Posted on Selasa, 01 Oktober 2013 Malapetaka di Indonesia dan Dua Muka Amerika

Malapetaka di Indonesia dan Dua Muka Amerika
Oleh Dhani Kurniawan
Pembunuhan massal 1965-66, pembunuhan sampai sekarang ini dikecam juga oleh negara-negara Utara, tetapi siapa yang memasok senjata yang memungkinkan pembunuhan juga dari Utara. Bagaimana kita harus mengatakan ?
(Pramoedya Ananta Toer)

            Pemerintah Orde baru menaruh perhatian besar dalam pembentukan narasi sejarah. Pemerintah tidak segan-segan mendorong bahkan menseponsori berbagai penelitian sejarah. Pada masa ini juga jabatan menteri pendidikan pernah dipegang oleh seorang sejarawan namun juga seorang militer yaitu Nugroho Notosusanto. Sejarah menjadi pelajaran penting disekolah dan muncullah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Sayangnya semua itu ternyata lebih di sebabkan dorongan politis, legitimasi, dan pelanggengan rezim berkuasa. Jadilah sejarah Indonesia resmi sebagai sejarah versi pemenang yang menjadi penguasa.
            Salah satu narasi sejarah yang pada masa orde baru disakralkan namun sekarang menjadi kontroversial adalah seputar  kejadian 1 Oktober 1965. Versi pemerintah bahwa gerakan 30 September yang terjadi dini hari 1 Oktober 1965 di dalangi PKI dengan tujuan menggulingkan kekuasaan yang sah adalah harga mati. Demi mendukung versi tersebut banyak bukti dan fakta sejarah diinterpretasi, dikurangi, ditambah, bahkan diputarbalikkan. Keberhasilan rezim dalam memanipulasi sejarah dan menciptakan narasi versi mereka sendiri bisa dikatakan adalah salah satu prestasi terbesar Orde Baru. Selama rezim Soeharto hampir tidak ada suara yang berani menggugat narasi versi pemerintah. Kalau pun ada sedikit langsung dilibas dengan keras.
            Bagi mereka yang menjadi korban mungkin tidak sulit memahami alasan orde baru begitu keras mempertahankan versinya. Dibalik kesakralan narasi pengkhianatan G30S/PKI ada malapetaka yang benar-benar nyata tetapi sengaja dilenyapkan dari ingatan rakyat Indonesia. Pembantaian ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang komunis dan mereka yang dikomuniskan, belum lagi penderitaan mereka yang di penjara, kehilangan keluarga,harta benda, dan harga sebagai seorang manusia. Pemerintah memang sukses besar membangun narasi sejarah resmi, tetapi pemerintah tidak akan mampu menghapus ingatan jutaan orang yang menjadi korban.
            Pemerintah Orba dengan kekuasaannya memang sukses membungkam suara di dalam negeri tetapi di luar negeri suara dengan nada berbeda tak mampu dibungkam. Anehnya suara tersebut justru bergaung dari Amerika Serikat, sebuah negeri yang saya yakin sangat gembira dengan jatuhnya Sukarno dan hancurnya PKI.  Suara tersebut terwujud dalam Paper dengan judul tentang Gerakan 30 September dengan judul ”A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia” dan membuat pemerintah Indonesia berang. Betapa tidak dalam Paper yang pada 10 Januari 1966 rampung di susun oleh Ben Anderson, Ruth McVey dan Fred Bunell tersebut disimpulkan bahwa Gerakan 30 September bukanlah pemberontakan PKI melainkan konflik internal angkatan darat sangat bertolak belakang dengan versi pemerintah yang merujuk pada analisis Nugroho Notosusanto.
            Akibat dari munculnya Paper tersebut yang kemudian pada 1973 secara resmi terbit sebagai Cornell Paper sejumlah akademisi Cornell dicekal oleh pemerintah Indonesia. George McT. Kahin sebagai penggagas sekaligus pimpinan Cornell Modern Indonesia Project tak luput dari pencekalan. Kahin dicekal masuk Indonesia hingga 1991 bahkan di negaranya sendiri dia dituduh oleh Senator McCarthy, sebagai simpatisan komunis dan paspornya dicabut selama lima tahun.
            Peristiwa diatas menunjukkan bahwa di Amerika terjadi pembelahan sikap antara intelektual dan pemerintah. Berbeda dengan kasus di Indonesia dimana intelektual seiring dengan pemerintah karena intelektual yang tidak sejalan telah dilibas. Kasus Amerika menunjukkan bahwa meskipun tidak sejalan dan mendapat sanksi dari pemerintah intelektual tetap bisa menunjukkan sikapnya sendiri. Bukti lebih banyak bisa kita lihat nanti di mana di Amerika terus saja bermunculan karya-karya tentang Gerakan 30 September dengan cara pandang yang berbeda.
            Belakangan di Amerika muncul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia karya John Rossa yang diterbitkan oleh University of Wisconsin Press, Madison, Amerika Serikat pada 2006. Dari judulnya kita sudah mendapat sedikit gambaran akan seperti apa analisis John Rossa. Pada 2008 karya John Rossa tersebut diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Hebatnya setahun kemudian buku tersebut telah menjadi buku terlarang berdasarkan keputusan Kejaksaan Indonesia. Tentu mengherankan, sepuluh tahun setelah Soeharto lengser dan sikap penguasa masih seperti era Seoharto.
            Selain buku dari prakarsa intelektual Amerika juga muncul dua film menarik yaitu 40 Years of Silence besutan Robert Lemelson dan The Act of Killing besutan Joshua Oppenheimer. Kedua film tersebut menunjukkan sisi yang berbeda tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah peristiwa 1 Oktober 1965 di Jakarta. Sementara 40 Years of Silence mengambil sudut pandang korban kekerasan 1965-1966, The Act of Killing lebih menyoroti dari sisi pelaku kekerasan 1965-1966. Meski demikian kedua film tersebut menunjukkan sisi yang berbeda dari versi resmi pemerintah Orba.
            Munculnya versi-versi alternatif yang justru dari Amerika bagi saya juga patut dicermati. Apalagi jika menilik sejarah berdirinya kajian tentang Indonesia di Amerika yang sama dengan dengan politiknya terhadap Indonesia yang dulu tidak bisa dilepaskan dari kerangka perang dingin. Munculnya versi-versi alternatif dari para intelektual Amerika memang mununjukkan sisi humanisme Amerika dan tentu saja cocok dengan propaganda pemerintah Amerika yang selalu bangga sebagai garda terdepan pembela HAM. Padahal Amerika tentu sangat berkepentingan dan sangat mungkin terlibat dalam pembantaian massal 1965-1966. Bahkan menurut Adrian Vickers, CIA berperan dalam memberikan daftar calon korban kepada militer Indonesia. Tentu sangat mungkin ada peran lain seperti bantuan persenjataan misalnya. Maka apabila sekarang intelektual Amerika mengutuk pembantaian tersebut dan menyudutkan militer Indonesia dan pemerintah Orba lalu bagaimana sikap mereka terhadap pemerintah negara mereka sendiri ?
            Melihat dua muka Amerika dalam menyikapi pembantaian massal 1965-1966 saya terkesan dengan pendapat Pram yang pada awal tulisan ini saya kutip. Sekiranya saya tidak membaca tulisan Pram tersebut yang merupakan satu bagian dari pidato yang disampaikan pada  peluncuran  ulang Media  Kerja  Budaya,  14  Juli  1999  di  Aula  Perpustakaan  Nasional tersebut pasti saya sudah larut dalam kesilauan saya pada analisis para intelektual Amerika dan lupa bagaimana sikap serta peran pemerintah Amerika. Sekarang pertanyaannya adalah apakah silang sikap antara intelektual Amerika dengan Pemerintah Amerika tersebut terjadi lantara iklim kemerdekaan kaum intelektual yang baik atau memang di setting sedemikian rupa guna menunjukkan wajah Amerika yang Humanis dan menutupi wajahnya yang bengis ? Mungkin Cuma Tuhan dan Intelektual serta pemerintah Amerika yang tahu. Meskipun demikian bermuka dua memang bukan hal baru bagi Amerika terutama dalam politik luar negerinya.


Sleman-Madiun, awal Agustus 2013

Posted on Sabtu, 24 Agustus 2013 Cerita Sukarno Kepada Cindy Adams

Cerita Sukarno Kepada Cindy Adams
Oleh Dhani Kurniawan

Sukarno barangkali merupakan orang Indonesia yang paling terkenal di dunia. Namanya banyak di abadikan di berbagai negara, misalnya untuk menamai jalan, bangunan, bahkan  tanaman. Menyimak perjalanan hidupnya sebagai seorang yang punya banyak andil dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia namun harus menjalai akhir hidup yang tragis sebagai “yang terkalahkan” tentu sangat menarik. Salah satu biografi Sukarno yang paling menarik adalah yang ditulis oleh Cindy Adams yang diberi judul Sukarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Biografi ini mulai dari tercetusnya ide, penulis, sampai bisa terbit dan dibaca khalayak menyimpan kisah menarik dan tentu saja yang paling menarik adalah isi biografi itu sendiri karena saya rasa inilah biografi Sukarno yang paling manusiawi.
Sukarno sendiri dalam biografi tersebut mengatakan bahwa salah seorang yang mendorong ditulisnya biografi tersebut adalah Jones Howard yang pada waktu itu menjabat sebagai duta besar Amerika untuk Indonesia. Nampaknya saat itu Sukarno adalah sosok yang menyita perhatian pemerintah Amerika. Selanjutnya dipilihlah Cindy Adams, seorang wartawan Amerika yang pernah menjadi duta kebudayaan Amerika untuk Indonesia pada masa presiden Kenedy. Namun anehnya bahwa pada masa ditulisnya biografi tersebut justru hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Amerika sedang panas. Kondisi itu turut mempengaruhi pernyataan Sukarno dalam biografi tersebut. Sukarno dalam biografi tersebut banyak sekali berbicara kepada Amerika, menjelaskan sikapnya, dan menampik tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya serta menyampaikan harapan terciptanya hubungan yang lebih baik di masa mendatang.
Cindy Adams mwawancarai Sukarno di sela-sela kesibukannya sebagai presiden, dan dengan cerdas menuangkannya ke dalam tulisan. Maka seolah-olah biografi itu ditulis oleh Sukarno, bahkan kita bisa merasa seakan Sukarno berbicara langsung kepada kita. Mengapa yang mendapat tugas tersebut adalah Cindy Adams sebenarnya bukan suatu hal yang sulit ditebak. Sukarno adalah seorang pengagum kecantikan (jika kata playboy terlalu kasar dan tidak pantas), dia suka pada perempuan cantik, dan Cindy Adams sendiri adalah seorang yang cantik meski dia sudah bersuami. Alasan tersebut juga menjawab pertanyaan mengapa Sukarno rela menyisikan waktu berjam-jam di tengah kesibukannya sebagai presiden. Jika yang mewawancarai adalah seorang lelaki barangkali biografi tersebut tidak akan pernah selesai.
Mohammad Roem adalah orang yang awal, bahkan mungkin pertama kali mengomentari biografi tersebut lewat sebuah tulisan. Komentar tersebut yang oleh Roem disebut sebagai timbangan atas buku kemudian menjadi salah satu bagian dalam kumpulan tulisannya yang terbit dengan judul Bunga Rampai dari Sedjarah. Roem menyatakan bahwa cetakan biografi yang dibacanya adalah pinjaman dari Anak Agung  Gede Agung. Dikatakan pula bahwa Anak Agung Gede Agung mendapat cetakan tersebut dengan jalan “main selundup”. Pertanyaannya mengapa harus lewat selundupan ? Apa biografi tersebut dilarang terbit dan beredar di Indonesia ? Bukankah ini aneh. Saya sendiri belum menemukan jawaban yang pasti. Saya Cuma bisa menebak-nebak bahwa pada masa itu Sukarno telah menjadi “yang terkalahkan”. Kita perlu tahu bahwa setelah lengser dari jabatan presiden, Sukarno hidup dalam penjara rezim baru, rezim yang kemudian populer dengan sebutan Orde baru.
Jika cetakan biografi yang ada pada Mohammad Roem adalah cetakan luar negeri dan berbahasa Inggris (cetakan pertama dalam bahasa Indonesia tahun 1966) maka yang ada pada saya sudah berupa terjemahan dan merupakan terbitan dalam negeri. Saya meminjam milik ayah saya yang merupakan cetakan 1984 (cetakan ketiga dalam bahasa Indonesia). Pada halaman pengantar dikatakan bahwa cetakan ini tidak mengalami perubahan kecuali sekedar penyesuaian ejaan dengan EYD dan penambahan beberapa foto. Satu hal yang mengganjal hati saya adalah dituliskan bahwa penerjemah biografi tersebut adalah Abdul Bar Salim yang merupakan seorang Mayor, ditambah lagi dengan adanya sambutan dari Soeharto yang bertanggalkan 6 Juni 1966. Saya bertanya-tanya mengapa penerjemahnya adalah seorang militer ? Mengapa bukan seorang penerjemah profesional atau orang yang dekat dengan Sukarno. Meski demikian saya berkesimpulan bahwa biografi tersebut ada dalam genggaman rezim militer dan bukan tidak mungkin ada bagian biografi tersebut yang dipelesetkan atau disensor. Paska jatuhnya Soeharto sebenarnya biografi tersebut kembali diterbitkan, sayang saya belum membacanya sehingga tidak bisa membuat perbandingan.
Setelah membaca tinjauan buku yang ditulis Mohammad Roem saya tidak menemukan suatu yang mencolok yang berbeda dengan apa yang saya baca sendiri dari biografi terjemahan cetakan ketiga. Apa yang dibahas Roem mulai dari Sukarno yang mendramatisir kemiskinan, pengakuan tentang mistik, sampai Sukarno yang tidak peduli masuk surga atau neraka, terasa cocok dengan yang saya baca. Hanya ada satu yang mengganjal yang tidak dibahas oleh Roem. Justru iulah babak paling krusial dalam sejarah bangsa Indonesia dan sejarah Sukarno sendiri. Babak tersebut adalah detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada cetakan yang saya baca pada detik-detik jelang proklamasi Sukarno dengan angkuhnya berkata “Aku tidak memerlukannya…….” “Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada”. Saya begitu terkejut membacanya, mungkinkah Sukarno benar-benar berkata demikian kepada Cindy Adams yang kemudian menulisnya dalam biografi ? Bukankah sejak dibawa sekelompok pemuda ke Rengasdengklok sampai penulisan teks proklamasi Hatta punya peran besar. Sukarno tentu sangat tahu karena pada saat-saat gawat itu dia hampir selalu bersama dengan Hatta. Jika apa yang saya baca sama dengan yang dibaca Mohammad Roem apa mungkin dia tidak berkomentar melihat keegoisan Sukarno dan penghilangan peran Hatta dalam biografi tersebut ? Sekali lagi saya tidak tahu, barangkali bagi siapapun yang telah membaca biografi dalam cetakan yang sama dengan Mohammad Roem atau yang telah membaca cetakan terbaru setelah berakhirnya rezim orde baru bisa memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Bagian akhir dari biografi tersebut bagi saya terasa begitu mengharukan. Sukarno mulai berandai-andai tentang kematian, harapan tentang di mana dan bagaimana nanti dia dikebumikan. Namun manusia hanya bisa mengharap dan berusaha. Akhir hidup Sang Penyambung Lidah Rakyat tak seindah akhir biografinya. Sukarno di saat terakhir dari hidupnya telah menjadi yang dikalahkan total, dilucuti dari segala kekuasaannya, dijauhkan dari semua yang berbau politik, dan barangkali yang paling menyiksanya adalah di jauhkan dari rakyat.


Yogyakarta, Juni-Juli 2013

Posted on Selasa, 25 Juni 2013 Bahasa Bangsa Merdeka

Bahasa Bangsa Merdeka
Oleh Dhani Kurniawan

Suatu hari budayawan  Taufik Ismail dengan khusuk duduk selama dua jam di depan tv. Dia perhatikan, dia catat nama-nama program acara televisi, kemudian lahirlah sebuah puisi berjudul “Bebas dari penjajahan bahasa Belanda kita masuk ke dalam penjajahan bahasa Amerika”. Puisi tersebut mengkritik stasiun tv yang program acaranya yang namanya cenderung menggunakan bahasa Amerika (bahasa Inggris). Padahal sebenarnya bisa saja jika program-program acara tersebut bisa saja menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa asing pada program acara tv nampaknya memang bisa mengangkat ranting, terkesan cerdas, intelek, dan gagah. Tanpa disadari yang sebenarnya terjadi adalah penjajahan bahasa. Indonesia sebagai bangsa yang merdeka telah memiliki bahasa sendiri dan bahasa Indonesia seharusnya bisa menjadi tuan di negerinya, malah kalau perlu kita jadikan bahasa Indonesia bahasa dunia. Stasiun tv seharusnya turut menjadi pihak yang bertanggungjawab atas pendidikan di negeri ini. Namun kenyataannya menurut Taufik Ismail, orientasi materi dan sistem ekonomi kapitalis di Indonesia telah menjadikan stasiun tv tidak peduli pada pendidikan terutama pembinaan bahasa Indonesia.
Dukungan Akademisi
            Kerisaun Taufik Ismail tentang terjadinya penjajahan bahasa memang bukan isapan jempol belaka. Menjamurnya penggunaan bahasa asing terjadi bukan hanya terjadi pada acara-acara di stasiun tv. Perguruan tinggi yang merupakan lembaga pendidikan formal tertinggi dan temapt berkumpulnya manusia-manusia cerdas tidak luput dari gejala penjajahan bahasa. Lihat saja tulisan-tulisan yang terpampang di lingkungan kampus yang semakin banyak jika ditulis dalam bahasa Indonesia maka akan selalu diikuti dengn terjemahannya dalam bahasa Inggris, Tak jarang tulisan yang dalam bahasa asing justru lebih besar daripada yang berbahasa Indonesia. Parahnya bahkan sampai nama perguruan tinggi itu sendiri “diInggriskan”. Paradigma berpikir para pengambil kebijakan di perguruan tinggi bisa dikatakan sebagai pola pikir yang terjajah. Mereka masih terjebak dalam pola pikir bahwa penggunaan bahasa asing akan mengangkat prestise, terkesan mentereng dan bertaraf internasional. Mereka bangga menjadi bagian dari agen penjajah bahasa.
            Lebih jauh lagi kalau kita mau melihat karya-karya ilmiah yang lahir di pergurun tinggi di negeri ini maka lebih gawat lagi keadaannya. Karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa Indonesia telah bertaburan bahkan dibanjiri dengan istilah dalam bahasa asing. Penggunaan istilah asing sebenarnya adalah ketika kita tidak menenukan kosa kata dalam bahasa Indonesia yang bisa mewakili apa yang ingin kita sampaikan. Namun apabila penggunaan istilah asing terjadi karena kemalasan kita mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia apalagi jika hanya sebagai citra maka bencana yang terjadi. Menjamurnya istilah asing terutama Inggris dalam karya ilmiah sebenarnya menunjukkan bahwa perkembangan pengetahuan di negeri ini hanya mengekor dunia barat. Kita tidak menemukan apa-apa dan hanya mengikuti saja apa-apa yang ditemukan peneliti asing. Kemungkinan kedua adalah berarti bahasa Indonesia adalah bahasa yang miskin kosakata, bahasa yang tidak berkembang sehingga tidak mampu menjelaskan banyak hal yang bisa dijelaskan dengan bahasa asing.
Tidak Harus Asing
            Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menyatakan bahwa salah satu alasan MK mengabulkan gugatan terhadap RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) adalah penggunaan bahasa. Pembelajaran di RSBI selama ini dilaksanakan dalam dua bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Namun dalam perkembangannya penggunaan bahasa Inggris yang lebih ditekankan. Menguasai bahasa Inggris memang suatu keharusan di era global namun Mahfud tidak setuju bahwa standar internasional sama dengan menggunakan bahasa Inggris dalam pembelajaran.
            Pendidikan Indonesia jika memang ingin meningkatkan kualitasnya dan berharap bisa sejajar dengan negara maju tidak bisa dengan mengekor begitu saja. Indonesia tidak bisa hanya mengiri pada hasil tanpa melihat proses. Selain itu karakteristik Indonesia juga membuat kebijakan yang berhasil di negara maju tidak bisa begitu saja di terapkan di sini, Akan lebih baik jika kita merumuskan jalan berdasarkan realita dan pemikiran yang tumbuh dan berakar di Indonesia sendiri. Bukankah sejarah telah mencatat sejumlah tokoh pendidikan Indonesia dengan pemikirannya yang khas. Jadi kita tidak perlu sedikit-sedikit import dari negara lain.
Bahasa Bangsa Berdaulat
            Menurut Syafei Maarif kemerdekaan tidak berarti tanpa kedaulatan. Kedaulatan adalah harga diri dan martabat bangsa. Bung Karno menyatakan bahwa berdaulat tidak cukup hanya dalam politik tetapi juga dalam ekonomi dan kebudayaan. Maka dari itu bahasa Indonesia sebagai hasil kebudayaan nasional haruslah berdaulat dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Bahkan seharusnya bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa dunia mengingat jumlah penggunanya yang sangat besar. Jangan kita pertahankan mental inlander yang justru banggga dengan keterjajahannya. Buktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang layak merdeka dengan kedaulatan penuh lewat kemerdekaan dan kedaulatan berbahasa Indonesia.
           




Posted on Rabu, 08 Mei 2013 Awas Polantas


Awas  Ada Polantas

Polisi sejatinya merupakan alat negara yang bertugas mengayomi masyarakat khususnya di bidang keamanan dan pertahanan. Untuk menjalankan tugasnya polisi memiliki satuan tugas satuan tugas dengan spesialisasi masing-masing. Polisis lalu lintas atau polantas adalah polisi yang tugasnya terkait keamanan dan ketertiban berlalu lintas. Belum lama ini kita disuguhi oleh pemberitaan negatif tentang seorang petinggi di satuan lalu linats kepolisian republik Indonesia tentang aset-asetnya yang luar biasa dan diduga hasil korupsi. Pemberitaan tersebut mengingatkan saya pada pengalaman saya sendiri belum lama ini dengan polisi lalu lintas.
Polantas, Kenek Bus, dan Penjaga Warung
Hari itu Sabtu 23 Februari sekitar jam 10.00 wib saya mengendarai motor dari dari rumah saya di Madiun Selatan ke arah Madiun kota. Tiba-tiba di tengah perjalanan saya sadar bahwa saya tidak membawa STNK. Saya tetap melanjutkan perjalanan dan berharap tidak bertemu dengan Polantas yang sedang melakukan operasi. Sudah menjadi rahasia umum jika terkena tilang dan harus berurusan dengan polisi pasti harus mengeluarkan uang. Celakanya apa yang saya takutkan malah muncul di hadapan saya. Saya melihat di depan ada polantas sedang melaksanakan operasi pepemriksaan kelengkapan dan surat-surat kendaraan bermotor.
Saya gugup dan melambatkan laju kendaraan dan berpikir bagaimana saya bisa lolos. Anehnya tiba-tiba kenek bus yang melaju dari arah belakang saya berteriak “mampir warung ae”. Gugup, heran, dan kaget bercampur, saya memeperhatikan ke sekeliling dan melihat di seberang jalan ada beberapa warung. Sontak saya langsung menyeberang jalan dan berniat mampir ke warung sebagaimana dianjurkan oleh sang kenek bus. Harapan saya bisa pura-pura menjadi pembeli di warung dan lolos dari Polantas. Sampai di depan warung belum sempat mematikan mesin sepeda motor di depan warung aeorang ibu-ibu berkata ”kono mas lewat mburi” lalu seorang bapak-bapak yang ada didekatnya menambahi “cepet selak diparani polisi. Agak bingung saya mengangguk-angguk “injih” sambil mengarah ke belakang lewat samping warung, masih dengan mengendarai sepeda motor saya. Setelah sampai di belakang warung saya melihat ada jalan yang mengarah ke jalan lain sehingga saya lolos dari Polantas.
Lewat jalan pedesaan saya berbalik arah kembali ke rumah untuk mengambil STNK. Sepanjang jalan saya berpikir dan keheranan, mengapa orang-orang di sekitar saya sadar dan tanggap bahwa saya sedang berusaha menghindari polisi ? Saya juga heran mengapa mereka semua yang tidak kenal saya bahkan mungkin baru pertama kali bertemu mau menolong saya.
Sampai rumah saya mengambil STNK dan kembali mengendarai sepeda motor lewat jalan yang sama dengan jalan saya hampir tertangkap Polantas. Anehnya kali ini meskipun mengendarai motor dengan pelan saya tidak diminta berhenti untuk di cek kelengkapan surat untuk berkendara. Padahal setelah itu saya melihat orang lain diminta untuk berhenti. Saya berpikir barangkali Polisi tahu mana orang yang gugup karena kurang kelengkapan kendaraan dan surat-suratnya dan mana orang yang tenang karena kendaraan, helm, surat-surat serta semua kelengkapan telah dibawa atau dikenakan. Sepertnia polisi tidak mau capek-capek memeriksa orang yang tidak akan memberi apapun padanya. Itu juga sudah rahasia umum.
Biasanya dalam operasi yang dilakuakn Polantas di jalan raya ada dua pihak yang kebal hukum, pertama oknum polisi dan kedua oknum tentara. Alasannya jelas pertama polisis tidak akan menangkap rekannya sendiri, dan polisi tidak mau berurusan dengan militer yang biasanya tidak mau disalahkan jika berurusan dengn polisi, meskipun sebenrnya dia memang salah. Beberapa kasus telah menunjukkan bahwa militer tidak pernah mau mengalah dengan polisis dan berujung pada bentrokan fisik. Masalah tersebut sebenarnya berawal dari kecemburuan militer terhadap kewenangan besar yang dimiliki kepolisisna juga faktor ekonomi dimana polisi mendapat “lahan basah” sedangkan militer biasanya mendapat “lahan kering”. Maka jangan heran jika gesekan antara militer dan polisi akan terus terjadi lagi.
PR Untuk Polisi
Kembali pada orang-orang yang spontan menolong saya meskipun tak saling kenal. Setelah berpikir lebih mendalam saya mengambil kesimpulan bahwa Polantas oleh masyarakat telah dianggap “musuh bersama”. Masyarakat nampaknya telah memiliki pengalaman kolektif tentang buruknya kelakuan oknum Polantas. Fenomena ini seharusnya disadari oleh kepolisisan. Tentu tugas dan kewajiban dari Polisi tidak akan terlaksana jika tidak ada dukungan dari masyarakat. Selain itu apa jadinya jika aparat yang harusnya menjadi pengayom dan pelindung malah menjadi musuh dan membawa keresahan.

Posted on Minggu, 17 Maret 2013 Pram dan Tetralogi Buru


Pram dan Tetralogi Buru
Oleh Dhani Kurniawan
“Aku ingin menulis sebuah roman besar dalam hidupku, dan setiap pengarang bercita-cita menghasilkan karya abadi, dibaca sepanjang abad, dan lebih baik lagi: dibaca oleh umat manusia di seluruh dunia di sepanjang jaman”
(Pramodya Ananta Toer)
Pram atau lengkapnya Pramoedya Ananta Toer, siapa kenal seorang ini ? Jujur saya sendiri seumur hidup mulai bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi tak pernah sekalipun menemukan namanya dalam buku-buku bahan ajar. Para guru dan dosen saya juga tak seorang pun pernah menyebut apalagi memeprkenalkan nama ini. Kalau pun ada satu orang dosen yang menyebut nama Pram bahkan mengaguminya justru dia adalah seorang dosen tamu dari Australia. Max Lane (nama dosen tamu tersebut) memberikan pernyataan mencengangkan ketika ditanya siapa sejarawan Indonesia yang paling dikaguminya. Pramoedya Ananta Toer, itulah jawabannya. Saya tentu bingung bagaimana mungkin seorang sejarawan besar yang dikagumi diluar negeri tidak dikenal di negerinya sendiri ? Tapi itulah kenyataan.
Perkenalan saya dengan Pram bisa dikatakan sebagai perkenalan yang tidak pernah terduga. Pertama kali saya dengar tentang Pram, adalah saat kejadian yang sempat saya singgung di atas. Kejadian tersebut adalah saat saya mengikuti kuliah dengan dosen tamu dari Victoria University, Max Lane begitu sang dosen akrab di sapa. Pada kuliah tersebut dia menyatakan bahwa Pram adalah sejarawan Indonesia yang paling dia kagumi. Waktu itu saya sama sekali tidak tahu siapa itu Pram. Bahkan mungkin itulah pertama kali saya dengar namanya. Meskipun terkejut, tidak serta merta saya mencari tahu siapa itu Pram dan apa sumbangannya bagi penulisan sejarah Indonesia. Aneh, kebetulan secara tidak sengaja tidak berselang lama saya tak sengaja menonton sebuah acara di stasion tv swasta (tv One dalam sebuah program yang mengupas tentang tokoh penting di Indonesia), dan yang menjadi pembahasan di acara tersebut adalah Pram. Perkenalan saya berlanjut, ada seorang senior saya sedang menbaca sebuah karangan Pram, tetapi saya masih saja pasif. Perkenalan lebih mendlan terjadi ketika saya entah dengan dorongan apa membeli kemudian membaca salah satu roman karangannya yaitu Anak Semua Bangsa.
Perlahan saya mulai mengenal Pram dan tahu menangapa saya tidak mengnalnya lewat buku-buku bahan ajar atau guru/dosen saya. Rezim Orde Baru tidak rela jika rakyat terutama generasi muda Indonesia kenal Pram. Buku-bukunya dilarang terbit, naskah-naskahnya dibakar,  Pram sendiri dijadikan tahanan politik, menjadi orang buangan, diasingkan di Pulau Buru. Bahkan pernah terjadi di Yogyakarta mahasiswa dipenjara hanya karena menjual, membaca buku karangan Pram. Alasannya ? Persangkutan Pram dengan Komunis, dituduh Komunis, PKI. Karyanya akan meracuni setiap yang membaca. Padahal jika kita mau lebih membuka mata, Pram tidak pernah menyatakan bahwa dia seorang komunis. Apa karena dia salah satu petinggi LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat, sebuah lembaga kebudayaan yang beranggotakan orang-orang komunis dan non komunis) lantas dapat dikatakan pasti komunis ? Bahkan apabila LEKRA menolak dikatakan Komunis ?
Buru tempat Pram dan para tahanan politik lain dibuang adalah sebuah pulau dalam rangkaian kepulauan Maluku. Tulisan yang mampu memberi gambara kehidupan para tapol di pulau tersebut adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kumpulan catatatan Pram yang berhasil diselamatkan dan dibukukan. Pada saat kedatangan para tapol Buru masih dalam keadaan yang cukup tertinggal. Penduduk setempat belum mengenal pertanian sebagaimana di Jawa dan hidup semi nomaden. Para tapol ditugasi kerja paksa paksa untuk membangun pulau Buru. Membabat lahan savana dan hutan masih muda untuk dibangun sebagai pemukiman, jalan, dan pertanian.  Tanah yang tidak subur keterbatasan peralatan dan pengetahuan tentang pertanian membuat tugas tersebut menjadi sangat berat. Bahkan pernah suatu ketika para tapol harus membuka lahan alang-alang gersang dengan tangan telanjang, hasilnya tangan mereka berdarah-darah. Kebutuhan hidup sebagai tahanan seharusnya ditanggung oleh negara tetapi kenyataannya menggantungkan diri pada jatah yang diberikan negara sama menyerahkan diri pada kematian perlahan. Para tapol harus berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri dengan pertanian dan peternakan yang diusahakan sendiri, terkadang secara sembunyi-sembunyi. Keadaan yang sangat terbatas dengan beban kerja paksa yang berat masih diperparah lagi dengan munculnya pungutan yang masuk kantong pribadi para oknum militer yang bertugas di pulau tersebut.
Segala keterbatasan, tantangan dan hambatan tidak mampu menghentikan Pram dari keinginannya untuk menulis. Justru dalam keadaan tersebut lahirlah salah satu karya monumentalnya yaitu Tetralogi Buru. Meski demikian Pram sempat mengalami masa-masa dimana dia kehilangan kepercayaan diri akan kemapuannya menulis. Sangat dimaklumi apa yang dirasakan oleh Pram, mengingat segala rintangan dan keterbatasan yang menerpanya. Tetralogi Buru terdiri dari empat roman (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) yang mengisahkan periode kebangkitan nasional bangsa Indonesia, karena terdiri dari empat roman dan terlahir di pulau Buru maka karya tersebut populer disebut Tetralogi Buru. Keinginan untuk menulis roman tentang periode kebangkitan sebenarnya sudah lama dicita-citakan oleh Pram. Dia bahkan telah melakukan serangkain riset dan persiapan yang panjang dan memakan biaya besar guna mewujudkan impiannya tersebut. Takdir tak bisa ditolak, semua hasil jerih payahnya musnah dan Pram sendiri masuk tahanan. Semua arsip, buku, miliknya dan beberapa koleksi yang dipinjamnya dari perpustakaan nasional hancur, dirmapas, hilang entah kemana, bahkan rumahnya diduduki militer, beruntung keluarganya selamat. Itu semua terjadi pada 1965 karena sebuah peristiwa yang sama sekali Pram sendiri tidak tahu menahu.
Segala keterbatasan dan hambata yang dialami di pulau Buru membuat Pram sendiri tidak puas denga karya yang dihasilkanannya. Kekurangan sumber membuatnya disergap ketakuatan dituduh memalsukan sejarah. Menurut Hilmar Farid dari Institut Sejarah Sosial Indneisa ketakutan itulah yang membuat Pram memilih format roman untuk karyanya. Keempar roman tersebut sebenarnya merupakan hasil yang tidak diharapkan dari keinginana Pram untuk menulis Historiografi. Saya sependapat jika kekurangan sumber menyebabakan Pram khawatir dituduh memalsukan sejarah tetapi saya kurang setuju jika dikatakan pemilihan format berupa roman merupakan akibat dari kekhawatiran tersebut. Pendapat saya ini berpijak pada apa yang diungkapkan oleh Pram sendiri.
“Aku ingin menulis sebuah roman besar dalam hidupku, dan setiap pengarang bercita-cita menghasilkan karya abadi, dibaca sepanjang abad, dan lebih baik lagi: dibaca oleh umat manusia di seluruh dunia di sepanjang jaman.[1]
Memang persiapan untuk ini telah lama kulakuakn sebelum 1965 dengan menghimpun bahan otentik, wawancara, membaca, menyiarkan bahan-bahan yang didapat itu sedikit demi sedikit melalui pers untuk mendapat perbaikan dan tambahan, dan semuanya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit[2]

            Pram memang tidak pernah mengaku sebagai sejarawan. Setiap karyanya juga tidak dikalim sebagai historigrafi, dia lebih suka menyebut dirinya pengarang. Pram juga tidak pernah terlibat dalam perdebatan dengan sejarawan profesional, tidak pernah terlibat dalam seminar mengenai sejarah nasional, dia bekerja dengan caranya sendiri. Meski demikian patut diperhatikan bahwa cara kerja Pram adalah cara kerja sejarawan. Dia telah melakukan tahapan-tahapan yang disayaratkan untuk menysusn sebuah historiografi. Pada akhirnya terserah orang mau menggelari Pram sejarawan, pengarang, atau seniman, dan mengatakan karyanya sastra atau historiografi yang jelas cita-citanya telah tercapai. Menulis roman besar yang dibaca sepanjang zaman oleh manusia di seluruh dunia. Tetralogi Buru telah diterjemahkan dan diterbitkan diberbagai negara di seluruh belahan dunia.


[1] Anata Toer, Pramoedya.2000.Nyanyi Sunyi Eorang Bisu._:Hasta Mitra. Hal. 118
[2] Ibid. 119

Posted on Rabu, 06 Maret 2013 Trikora


Selayang Pandang Trikora dan Papua
oleh Dhani Kurniawan
Belanda pada 29 Desember 1945 resmi mengakui kemerdekaan Indonesia ditandai dengan penyerahan kedaulatan. Wilayah yang diakui sebagai bagian dari Indonesia adalah seluruh bekas jajahan Belanda dulu minus Papua.[1] Indonesia telah menetapkan bahwa seluruh wilayah bekas jajahan Belanda di Hindia adalah wilayahnya sementara itu Belanda enggan melepas Papua. Pada tahun 1950an di Indonesia terjadi kampanye besar-besaran menuntut diserahkannya Papua kepada Indonesia. Kampanye merupakan bagian dari kampanye besar yang mengkehendaki pengambilalihan perusahaan Belanda oleh serikat buruh. Perkembangan selanjutnya menunjukkan kampanye tentang Papua mendapat banyak dukungan baik dari rakyat mauppun pemerintah Indonesia.[2]
Belanda semenjak kalahnya kekuatan Jepang di Papua dalam usahanya mencegah Papua masuk menajdi bagian Indonesia telah berusaha menanamkan pengaruhnya. Pada tahun 1944 Resident J.P. van Eechoud yang terkenal dengan nama “vader der Papoea’s” (bapak orang Papua) mendirikan sekolah polisi dan sekolah pamongpraja di Holandia (Jayapura sekarang). Pendirian sekolah ini bukan semata-mata untuk mencerdsakan rakyat Papua namun lebih kepada usaha membetuk kelompok terdidik yang pro Belanda. Meski demikian ketika berita proklamasi 17 Agustus sampai di Papua ada sebagian dari kelompok terdidik tersebut yang pro Indonesia. Terbukti pada  1946 di Serui, Silas Papare dan sejumlah pengikutnya berhasil mendirikan organisasi politik pro Indonesia bernama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian. Nama Irian untuk menunjuk Papua muncul pada konferensi Malino pada tanggal 1946 yang dipimpin oleh Van Mook.[3] Belanda tidak menggunakan Irian dan lebih memilih menggunakan Papua atau Gueinea karena nama Irian telah digunakan oleh pihak Indonesia.
Sengketa yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mendorong menteri luar negeri Belanda Dr. Joseph Luns pada 28 November 1961 mengajukan masalah tersebut ke dalam sidang PBB. Dia mengajukan pemecahan masalah dengan sebuah rencana yang terdiri dari emapt pasal. Isi keempat pasal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama harus ada jaminan tentang adanya suatu undang-undang penentuan nasib bagi orang Papua/Irian. Kedua, harus ada kesediaan sampai terbentuknya pemerintah dengan persetujuan internasional. Ketiga, sehubungan dengan kesediaan tersebut juga akan diberikan kedaulatan. Keempat, Belanda akan terus membiayai perkembangan masyarakat. Ke taraf yang lebih tinggi.[4]
           
Sebelum Dr. Joseph Luns mengajukan masalah tersebut kepada PBB di Irian sendiri terjadi sebuah peristiwa yang dikemudian hari menimbulkan kontroversi. Pada tanggal 1 November 1961 bendera nasional Papua (Bintang Kejora) dikibarkan sejajar atau bersamaan dengan bendera Belanda dan pada saat itu dinyanyikan lagu kebangsaan Papua. Kegiatan ini tersiar cepat ke seluruh wilayah Papua yang terjangkau aparata Belanda dan ke dunia luar.[5] Peritiwa ini dikemudian hari oleh sebagian kelompok di Papua diklaim sebagai hari kemerdekaan dan menjadi dalih perjuangan merdeka lepas dari Indonesia.
Indonesia menjawab tindakan provokatif Belanda dengan mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA). TRIKORA dicetuskan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isi TRIKORA adalah sebagai berikut.
1.      Gagalkan pembentukan “Negara Papua” buatan Belanda kolonial
2.      Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3.      Bersiaplah untuk mobilisasi umum[6]
Tindakan Indonesia terkait masalah Irian tidak lepas dari politik luar negeri yang dijalankan saat itu yang anti kolonialsme dan imperialisme. Perlu juga untuk diingat bahwa dunia saat itu sedang dilanda perang dingin dimana dua kekuatan besar sedang bertarung dan hampir pasti ikut campur dalam konflik di berbagai belahan dunia. Indonesai yang pada awalnya menyatakn sikap Non Blok atau tidak memihak dalam perkembangannya sulit mempertahankan posisi netralnya. Indonesia pada kenyataannya berusaha mencari dukungan baik kepada Amerika Serikat maupun Sovjet.[7] Pada awalnya Indonesia memang berhasil memainkan peranan unik dimana karena berhasil mendapat dukungan Amerika maupun Sovjet namun kondisi tersebut tidak bertahan lama.
Diplomat  Amerika  Elsworth  Bunker mengajukan  Bunker  Plan  sebagai  pemecahan masalah  Papua.  Bunker  Plan  merupakan  sebuah rencana  dimana  Papua  harus  diserahkan  kepada PBB  baru  kepada  Indonesia.  Setelah  dibawah naungan  Indonesia  Papua  harus  diberi  kesempatan untuk  referendum.  Selanjutnya  pada  15  Agustus 1962  Indonesia,  Belanda  dan  PBB menandatangani New York Agrement Perjanjian Newyork). Mulai saat itu  juga  Paua  berpindah  menjadi  wewenang  PBB selanjutnya pada 1 Mei 1963 berpindah tangan dari PBB ke  Indonesia.[8]
Pada pasal XVII Perjanjian Newyork diatur secara rinci tentang pelaksanaan sebuah penentuan nasib sendiri (Act of Free Choice). Pasal tersebut berisi empat butir sebagai berikut.
1.            Konsultasi atau musyawarah dengan sembilan dewan perwakilan mengenai prosedur dan cara-cara untuk mengetahui kebebasan kehendak rakyat.
2.            Dalam jangka waktu ditetapkan oleh persetujuan tersebut, ditentukanlah tanggal yang pasti untuk pelaksanakan Act of Free Choice.
3.            Suatu formulasi yang jelas sehingga penduduk dapat menentukan apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia.
4.            Suatu jaminan bagi semua penduduk pribumi untuk ikut memilih dalam rangka penentuan nasib sendiri yang akan dilakuakn sesuai praktek internasional.[9]
Terjadi  arus  balik  dalam  perpolitikan Indonesia  pada  tahun  1965.  Urusan  Papua
menjadi  proyek  OPSUS  dengan  pemimpinnya jenderal  Ali  Moertopo.  Antara  Juli  sampai Agustus  1969  dilaksanakan  Act  of  Free  Choice. Apa  yang  terjadi  bukanlah  referendum,  1025  orang yang  dipilih  oleh  OPSUS  dikumpulkan  di  suatu tempat  (tidak  bisa  keluar  meskipun  bukan  penjara) dan  diminta  mufakat.  Hasilnya  100%  setuju  masuk Indonesia, dan Irian Jaya menjadi bagian Indonesia. Dunia  internasional,  PBB, termasuk  Amerika  dan  Autralia menerima  dan  mendukung  tindakan  Indonesia. Sejak  1969  status  Papua  sebagai  pro


[1] Riclefs M.C.2010.Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.Jakarta:Serambi. Hal. 448
[2] Max Lane dalam kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional di ruang ki Hajar 11 Desember 2012
[3] Djopari JRG.1993.Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka.Jakarta:Gramedia Widia Sarana. Hal. 30-31
[4] Ibid hal 35
[5] Ibid. hal 36
[6] Taufiq Adrianto, Tuhana.2001.Mengapa Papua Bergolak.Yogyakarta.Gama Global Media. Hal. 17-18
[7] Gazali Zulkifli dkk.1989.Sejarah Politik Indonesia.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 115-116
[8] Max Lane dalam kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional di ruang ki Hajar 11 Desember 2012
[9] DRG Djopari Hal. 38.

Posted on Minggu, 24 Februari 2013 Malam Satu Suro


Malam Satu Suro
Oleh Dhani Kurniawan

Dulu ada seorang filsuf ternama yang terkenal dengan pernyataannya “Aku berpikir maka aku ada.” Kalau tidak salah namanya Rene Deschartes. Pernyataan tersebut adalah hasil proses filsafat yang luar biasa untuk ukuran zamannya, tetapi sekarang jauh ribuan tahun setelah pernyataan itu dibuat berpikir saja tidaklah cukup. Sebuah pernyataan baru yang lahir atas pernyataan tersebut sebagai penyempurna “adalah tidak cukup berpikir untuk membuktikan keberadaan seseorang tapi orang tersebut harus menuangkan pikirannya dalam tulisan”. Sejarah telah membuktikan keberadaan seseorang atau bahkan sebuah peradaban besar dapat kita ketahui secara lebih baik jika ia meninggalkan warisan berupa tulisan. Tulisan itulah yang mengabarkan kepada kita apa saja yang telah mereka capai dan ide-ide yang bisa kita kembangkan. Begitulah kira-kira yang saya dapat dari Prof. Dr. Ajat Sudrajat M.Ag. dekan fakultas ilmu sosial sekaligus dosen dalam kuliah filsafat sejarah. Selain itu sebenarnya ada lebih banyak lagi yang mendorong saya untuk menulis hanya saja kebetulan kali ini yang saya ingat adalah dari Pak Dekan.
Apa yang saya tulis di atas adalah pengantar sekaligus penyemangat dari tulisan saya sebenarnya yang akan lebih berkisah pada pengalaman pibadi. Ini tentang pengalaman mudik. Ya tentang mudik barangkali merupakan pengalaman semua orang yang pernah menjadi perantau di Indonesia. Indonesia adalah sebuah negeri yang unik. Orang Indonesia jika merantau keluar dari tanah kelahirannya pasti akan berusaha sesekali menengok kampung halamannya, terutama jika mereka sukses di perantauan. Sebenarnya yang menjadikannya sensasional adalah ada waktu-waktu tertentu di mana orang cenderung untuk mudik. Sehingga terjadilah mudik musiman yang bisanya terjadi sekitar hari besar keagamaan terutama Islam. Mengapa Islam, jawabannya sederhana, karena sebgian besar orang Indonesia adalah muslim, setidaknya begitu dalam KTPnya tertulis. Mudik saya kali ini juga keetulan berkaitan dengan libur hari besar Islam, yaitu peringatan tahun baru Islam.
Tahun baru Islam punya makna tersendiri khususnya bagi orang Jawa. Menurut tradisi Jawa tahun baru Islam juga bertepatan dengan tahun baru penanggalan Jawa. Adalah Sultan Agung yang pertama mengubah penaggalan Jawa sehingga hitungganya bertepatan dengan penanggalan Islam atau hijriyah. Perubahan tersebut selain untuk lebih membumikan ajaran Islam di Jawa, menurut pendapat sebagian orang adalah terkait kepentingan Sultan Agung sebagai penguasa sebagian besar pulau Jawa kala itu. Malam satu Muharram atau malam satu Suro menurut perhitungan Jawa bagi sebgian orang adalah malam keramat, bulan Suro selama sebulan penuh juga dianggapnya keramat. Padahal dalam ajaran Islam bulan Suroadalah bulan yang baik.
Terlepas dari bagaimana orang memaknai malam satu Suro, yang jelas pada malam itulah aku mudik. Malam itu malam Kamis, malam 1 Muharram 1434 H, bertepatan dengan malam 1 Suro, tetapi untuk hitungan tahu Jawa aku tidak tahu sudah sampai tahun berapa. Saya biasa mudik sebulan sekali untuk melepas kangen dengan keluarga dan sekaligus mengambil jatah uang saku saya sebagai seorang mahasiswa yang masih menggantungkan diri pada pemberian orang tua. Selain itu orang tua saya juga meminta saya pulang jika ada keperluan khusus atau kebetulan ada libur panjang. Libur panjanglah yang sebenarnya menjadi alasan saya mudik kali ini. Libur empar hari, mulai Kamis, sampai Minggu, ya lumayan untuk sekedar melepas lelah dengan rutinitas kehidupan sebagai mahasiswa. Walau di rumah sebenarnya sering yang saya lakukan hanya menonton tv, membaca, dan membantu orang tua sekedarya. Berkumpul dengan keluarga dan menikmati kedamaian rumah sendiri adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa.
Hari itu, sore sekitar setengah empat saya menati bus di jalan yang sama setiap kali saya mudik, di jalan Gejayan. Bus yang saya nanti juga sama, bus jalur 7, ya tentunya dengan sopir dan armada bus yang berbeda-beda. Kali ini penantian saya berlangsung lebih lama dari biasanya. Barangkali sudah hampir setengah jam saya menunggu. Bus yang saya nanti memang lewat jalan itu tapi kali ini saya tidak bisa naik, sudah terlalu penuh dengan penumpang.Entah apa yang seenanrya terjadi, karena penumpang yang terlalu banyak atau armada bus yang terlalu sedikit, atau keduanya. Setelah hampir putus asa menanti akhirnya saya menumpang bus yang tidak biasanya, bukan jalur 7.  Saya berharap bus itu bisa mengantarkan saya ke terminal. Tetapi aneh, bus itu mengambil jalan yang sepertinya tidak mengarah ke terminal, dan saya karena sudah terlalu lelah menunggu, hanya berharap bus itu berakhir di terminal Giwangan.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan jalan yang memang tidak mengarah ke terminal Giwangan, sial, memang bukan di Giwangan bus ini berhenti. Saya kemudian ertanya pada sopir bus tersebut, bagaimana saya bisa ke Giwangan, dan jawabannya tak begitu jelas, dia hanya bilang agar menari bus di luar. Bingung mau bagaimana saya bisa sampai ke Giwangan akhirnya kupuskan naik Trans Jogja. Setidaknya aku yakin dengan moda transportasi itu aku bisa sampai ke Giwangan. Setelah bertanya ke petugas memang aku bisa sampai Giwangan tetapi harus oper bus nantinya. Aku tahu perjalanan pasti akan lama, kaeran biasanya bus Trans Jogja selalu mengabil jalan yang memutar-mutar. Ya tak apalah, kukira tak ada jalan yang lebih baik.
Naik bus Trans Jogja dari Jombor ke Giwangan tak bisa satu bus, nanti harus transit dan ganti bus dari jalur 2a ke 3a. Ah benar-benar perjalanan yang panjang. Aku berusaha sedikit emnghibur diri dengan menengok ke luar melihat pemandangan lewat jendela kaca yang tak bisa di buka. Pemandangan kota Jogja, sebuah kota yang sudah cukup terkenal dengan berbagai macam julukan atau gelar. Sebuah kota yang menghadirkan kenangan tersendiri bagi setiap orang yang mengunggujinginya dan begitu juga aku. Tapi tentang cinta jangan tanya, tentang yang satu itu aku belum punya kenangan di kota ini. Masih dalam perjalanan dengan bus yang penuh sayup-sayup terdengar panggilan Tuhan. Adzan magrib telah berkumandang, seruan untuk beriadah, sekaligus tanda matahari telah terbenam. Aku masih dalam bus yang sama ketika kemudian ibuku menelpon. Entah nanti jam berapa aku sampai Madiun, kampung halamanku.
 Perjalanan mengelilingi kota Jogja berakhir di terminal Giwangan, tapi perjalananku baru dimulai. Aku langsung menuju ke tempat biasa mangkal bus jurusan Surabaya. Ketika aku sampai di tempat yang ku tuju, ah betapa kagetnya aku. Baru kali ini ku lihat begitu banyak penumpang tetapi tidak ada bus. Aku duduk dan bertanya pada seseorang di dekatku, diapun sudah dari tadi menunggu bus. Ya, aku pun menunggu, sambil mengobrol dengannya. Satu dua kali ada bus tetapi terlalu penuh, aku tak mau memaksakan diri. Akhirnya sudah  hampir jam tuju malam dan kuputuskan menumpang bus yang sebenarnya juga penuh. Aku rasa jika aku menanti bus yang benar-benar agak kosong mungkin akan sampai larut malam. Setelah naik ke dalam bus, dan seperti yang ku duga, penuh. Setidaknya aku agak beruntung, seorang bapak-bapak memperdilakan aku duduk di sampingnya. Aku memang bisa duduk tetapi tidak bisa bersandar ke kursi, terlalu sesak.
Perjalanan sebenarnya baru dimuali, Jogja-Madiun dengan Sumber Group. Biasanya dalam keadaan normal perjalanan Jogja-Madiun bisa memakan waktu lima jam. Apakah nanti akan lima jam atau lebih aku tidak tahu, yang jelas bus begitu penuh sesak. Jalanan nampaknya juga lebih ramai dari biasanya. Ah mulai lagi, peperangan melawan kejenuhan, dingin, dan kepala yang mulai pusing. Kira-kira sudah lewat tengah malam ketika aku sampai di terminal Madiun, dan waw, tak pernah kulihat salarut ini penumpang menumpuk. Bus jurusan Ponorogo jarang-jarang muncul dan kalaupun ada hampir pasti sudah penuh.
Penantian yang tidak jelas. Keadaan haus dan kelaparan, seharian aku baru sekali makan, kuputuskan menacri makan di warung terminal. Inilah pertama kalinya aku mampir ke tempat makan di terminal. Awalnya aku hanya sekedar ingin minum, tetapi perut yang kelaparan memaksa aku untuk membeli makan. Aku memesan the anget dan berlanjut dengan soto ayam. Entah seperti apa rasanya makanan itu yang jelas aku menikmatinya di tengah kelaparanku. Selesai makan kusempatkan sebentar membaca buku. Kepalaku sudah terlalu pusing untuk bisa fokus membaca. Kuputuskan membayar semua pesanan yang telah kunikmati dan bergegas ke pemberhentian bus untuk menunggu bus jurusan Ponorogo.