Posted on Rabu, 06 Maret 2013 Trikora


Selayang Pandang Trikora dan Papua
oleh Dhani Kurniawan
Belanda pada 29 Desember 1945 resmi mengakui kemerdekaan Indonesia ditandai dengan penyerahan kedaulatan. Wilayah yang diakui sebagai bagian dari Indonesia adalah seluruh bekas jajahan Belanda dulu minus Papua.[1] Indonesia telah menetapkan bahwa seluruh wilayah bekas jajahan Belanda di Hindia adalah wilayahnya sementara itu Belanda enggan melepas Papua. Pada tahun 1950an di Indonesia terjadi kampanye besar-besaran menuntut diserahkannya Papua kepada Indonesia. Kampanye merupakan bagian dari kampanye besar yang mengkehendaki pengambilalihan perusahaan Belanda oleh serikat buruh. Perkembangan selanjutnya menunjukkan kampanye tentang Papua mendapat banyak dukungan baik dari rakyat mauppun pemerintah Indonesia.[2]
Belanda semenjak kalahnya kekuatan Jepang di Papua dalam usahanya mencegah Papua masuk menajdi bagian Indonesia telah berusaha menanamkan pengaruhnya. Pada tahun 1944 Resident J.P. van Eechoud yang terkenal dengan nama “vader der Papoea’s” (bapak orang Papua) mendirikan sekolah polisi dan sekolah pamongpraja di Holandia (Jayapura sekarang). Pendirian sekolah ini bukan semata-mata untuk mencerdsakan rakyat Papua namun lebih kepada usaha membetuk kelompok terdidik yang pro Belanda. Meski demikian ketika berita proklamasi 17 Agustus sampai di Papua ada sebagian dari kelompok terdidik tersebut yang pro Indonesia. Terbukti pada  1946 di Serui, Silas Papare dan sejumlah pengikutnya berhasil mendirikan organisasi politik pro Indonesia bernama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian. Nama Irian untuk menunjuk Papua muncul pada konferensi Malino pada tanggal 1946 yang dipimpin oleh Van Mook.[3] Belanda tidak menggunakan Irian dan lebih memilih menggunakan Papua atau Gueinea karena nama Irian telah digunakan oleh pihak Indonesia.
Sengketa yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mendorong menteri luar negeri Belanda Dr. Joseph Luns pada 28 November 1961 mengajukan masalah tersebut ke dalam sidang PBB. Dia mengajukan pemecahan masalah dengan sebuah rencana yang terdiri dari emapt pasal. Isi keempat pasal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama harus ada jaminan tentang adanya suatu undang-undang penentuan nasib bagi orang Papua/Irian. Kedua, harus ada kesediaan sampai terbentuknya pemerintah dengan persetujuan internasional. Ketiga, sehubungan dengan kesediaan tersebut juga akan diberikan kedaulatan. Keempat, Belanda akan terus membiayai perkembangan masyarakat. Ke taraf yang lebih tinggi.[4]
           
Sebelum Dr. Joseph Luns mengajukan masalah tersebut kepada PBB di Irian sendiri terjadi sebuah peristiwa yang dikemudian hari menimbulkan kontroversi. Pada tanggal 1 November 1961 bendera nasional Papua (Bintang Kejora) dikibarkan sejajar atau bersamaan dengan bendera Belanda dan pada saat itu dinyanyikan lagu kebangsaan Papua. Kegiatan ini tersiar cepat ke seluruh wilayah Papua yang terjangkau aparata Belanda dan ke dunia luar.[5] Peritiwa ini dikemudian hari oleh sebagian kelompok di Papua diklaim sebagai hari kemerdekaan dan menjadi dalih perjuangan merdeka lepas dari Indonesia.
Indonesia menjawab tindakan provokatif Belanda dengan mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA). TRIKORA dicetuskan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isi TRIKORA adalah sebagai berikut.
1.      Gagalkan pembentukan “Negara Papua” buatan Belanda kolonial
2.      Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3.      Bersiaplah untuk mobilisasi umum[6]
Tindakan Indonesia terkait masalah Irian tidak lepas dari politik luar negeri yang dijalankan saat itu yang anti kolonialsme dan imperialisme. Perlu juga untuk diingat bahwa dunia saat itu sedang dilanda perang dingin dimana dua kekuatan besar sedang bertarung dan hampir pasti ikut campur dalam konflik di berbagai belahan dunia. Indonesai yang pada awalnya menyatakn sikap Non Blok atau tidak memihak dalam perkembangannya sulit mempertahankan posisi netralnya. Indonesia pada kenyataannya berusaha mencari dukungan baik kepada Amerika Serikat maupun Sovjet.[7] Pada awalnya Indonesia memang berhasil memainkan peranan unik dimana karena berhasil mendapat dukungan Amerika maupun Sovjet namun kondisi tersebut tidak bertahan lama.
Diplomat  Amerika  Elsworth  Bunker mengajukan  Bunker  Plan  sebagai  pemecahan masalah  Papua.  Bunker  Plan  merupakan  sebuah rencana  dimana  Papua  harus  diserahkan  kepada PBB  baru  kepada  Indonesia.  Setelah  dibawah naungan  Indonesia  Papua  harus  diberi  kesempatan untuk  referendum.  Selanjutnya  pada  15  Agustus 1962  Indonesia,  Belanda  dan  PBB menandatangani New York Agrement Perjanjian Newyork). Mulai saat itu  juga  Paua  berpindah  menjadi  wewenang  PBB selanjutnya pada 1 Mei 1963 berpindah tangan dari PBB ke  Indonesia.[8]
Pada pasal XVII Perjanjian Newyork diatur secara rinci tentang pelaksanaan sebuah penentuan nasib sendiri (Act of Free Choice). Pasal tersebut berisi empat butir sebagai berikut.
1.            Konsultasi atau musyawarah dengan sembilan dewan perwakilan mengenai prosedur dan cara-cara untuk mengetahui kebebasan kehendak rakyat.
2.            Dalam jangka waktu ditetapkan oleh persetujuan tersebut, ditentukanlah tanggal yang pasti untuk pelaksanakan Act of Free Choice.
3.            Suatu formulasi yang jelas sehingga penduduk dapat menentukan apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia.
4.            Suatu jaminan bagi semua penduduk pribumi untuk ikut memilih dalam rangka penentuan nasib sendiri yang akan dilakuakn sesuai praktek internasional.[9]
Terjadi  arus  balik  dalam  perpolitikan Indonesia  pada  tahun  1965.  Urusan  Papua
menjadi  proyek  OPSUS  dengan  pemimpinnya jenderal  Ali  Moertopo.  Antara  Juli  sampai Agustus  1969  dilaksanakan  Act  of  Free  Choice. Apa  yang  terjadi  bukanlah  referendum,  1025  orang yang  dipilih  oleh  OPSUS  dikumpulkan  di  suatu tempat  (tidak  bisa  keluar  meskipun  bukan  penjara) dan  diminta  mufakat.  Hasilnya  100%  setuju  masuk Indonesia, dan Irian Jaya menjadi bagian Indonesia. Dunia  internasional,  PBB, termasuk  Amerika  dan  Autralia menerima  dan  mendukung  tindakan  Indonesia. Sejak  1969  status  Papua  sebagai  pro


[1] Riclefs M.C.2010.Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.Jakarta:Serambi. Hal. 448
[2] Max Lane dalam kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional di ruang ki Hajar 11 Desember 2012
[3] Djopari JRG.1993.Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka.Jakarta:Gramedia Widia Sarana. Hal. 30-31
[4] Ibid hal 35
[5] Ibid. hal 36
[6] Taufiq Adrianto, Tuhana.2001.Mengapa Papua Bergolak.Yogyakarta.Gama Global Media. Hal. 17-18
[7] Gazali Zulkifli dkk.1989.Sejarah Politik Indonesia.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 115-116
[8] Max Lane dalam kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional di ruang ki Hajar 11 Desember 2012
[9] DRG Djopari Hal. 38.

Posting Komentar