarga
di mana perang telah memaksa anak untuk membunuh bapaknya sendiri karena sang
bapak bergabung di dinas tentara Belanda. Peristiwa tersebut hanyalah awal
karena perang meminta lebih banyak korban dengan cara yang memilukan. Kakak
yang melihat adik di sebelahnya mati tertembak, ibu yang gila kehilangan anak
lelaki kesayangannya, anak gadis yang direnggung keperawanannya dan masih
banyak lagi penderitaan lainnya. Semua itu harus ditanggung oleh satu keluarga
dalam tempo tiga hari tiga malam.
Tapi manusia hidup di
dunia bukan di surga atau neraka begitulah nampaknya yang ingin disampaikan
Pram. Tiga hari tiga malam yang berat tersebut dilewati bukan tanpa ada
orang-orang yang mau membantu dan tidak benar-benar berjalan tanpa harapan
kepada masa depan. Pada akhir cerita mereka yang masih hidup toh harus menata
kembali kehidupannya. Mereka harus berjuang dan mungkin membangun Indonesia
merdeka. Kemerdekaan bagaimamapun mampu menghadirkan kebahagian tersendiri
terutama mereka yang berjuang. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh Pram, “Itu
termasuk saat terindah dalam hidup saya… Kami melihat turunnya merah-putih-biru
dari Istana dan menyaksikan naiknya bendera merah putih… Ketika bendera merah
putih naik, saya merasa saya warga seratus persen dari suatu negara yang
seratus persen merdeka”. Kemerdekaan adalah gerbang menuju harapan akan
kehidupan yang lebih baik. Kemerdekaan bagi sebuah bangsa juga berarti
penghargaan, pengakuan yang layak dan sejajar sebagai bangsa yang berhak
mengatur dirinya sendiri.
Pram yang sempat
bergabung di militer akhirnya keluar dan memilih jalan hidupnya sendiri. Jalan
yang dipilihnya tidaklah mudah. Menjadi seorang penulis di alam bangsa yang
belum lama merdeka tentu bukan pekerjaan yang menjajikan. Serba kekurangan
merupakan hal yang akrab bagi Pram. Namun Pram tak pernah setengah-setengah
dengan pilihannya. Jalan yang dipilihnya pada akhirnya sempat mengantarkan Pram
menjadi sosok yang dihormati. Pada masa demokrasi terpimpin 1959-1965 Pram
masuk dalam pusaran politik dan pertarungan ideologi. Dia pada masa itu
bergabung ke dalam LEKRA yang dianggap sebagai underbow PKI. Pram juga ambil
bagian mendukung penuh konsepsi politik
Sukarno. Keputusan ini nyatanya harus dibayar mahal. Dihanancurnya PKI dan
semua organ yang dianggap seidiologi serta lengsernya Presiden Sukarno tak
pelak turut menyeret Pram.
Takdir mungkin sudah
menggariskan bahwa ternyata Pram harus menjadi tahanan negara yang
kemerdekaannya turut dia diperjuangkan. Menjadi buangan di pulau terpencil,
menjadi tahanan rumah, dan terus mendapat label eks tapol di KTPnya. Menjadi
warga negara kelas yang diliankan dan dikebiri hak-haknya. Negara yang sama
juga melarang bahkan berusaha memusnahkan karyanya dan menghentikan kerja
kerasnya. Hebatnya semua dakwaan dan hukuman yang ditimpakan pada Pram sama
sekali tak pernah melalui proses peradilan.
Penguasa orde baru
menghapus ingatan dan sejarah bahwa Pram juga merupakan seorang yang pernah
berjuang. Semua yang pernah dilakukan Pram dengan mempertaruhkan nyawanya bagi
negeri ini terhapus dan jadi tak bermakna. Apa yang melekat pada Pram hanyalah
bahwa dia seorang komunis yang selalu menggasak lawan-lawannya dengan cara
kasar. Seniman yang tak bisa menghasilkan apa-apa kecuali karya-karya pamphlet murahan.
Kini zaman sudah
berubah kita yang menikmati hidup paska jatuhnya orde baru bisa menikmati
karya-karya Pram tanpa rasa takut. Penguasa bukan lagi penafsir tunggal yang
berhak menghadirkan Pram dengan wajah penjahat bengis. Namun masalahnya hari
ini adalah apakah kita bisa melanjutkan perjuangan dan amanat Pram yang
disampaikan lewat karya-karyanya atau kita akan terlalu sibuk dengan gadget dan
dagelan murahan yang hanya membuat tertawa para penonton bayaran. Atau mungkin
kita hanya bisa memitoskan Pram dan karya-karyanya. Menjadikan karya-karya Pram
komoditas yang menguntungkan layaknya barang antik. Apakah karya-karya besarnya
hanya malah jadi simbol kemewahan bagi segelintir kolektor yang tak pernah
benar-benar peduli dan paham dengan ide dan cita-cita Pram? Semoga saja tidak.
Pram menaruh harapan
besar kepada para pembaca karyanya sebagaimana pernah dikatakannya sendiri, “Saya
mengharapkan bahwa apa yang dibaca dalam tulisan saya akan memberikan kekuatan
pada pembaca saya, memberikan kekuatan untuk tepat berpihak pada yang benar,
yang adil, dan yang indah.” Jadi bisakah kita hari ini menyingkirkan rasa takut
untuk berpihak dan memperjuangkan yang benar, yang adil, dan yang indah? Karena
mungkin revolusi memang belum selesai dan kemerdekaan masih harus diperjuangkan
agar kita dan anak cucu kita kelak menjadi manusia yang adil dan merdeka sejak
dalam pikiran.
Sleman, 8 April 2015
Rujukan
August Hans den Boef dan Kees Snoek.
(2008). Saya Ingin Lihat Semua Ini
Berakhir; Esai dan Wawancara dengan
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Komunitas Bambu.
Pramoedya Ananta Toer. (1955). Keluarga Gerilja. Jakarta: Pembangunan.
0
komentar |