Posted on Minggu, 24 Februari 2013 Malam Satu Suro
Malam Satu Suro
Oleh Dhani Kurniawan
Dulu ada seorang filsuf
ternama yang terkenal dengan pernyataannya “Aku berpikir maka aku ada.” Kalau
tidak salah namanya Rene Deschartes. Pernyataan tersebut adalah hasil proses
filsafat yang luar biasa untuk ukuran zamannya, tetapi sekarang jauh ribuan
tahun setelah pernyataan itu dibuat berpikir saja tidaklah cukup. Sebuah
pernyataan baru yang lahir atas pernyataan tersebut sebagai penyempurna “adalah
tidak cukup berpikir untuk membuktikan keberadaan seseorang tapi orang tersebut
harus menuangkan pikirannya dalam tulisan”. Sejarah telah membuktikan
keberadaan seseorang atau bahkan sebuah peradaban besar dapat kita ketahui
secara lebih baik jika ia meninggalkan warisan berupa tulisan. Tulisan itulah
yang mengabarkan kepada kita apa saja yang telah mereka capai dan ide-ide yang
bisa kita kembangkan. Begitulah kira-kira yang saya dapat dari Prof. Dr. Ajat
Sudrajat M.Ag. dekan fakultas ilmu sosial sekaligus dosen dalam kuliah filsafat
sejarah. Selain itu sebenarnya ada lebih banyak lagi yang mendorong saya untuk
menulis hanya saja kebetulan kali ini yang saya ingat adalah dari Pak Dekan.
Apa yang saya tulis di
atas adalah pengantar sekaligus penyemangat dari tulisan saya sebenarnya yang
akan lebih berkisah pada pengalaman pibadi. Ini tentang pengalaman mudik. Ya
tentang mudik barangkali merupakan pengalaman semua orang yang pernah menjadi
perantau di Indonesia. Indonesia adalah sebuah negeri yang unik. Orang
Indonesia jika merantau keluar dari tanah kelahirannya pasti akan berusaha
sesekali menengok kampung halamannya, terutama jika mereka sukses di perantauan.
Sebenarnya yang menjadikannya sensasional adalah ada waktu-waktu tertentu di
mana orang cenderung untuk mudik. Sehingga terjadilah mudik musiman yang
bisanya terjadi sekitar hari besar keagamaan terutama Islam. Mengapa Islam,
jawabannya sederhana, karena sebgian besar orang Indonesia adalah muslim, setidaknya
begitu dalam KTPnya tertulis. Mudik saya kali ini juga keetulan berkaitan
dengan libur hari besar Islam, yaitu peringatan tahun baru Islam.
Tahun baru Islam punya
makna tersendiri khususnya bagi orang Jawa. Menurut tradisi Jawa tahun baru
Islam juga bertepatan dengan tahun baru penanggalan Jawa. Adalah Sultan Agung
yang pertama mengubah penaggalan Jawa sehingga hitungganya bertepatan dengan
penanggalan Islam atau hijriyah. Perubahan tersebut selain untuk lebih
membumikan ajaran Islam di Jawa, menurut pendapat sebagian orang adalah terkait
kepentingan Sultan Agung sebagai penguasa sebagian besar pulau Jawa kala itu.
Malam satu Muharram atau malam satu Suro menurut perhitungan Jawa bagi sebgian
orang adalah malam keramat, bulan Suro selama sebulan penuh juga dianggapnya
keramat. Padahal dalam ajaran Islam bulan Suroadalah bulan yang baik.
Terlepas dari bagaimana
orang memaknai malam satu Suro, yang jelas pada malam itulah aku mudik. Malam
itu malam Kamis, malam 1 Muharram 1434 H, bertepatan dengan malam 1 Suro,
tetapi untuk hitungan tahu Jawa aku tidak tahu sudah sampai tahun berapa. Saya
biasa mudik sebulan sekali untuk melepas kangen dengan keluarga dan sekaligus
mengambil jatah uang saku saya sebagai seorang mahasiswa yang masih
menggantungkan diri pada pemberian orang tua. Selain itu orang tua saya juga
meminta saya pulang jika ada keperluan khusus atau kebetulan ada libur panjang.
Libur panjanglah yang sebenarnya menjadi alasan saya mudik kali ini. Libur
empar hari, mulai Kamis, sampai Minggu, ya lumayan untuk sekedar melepas lelah
dengan rutinitas kehidupan sebagai mahasiswa. Walau di rumah sebenarnya sering
yang saya lakukan hanya menonton tv, membaca, dan membantu orang tua sekedarya.
Berkumpul dengan keluarga dan menikmati kedamaian rumah sendiri adalah sebuah
kebahagiaan yang luar biasa.
Hari itu, sore sekitar
setengah empat saya menati bus di jalan yang sama setiap kali saya mudik, di
jalan Gejayan. Bus yang saya nanti juga sama, bus jalur 7, ya tentunya dengan
sopir dan armada bus yang berbeda-beda. Kali ini penantian saya berlangsung
lebih lama dari biasanya. Barangkali sudah hampir setengah jam saya menunggu.
Bus yang saya nanti memang lewat jalan itu tapi kali ini saya tidak bisa naik,
sudah terlalu penuh dengan penumpang.Entah apa yang seenanrya terjadi, karena
penumpang yang terlalu banyak atau armada bus yang terlalu sedikit, atau
keduanya. Setelah hampir putus asa menanti akhirnya saya menumpang bus yang
tidak biasanya, bukan jalur 7. Saya
berharap bus itu bisa mengantarkan saya ke terminal. Tetapi aneh, bus itu
mengambil jalan yang sepertinya tidak mengarah ke terminal, dan saya karena
sudah terlalu lelah menunggu, hanya berharap bus itu berakhir di terminal
Giwangan.
Setelah menempuh
perjalanan yang panjang dan jalan yang memang tidak mengarah ke terminal
Giwangan, sial, memang bukan di Giwangan bus ini berhenti. Saya kemudian
ertanya pada sopir bus tersebut, bagaimana saya bisa ke Giwangan, dan
jawabannya tak begitu jelas, dia hanya bilang agar menari bus di luar. Bingung
mau bagaimana saya bisa sampai ke Giwangan akhirnya kupuskan naik Trans Jogja.
Setidaknya aku yakin dengan moda transportasi itu aku bisa sampai ke Giwangan.
Setelah bertanya ke petugas memang aku bisa sampai Giwangan tetapi harus oper
bus nantinya. Aku tahu perjalanan pasti akan lama, kaeran biasanya bus Trans
Jogja selalu mengabil jalan yang memutar-mutar. Ya tak apalah, kukira tak ada
jalan yang lebih baik.
Naik bus Trans Jogja
dari Jombor ke Giwangan tak bisa satu bus, nanti harus transit dan ganti bus
dari jalur 2a ke 3a. Ah benar-benar perjalanan yang panjang. Aku berusaha
sedikit emnghibur diri dengan menengok ke luar melihat pemandangan lewat
jendela kaca yang tak bisa di buka. Pemandangan kota Jogja, sebuah kota yang
sudah cukup terkenal dengan berbagai macam julukan atau gelar. Sebuah kota yang
menghadirkan kenangan tersendiri bagi setiap orang yang mengunggujinginya dan
begitu juga aku. Tapi tentang cinta jangan tanya, tentang yang satu itu aku
belum punya kenangan di kota ini. Masih dalam perjalanan dengan bus yang penuh
sayup-sayup terdengar panggilan Tuhan. Adzan magrib telah berkumandang, seruan
untuk beriadah, sekaligus tanda matahari telah terbenam. Aku masih dalam bus
yang sama ketika kemudian ibuku menelpon. Entah nanti jam berapa aku sampai
Madiun, kampung halamanku.
Perjalanan mengelilingi kota Jogja berakhir di
terminal Giwangan, tapi perjalananku baru dimulai. Aku langsung menuju ke
tempat biasa mangkal bus jurusan Surabaya. Ketika aku sampai di tempat yang ku
tuju, ah betapa kagetnya aku. Baru kali ini ku lihat begitu banyak penumpang
tetapi tidak ada bus. Aku duduk dan bertanya pada seseorang di dekatku, diapun
sudah dari tadi menunggu bus. Ya, aku pun menunggu, sambil mengobrol dengannya.
Satu dua kali ada bus tetapi terlalu penuh, aku tak mau memaksakan diri.
Akhirnya sudah hampir jam tuju malam dan
kuputuskan menumpang bus yang sebenarnya juga penuh. Aku rasa jika aku menanti
bus yang benar-benar agak kosong mungkin akan sampai larut malam. Setelah naik
ke dalam bus, dan seperti yang ku duga, penuh. Setidaknya aku agak beruntung,
seorang bapak-bapak memperdilakan aku duduk di sampingnya. Aku memang bisa duduk
tetapi tidak bisa bersandar ke kursi, terlalu sesak.
Perjalanan sebenarnya
baru dimuali, Jogja-Madiun dengan Sumber Group. Biasanya dalam keadaan normal perjalanan
Jogja-Madiun bisa memakan waktu lima jam. Apakah nanti akan lima jam atau lebih
aku tidak tahu, yang jelas bus begitu penuh sesak. Jalanan nampaknya juga lebih
ramai dari biasanya. Ah mulai lagi, peperangan melawan kejenuhan, dingin, dan
kepala yang mulai pusing. Kira-kira sudah lewat tengah malam ketika aku sampai
di terminal Madiun, dan waw, tak pernah kulihat salarut ini penumpang menumpuk.
Bus jurusan Ponorogo jarang-jarang muncul dan kalaupun ada hampir pasti sudah
penuh.
Penantian yang tidak
jelas. Keadaan haus dan kelaparan, seharian aku baru sekali makan, kuputuskan
menacri makan di warung terminal. Inilah pertama kalinya aku mampir ke tempat
makan di terminal. Awalnya aku hanya sekedar ingin minum, tetapi perut yang
kelaparan memaksa aku untuk membeli makan. Aku memesan the anget dan berlanjut
dengan soto ayam. Entah seperti apa rasanya makanan itu yang jelas aku
menikmatinya di tengah kelaparanku. Selesai makan kusempatkan sebentar membaca
buku. Kepalaku sudah terlalu pusing untuk bisa fokus membaca. Kuputuskan
membayar semua pesanan yang telah kunikmati dan bergegas ke pemberhentian bus
untuk menunggu bus jurusan Ponorogo.
0
komentar |