Posted on Jumat, 18 Desember 2015 Oposisi Biner Di Balik Sidang MKD
Oposisi Biner Di Balik Drama MKD
Oleh
Dhani Kurniawan
Sekilas saya lihat surat
kabar hari ini. Nampak wajah Setyo Novanto (Setnov) sosok yang belakangan
menjadi bintang antagonis di media massa. Setnov setelah menjadi sorotan publik
dan menjadi simbol kebobrokan moral jajaran anggota dewan akhirnya terpaksa
menyerah. Dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua DPR. Tindakan
Setnov tersebut dianggap sebagai suatu puncak kemenangan suara rakyat dalam
rangkaian drama sidang Mahkamah Kehormatan DPR (MKD). Bukti bahwa suara rakyat
yang tentu saja hanya bisa bergema kuat lewat media massa berskala besar mampu
memenangkan suatu pertarungan dengan elit yang sewenang-wenang. Saya sendiri
merasa ini bukan semata-mata kemenangan suara rakyat. Apalagi jika kita
meletakkannya dalam konteks besar masalah penguasaan (sebagian orang termasuk
elit pemerintah kita dengan simpatik menyebutnya pengelolaan). Kita harus ingat
bahwa Setnov menjadi pesakitan karena rekaman lobinya terhadap Freeport bersama
Riza Chalid diangkat ke publik oleh Sudirman Said yang merupakan menteri ESDM.
Saya
kira ada baiknya jika konteks besar itu kita lihat kembali dari belakang secara
kronologis. Perhatian utama masyarakat yang tentu saja tidak lepas dari gaya
penyampaian media massa adalah pada masalah kontrak perusahaan Freeport.
Kontrak Freeport yang menjadikannya memiliki hak mengelola kekayaan tambang di
Papua yang merupakan tambang emas terbesar di dunia akan habis pada 2021.
Sebelum kontrak tersebut habis tepatnya pada akhir tahun ini akan dilangsungkan
renegosiasi dengan pemerintah Indonesia. Ini jelas masalah besar yang pasti
mendapat sorotan publik. Rakyat tentu berkehendak agar kekayaan alam negeri ini
lebih bermanfaat untuk rakyat negeri ini sendiri. Jalannya bisa dengan
pembagian keuntungan yang lebih besar bagi pemerintah Indonesia (paket yang
sempat disodorkan pemerintah Indonesia kepada Freeport) atau malah dengan tidak
memperpanjang kontrak. Opini yang berkembang ke publik sebenarnya sangat kuat
dengan aroma nasionalisme. Rakyat tahu bahwa Freeport adalah perusahaan asing.
Namun secara menakjubkan isu tersebut tenggelam oleh kegaduhan antar relit
pemerintah Indonesia sendiri. Sama sekali tidak menguat isu Indonesia vs
Amerika, Pemerintah Indonesia vs Freeport, Kepentingan Rakyat vs Keuntungan
asing atau yang senafas dengan oposisi-oposisi biner tersebut.
Pada
awalnya sempat menghangat masalah surat kementrian ESDM kepada Freeport soal
perpanjangan kontrak. Selain itu ada juga siaran publik dari kementrian ESDM
yang senada yaitu terbukanya pemerintah untuk terus melanjutkan kerjasama
dengan Freeport. Keduanya mendapat kritik keras dari banyak pihak karena
menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah terhadap Freeport. Bagaimana
pemerintah mengeluarkan kebijakan semacam itu sementara negosiasi masih
berlangsung. Sayangnya masalah itu tidak lama menjadi sorotan publik. Secara
cepat perhatian publik teralih pada soal rekaman lobi Setnov dan Riza Chalid
yang dicuatkan oleh Sudirman Said. Rekaman tersebut lalu dijadikan senjata oleh
Sudirman Said untuk melaporkan Setnov ke komisi etik yang merupakan awal
rangkaian drama sidang MKD. Sebelum patut dicatat bahwa rekaman yang dicuatkan
Sudirman Said tersebut ternyata adalah milik presiden direktur Freeport
Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Orang yang dilobi oleh Setnov dan Riza Chalid.
Bagaimana
rekaman tersebut bisa sampai kepada Sudirman Said dan apa motif pengungkapannya
ke publik. Saya kira itu pertanyaan pertama yang harus dijawab dan tolong tahan
dulu oposisi biner protagonis vs antagonis, Sudirman Said vs Setnov. Masalahnya
rekaman tersebut dimiliki dan dibuat oleh Maroef Sjamsoeddin presiden direktur
Freeport Indonesia yang tentu saja lekat dengan kepentingan Freeport. Maroef
adalah mantan wakil kepala BIN dan purnawirawan TNI AU dengan pangkat terakhir
Marsekal Muda yang punya karir cemerlang di dunia intelejen.[1] Sulit
dipercaya rekaman tersebut sampai pada Sudirman Said tanpa sepengetahuan Maroef
Sjamsoeddin. Terlebih dengan rekam jejak dan kemampuannya di dunia intelejen. Jelas
ada kontak antara Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin. Sulit dipercaya juga
bahwa Maroef Sjamsoeddin tidak punya agenda khusus dalam memunculkan rekaman
tersebut.
Sudirman
Said adalah menteri ESDM pembantu presiden Jokowi yang harusnya mewakili
kepentingan nasional Indonesia sementara Maroef Sjamsoeddin adalah presiden
direktur Freeport Indonesia yang merupakan tangan kanan Jim Bob di Indonesia
dan tentu saja membawa kepentingan Freeport. Mereka berdua harusnya ada di dua
kutub yang berseberangan. Oposisi itulah yang harusnya tercipta dan menjadi
perhatian publik bukan Sudirman Said vs Setnov atau Sudirman Said vs MKD.[2] Sudirman
Said dan Maroef Sjamsoeddin kenyataannya sama sekali tidak menjadi oposisi
biner yang disorot publik. Malahan saya menaruh kecurigaan besar bahwa mereka
berdua menjalin hubungan mesra. Lalu sekarang sejauh mana negosiasi pemerintah
Indonesia dengan Freeport? Jadi apa rakyat sudah menang? Entahlah. Mungkin
kecurigaan saya berlebihan dan terlalu mengada-ada.
Madiun, 17 Desember 2015
[1]
Kontak
awal Maroef Sjamsoeddin dengan James R Moffet yang akrab disapa Jim Bob
pimpinan Freeport McMoran adalah ketika dia mampu meredakan pemogokan buruh
Freeport pada 2011. Pada saat itu dia masih menjabat wakil kepala BIN. Pasca
kejadian tersebut Jim Bob terpuaku dengan sosok Maroef Sjamsoeddin dan
memintanya memimpin Freeport Indonesia anak perusahaan Freeport McMoran yang
beroperasi di Indonesia.
[2]
Bukan
berarti saya membela Setnov, Riza Chalid dan orang-orang dibelakangnya tapi
kasusnya bisa saja ditangani orang lain. Tidak harus Sudirman Said sendiri yang
turun tangan. Bukankah akan lebih baik jika dia berkonsetrasi pada agenda besar
di depan mata sesuai kapasitasnya sebagai menteri ESDM yaitu menghadapi
Freeport.
0
komentar |