Posted on Kamis, 14 Januari 2016 Membaca Imagined Communities
Membaca Imagined Communities:
Sebuah Resensi yang Terlambat
Oleh
Dhani Kurniawan
Judul :
Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang
Pengarang : Benedict Richard O’Gorman Anderson
Penerjemah : Omi Intan Naomi
Tebal :
liv+336
Tahun terbit : 2008
Penerbit :
Insist dan Pustaka Pelajar
Batu, 13 Desember 2015
kabar duka datang menyambar bak petir di siang bolong. Telah berpulang seorang
ilmuwan terkemuka yang banyak melahirkan karya bermutu tentang Indonesia,
Benedict Richard O’Gorman Anderson.[1]
Pak Ben begitulah panggilan akrabnya di Indonesia meninggalkan warisan berharga
berupa karya-karya bermutu yang tak akan habis untuk dikaji. Salah satu karya
besarnya yang akan saya ulas di sini adalah Imagined Communities. Imagined
Communities telah menjadi karya besar yang diakui di banyak negara namun
menimbulkan perdebatan dan banyak kegamangan di Indonesia.
Imagined Communities
pertama terbit tahun 1983 tetapi baru pada 2001 terbit dalam bahasa Indonesia. Jadi
ada keterlambatan 18 tahun. Namun keterlambatan tersebut membawa hikmah
tersendiri. Pak Ben merasa ada beberapa kekeliruan fatal hingga perlu ada
pembenahan dan tambahan. Edisi revisi
itulah yang akhirnya terbit dalam bahasa Indonesia. Saya sendiri baru tahun
2013 mengoleksi buku tersebut. Saya mendapat edisi terbitan 2008 yang diberi
pengantar oleh Daniel Dhakidae. Itupun tidak langsung saya baca sampai selesai
sampai dua tahun kemudian. Ketika itu saya sempat sedikit membaca terutama
bagian di mana Indonesia di bahas. Pembacaan tersebut terhenti karena saya
belum merasa berkepentingan dengan bagian-bagian lain yang sejujurnya hampir
tidak mampu saya pahami sama sekali. Kabar meninggalnya Pak Ben lah yang pada
akhirnya membawa saya kembali menengok Imagined Communities dan bertekad
membacanya sampai halaman terakhir.
Pengantar cukup panjang
yang diberikan oleh Daniel Dhakidae bagi saya tidak banyak membantu. Daniel
fokus pada Indonesia. Indonesia memang hadir cukup dominan pada bab di mana
fokus bahasan adalah wilayah Asia Tenggara. Namun karya tersebut punya cakupan
yang hampir melingkupi seluruh wilayah dunia. Cakupan yang begitu luas
menjadikan Imagined Communities sulit dipahami oleh mereka yang kurang memiliki
pengetahun tentang sejarah berbagai kawasan di dunia. Kesulitan kedua adalah
bahwa Imagined Communities lahir dari pertanyaan yang begitu asing bagi
sebagian besar pembaca Indonesia yang dibesarkan dalam suasana Orde Baru.
Imagined Communities adalah karya yang bergumul dengan pertanyaan utama apa itu
bangsa dan bagaimana ia mengada. Kesulitan berikutnya adalah pisau bedah
analisis dalam karya tersebut. Pak Ben menggunakan pisau meskipun mungkin tidak
langsung dari berbagai tokoh yang masih sangat asing bagi khalayak Indonesia
misalnya Heidegger dan Foucault. Bagian inilah yang juga kurang dibahas dalam
pengantarnya Daniel. Tidak ada gambaran yang memadai tentang bagaimana pembaca
harus menyelami penelusuran Pak Ben. Kesulitan terakhir masalah gaya terjemahan
dan teknis catatan kaki. Terjemahan seringkali memunculkan bahasa yang sangat
khusus dan hanya bisa dipahami kalangan tertentu. Sementara catatan kaki
seringkali muncul bukan saja sebagai keterangan sumber rujukan tapi juga
penjelasan panjang yang mungkin bisa dimasukkan dalam tubuh tulisan.
Imagined Communities
pada bagian awal berangkat dari dua tesis menonjol yang kemudian sering dikutip
(ini pun jika saya tak salah tangkap). Pertama tentang definisi bangsa sebagai
komunitas politis terbayang dan kedua kapitalisme cetak sebagai faktor penting
dalam kelahiran bangsa. Seolah-olah kedua tesis tersebut adalah kesimpulan
final. Pengutipan entah langsung atau tidak untuk diikuti atau dibantah
sayangnya sering tanpa secara serius mengikuti urian Pak Ben pada bab-bab
selanjutnya. Padahal pada bab-bab selanjutnya Imagined Communities menampilkan
penelusuran yang cukup komplek dan mengesankan di mana begitu banyak gejala
ditampilkan dan dibedah secara mendalam. Setiap bab adalah rangkaian yang
memperlihatkan keberlanjutan sekaligus keretakan tetapi tetap harus dibaca
menyeluruh sebagai satu karya yang utuh. Imagined Communities sama sekali bukan
kumpulan tulisan di mana setiap bab bisa dibaca terpisah dan tidak runtut.
Judul setiap bab dalam
Imagined Communities tidak mudah dipahami. Pak Ben seringkali menggunakan
ungkapan yang tidak semata-mata lugas dan dingin seperti karya ilmiah pada
umumnya. Misalnya pada bab 9 yang diberi judul “Malaikat Sejarah”. Gaya bahasa
yang digunakan sebagai judul bab kental dengan aroma sastrawi dan begitu juga
dengan seluruh paparan dalam buku tersebut. Malahan judul karya itu sendiri
yaitu Imagined Communities sudah cukup menampilkan aroma sastrawinya. Namun
jika dibaca dan dipahami secara mendalam cara yang demikian sebenarnya membuka
lebih banyak kemungkinan hadirnya makna yang sulit direngkuh oleh bahasa ilmiah
yang kaku. Salah satu jalan termudah namun juga patut diwaspadai untuk memahami
seluruh bangunan buku tersebut adalah membacanya dalam kerangka ruang dan
waktu. Suatu pendekatan kesejarahan.
Pada bab 1 Pak Ben mengajukan
konsep dan pertanyaan mendasar yang akan terus hadir dalam bab-bab selanjutnya.
Beliau secara jujur mengutarakan bagaimana karya tersebut bermula dari rasa
penasarannya pada perang yang pecah antara negara-negara yang sama-sama secara
resmi mengadopsi teori Marxis.[2]
Pada bab ini pula tertuang pernyataannya tentang definisi bangsa yang telah
menjadi klasik. Bagi Pak Ben bangsa adalah “komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inhern sekaligus berkedaulatan”.
Beliau pada bagian akhir bab 1 juga tidak segan memaparkan bahwa bangsa adalah
seusatu yang baru yang bahkan belum terbayangkan di Prancis abad 18.[3]
Lalu bagaimana semua pembanyangan tersebut hadir dan dalam beberapa kasus
malahan tiba-tiba merasa menjadi sesuatu yang antik dan kuno (begitulah
kira-kira selama ini kita diajarkan di bangku sekolah). Pada bab-bab
selanjutnya Pak Ben melanjutkan penelusurannya yang mencengangkan.
Pak Ben memulai
penelusurannya pada bab 2 dari masa-masa dimana senjakala kuasa religius dan dinastik
telah menjadi tak terelakkan. Pada bab-bab selanjutnya Imagined Communities
akan membawa pembacanya menelusuri hampir seluruh wilayah dunia ini. Jalan yang
ditempuh panjang dan tidak mudah. Kita tak akan menghadirkan keseluruhan
penelusuran di sini karena keterbatasan kemampuan yang saya miliki. Satu yang
jelas bahwa penelusuran bermula dan berakhir di Asia Tenggara. Sebuah kawasan
yang memang secara khusus menjadi keahlian Pak Ben. Pak Ben dengan mantap
menunjukkan banyak kejanggalan yang selama ini luput. Misal tentang ketiadaan
wangsa penguasa Inggris yang menggunakan nama Inggris dan menisbahkan diri
berasal dari Inggris sampai tiba-tiba wangsa yang berkuasa Hanover atau
Saxe-Coburg-Gotha (nama yang sangat Jerman) mengganti namanya dengan mengambil
nama salah satu kastil miliknya yaitu Winsdor (nama yang diklaim seratus persen
Inggris) [4].
Kita juga diajak melihat bagaimana Joze Rizal menulis puisi terakhirnya yang
sangat indah dalam bahasa Spanyol. Padagal dia sepenuhnya sadar bahwa
imperialis Spanyol itu juga yang menjajah Filipina dan segera mencabut nyawanya[5]
Bagian paling menarik
bagi pembaca Indonesia tentu ketika penelusuran Pak Ben sampai pada wilayah
Asia Tenggara khususnya Indonesia. Patut dicatat juga bahwa di wilayah Asia
Tenggara salah satu keahlian Pak Ben yang paling menonjol adalah tentang
Indonesia. Malahan Indonesia adalah titik tolak kepakaran Pak Ben dibawah
bimbingan pakar terkemuka Mc Turnan Kahin. Pak Ben coba menguliti asal muasal
bangsa Indonesia. Menjadi menarik karena analisa Pak Ben sangat bertentangan
dengan versi resmi yang populer di Indonesia. Indonesia dalam Imagined
Communities sama sekali bukan entitas utuh yang antik, sakral dan berakar jauh
dari warisan leluhur yang seratus persen Indonesia. Malahan Pak Ben menelusuri
bangsa Indonesia dari pembayangan yang tercipta selama proses penjajahan.[6]
Nyatanya kita sulit membantah bahwa Indonesia merdeka secara teritorial lebih
merupakan warisan pemerintah kolonial daripada wilayah kekuasaan kerajaan
prakolonial manapun. Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan juga
merupakan warisan ibukota kolonial. Malahan nama Indonesia yang menggeser
Nusantara atau Hindia Belanda sama sekali bukan ciptaan orang Indonesia dan
pada mulanya tidak digunakan untuk merujuk Indonesia sebagaimana ia dipakai
sekarang. Pada titik inilah Pak Ben menelusuri bagaimana proses hadirnya bangsa
Indonesia dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan analisis yang memukau.
Pada akhirnya Imagined
Communities merupakan karya berbobot yang penting bagi pembaca Indonesia. Meski
tidak secara spesifik mengkaji Indonesia karya ini membahas Indonesia dengan
porsi yang cukup banyak dalam konteks besar. Pak Ben lewat Imagined Communities
telah memberi sumbangan besar sebagai bahan permenungan bagi kita bangsa
Indonesia.
Madiun, 6 Januari 2016
0
komentar |