Posted on Sabtu, 30 Juni 2012 Haji Merah


Misbach, Haji yang Memadukan Islam dan Komunis*
Oleh Dhani Kurniawan

”..Di Pemandangan Miscbah tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di anatara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan Sebab itu dia lebih gemar memakai kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakain kebanyakan orang yang disebut Haji”
(Marco Kartodikromo)

Orang umumnya beranggapan bahwa antara Islam dan komunis merupakan dua hal yang bertolak belakang. Biasanya yang menjadi dalih membenturkan Islam dengan komunis adalah perihal kepercayaan terhadap Tuhan. Lalu bagaimana seandainya ada orang yang berusaha memadukan keduanya, dan dia adalah seorang haji ? Bahkan dia beranggapan bahwa seorang muslim sejati tidak semestinya menolak komunis.  Mungkin sebagian orang akan mengangap dia sudah “gila”. Tetapi sejarah membuktikan bahwa pernah ada seseorang yang berusaha memadukan Islam dengan komunis. Dia adalah haji Miscbah atau sering dijuluki haji merah yang mengupayakan “duet maut” tersebut Misbach, haji yang berusaha berdiri di antara dua kaki Komunis dan Islam.
Miscbah sebenarnya lahir di lingkungan yang cukup Islami. Dia lahir di Kauman, Surakarta sekitar tahun 1876. Kauman merupakan pemukinan yang mayoritas penduduknya ulama yang dekat dengan keraton. Misbach sendiri sebenarnya juga merupakan keturunan ulama abdi dalem keraton kasunanan Surakarta. Selain sebagai ulama keluarganya juga merupakan pengusaha batik yang cukup mapan. Nama kecil Misbach adalah Ahmad, setelah menikah berganti nama menjadi Darmodipromo sedangkan nama Misbach atau lengkapnya Mohamad Misbach diperolehnya setelah menunaikan ibadah haji.
Belum diketahui secara pasti kapan terjadinya proses perkenalan Misbach dengan ideologi komunis. Kemungkinan besar perkenalannya tersebut terjadi selama dia dipenjara. Asumsi ini muncul mengingat gerakan Misbach sebelum dipenjara tidak memperlihatkan kecenderungan ke arah gerakan kiri. Setelah keluar dari penjara keyakinannya tentang apa yang dikatakan Marx “candu kerakyatan” tidak pernah goyah. Meskipun demikian keyakinannya terhadap komunis nampaknya tidak pernah lebih besar daripada keyakinannya terhadap Islam. Apa yang dialami Misbach mungkin bisa dikatakan sebagai suatu sinkriteisme orang Jawa.
Ketertarikannya memadukan Islam dan komunis besar kemungkinan karena anggapannya tentang persamaan-persamaan antara ajaran Islam dan Komunis. Islam dan komunis sama-sama membela rakyat yang lemah. Bahkan Misbach tidak segan menyandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan ajaran komunis.
            Misbach merupakan orang yang cukup aktif dalam dunia pergerakan. Dia pernah masuk dalam beberapa organisasi pergerakan kala itu, Misbach pernah menjadi angota Insulinde dan Sarekat Islam. Dia sering memobilisasi para petani dan pekerja untuk melakukan perlawanan dengan jalan pemogokan. Patut diperhatikan pula bahwa pada tahun 1914 Misbach telah ikut dalam organisasi jurnalis Inladch Jounalisten Bond yang didirikan oleh Mas Marco. Misbach tidak hanya menyerang Belanda, dia juga menyerang penguasa pribumi bahkan organisasi kegamaan yang tidak mau berpolititk tidak luput dari kritiknya yang tajam. Kritikan Misbach sebagian disampaikannya lewat tulisan yang dimuat oleh dua media massa yang didirikannya yaitu Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.
            Akhir perjuangan perjuangan Misbach yaitu setelah dia dibuang di Manokwari sampai akhirnya meninggal di tempat tersebut karena terserang Malaria. Dia mendapat hukuman tersebut setelah diadili karena tuduhan-tuduhan terorisme. Gubernemen sebenarnya tidak cukup bukti untuk menjatuhkan hukuman tersebut kepadanya. Namun dengan hak Istimewa yang dimiliki gubernemen, Misbach tetap dijatuhi hukuman.
Sumber Rujukan
Buku
D.Larson, George.1990.MASA MENJELANG REVOLUSI Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta.Yogyakarta.Gajah Mada University Prees.
Majalah
Basis nomor 01-02, tahun ke 58, Januari-Februarai 2009
Tayangan Tv
Metro Files edisi Haji Merah
Internet
 http://indomarxist.tripod.com/hmisbach.htm Diakses 20 Juni 2012 pukul 22.15
*Yogyakarta, 20-21 Juni 2012

Posted on Jumat, 22 Juni 2012 Proses Perpanjangan SIM yang Membingungkan


Proses Perpanjangan SIM yang Membingungkan
Oleh Dhani Kurniawan
            Kemarin Senin 11 Juni 2012 saya ditemani ayah memperpanjang SIM di Polres Madiun. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul setengah sembilan. Ketika di perjalanan kami mampir dulu di tempat fotokopi untuk memfotokopi SIm dan KTP saya. Selanjutnya ketikan memasuki halaman Polres Madiun kami diberhentikan dan diminta untuk melepas jaket serta helm. Memang ada tulisan yang meminta untuk itu denga alasan sedang ada pemeriksaan namun tidak jelas pemeriksaan apa dan untuk apa.       Memasuki area Polres Madiun kami tentu bingung harus kemana dulu jika akan mengurus perpanjangan SIM. Ketiak bingung harus bertanya kepada siapa saya tercengan memandang lobi bertuliskan bagian informasi tetapi tidak ada seorangpun disitu. Kami kemudian memandangi sekeliling berharap bertemu tulisan atau apa saja yang bisa memberi penjelasan. Saya kembali tercengan ketika membaca tulisan yang tentang nomor pengaduan yang bisa dihubungi tetapi nampak sekali nomor tersebut sengaja dihapus. Akhirnya kami memfotokopi SIM dan KTP karena ternyata ada tulisan yang menyatakan dibutuhkan lima fotokopian padahal saya baru membawa dua.
            Bingung harus melakukan apa, ayah menyuruh saya untuk tes kesehatan saja. Ketika bertanya kepada petugas di ruang tes kesehatan ternyata tes kesehatan untuk perpanjangan SIM ada di pertokoan seberang jalan. Kami kemudian berjalan menuju seberang jalan. Belum jauh berjalan kami bertemu seorang bapak-bapak yang juga ingin tes kesehatan. Ketika ayah bercakap-cakap dengan bapak tersebut kamibaru tahu bahwa sebelum tes kesehatan ada proses lain yang harus ditempuh. Saya akhirnya menuju tempat penganbilan sidik jari dan disitu mendapat blangko yang harus diisi sebelum melaksanakan Sidik jari. Setelah mengisi blangko saya menunggu giliran untuk disidik jari. Saya juga diminta melakukan foto terlebih dahulu tetapi saya lupa saya foto setelah atau sebelum disidik jari, yang jelas saya ingat sepuluh ribu rupiah untuk biaya foto. Setelah selesai urusan sidik jari dan foto ternyata baru tahap tes kesehatan.
            Saya kembali terheran ketika tempat tes kesehatan berada di pertokoan seberang jalan dan sama sekali tidak ada petunjuk bahwa itu tenpat tes kesehatan bagi mereka yang akan memprpanjang SIM. Lebih aneh lagi ketika di tempat itu hanya tertulis melayani fotokopi. Ketika saya tiba di situ antrean sudah cukup panjang dan saya harus menunggu agak lama. Setelah dipanggil ternyata tes kesehatan itu hanya penimbangan berat dan pengukuran tinggi badan. Untuk tes kesehatan seperti itu itu dikenakan biaya lima belas ribu.
            Setelah itu saya diberi tahu untuk menuju loket pelayanan SIM yang ada di komplek gedung Polres. Saya memasuki tempat pelayanan SIM dan Ayah menunggu di luar. Ketika di dalam ruangan saya juga bingung harus bagaimana. Saya kemudian membaca tulisa-tulisan yang ada di loket-loket dan seorang petugas meminta saya untuk lebih dulu mendaftar di loket pendaftaran. Saya mendaftar dan menunggu untuk dipanggil. Beberapa saat kemudian saya dipanggil dan diminta membayar di teller BNI yang anehnya bisa ada tepat di depan loket itu. Setelah membayar 75.000 saya mendapat blangko untuk diisi. Setelah blangko lalu dikumulkan diloket dan saya kira tinggal menunggu panggilan. Setelah lama menunggu tidak dipanggil baru saya tahu bahwa setelah  mengumpulkan blangko yang sudah diisi harus mengambil nomor untuk antre foto SIM. Saya kemudia bertanya kepada petugas  untuk memastikan lalu mengambil nomor antrean yang sudah mencapai 89.
            Setelah mengambil nomor saya harus antre sampai nomor saya dipanggil. Saya menunggu cukup lama baru kemudian saya dipanggil untuk foto, tak berselang lama setelah foto SIM saya yang baru telah jadi. Foto SIM saya kali berambut gondrong ini berbeda dengan SIM saya sebelumnya yang berambut pelontos.
            Begitulah kira-kira pengalaman saya memperpanjang SIM. Sungguh proses yang ruet belum lagi minimnya petunjuk. Secara resmi tertulis bahwa biaya perpanjangan SIM adalah 75.000 tetapi kenyataannya mengahabiskan biaya 100.000 karena ditambah foto 10.000 dan tes kesehatan 15.000. Lebih menyebalkan lagi bahwa sebenarnya foto yang menelan biaya 10.000 tidak wajib tetapi anehnya petugas di bagian sidik jari memberi tahu utnuk foto dulu. Ada lagi satu cerita seorang ibu-ibu yang terpaksa “lewat belakang”. Ibu tersebut tidak diperbolehkan memperpanjang SIM lantaran masa berlaku SImnya masih satu bulan lebih. Karena tidak ingin repot dia terpaksa lewat belakang walaupun harus mengeluarakan biaya lebih.
            Seperti itulah potret birokrasi di instansi pemerintah yang bertugas menegakkan hukum, melindungi, dan mengayomi masyarakat. Seperti itulah rakyat yang akan menunaikan kewajiban diperlakukan. Ada kesan bahwa proses memang dibuat tidak jelas sehingga rakyat yang tidak mau repot memilih “lewat belakang”. Saya tidak tahu apakah di daerah lain proses perpanjangan SIM juga seribet dan semembingungkan itu.
Madiun,12 Juni 2012

Posted on Senin, 18 Juni 2012 Berdirinya Sarekat Islam


Tirtoadisoerjo dan Berdirinya Sarekat Dagang Islam
Oleh Dhani Kurniawan

Sarekat Dagang Islam didirikan oleh haji Samanhudi atas dorongan Tirtoadisoerjo. Pendirian Srekat Dagang Islam adalah dalam rangka menghimpun kekuatan para pedagang atau pengusaha pribumi. Saat itu para pengusaha pribumi menghadapi para pedaganag Tionghoa yang memonopoli bahan-bahan untuk membatik. Begitulah kira-kira yang saya dapatkan dari bangku sekolah. Saat itu saya hanya percaya begitu saja apa yang dikatakan oleh guru saya karena di dalam buku pelajaran juga dikatan demikian.[1] Namun setelah memasuki bangku kuliah saya menemukan sesuatu yang baru dan sangat berbeda.
Pada diskusi yang diselenggarakan oleh Fistrans Institut 13 April 2012, Mr. Max Lane seorang dosen sejarah dari Victoria University mengungkapkan sesuatu yang belum pernah saya ketahui selama ini. Beliau mengungkapkan bahwa Pramoedya pernah memberikan suatu analisis perihal berdirinya Sarekat Dagang Islam. Menurut Pram Sarekat Dagang Islam didirikan oleh Tirtoadisoerjo. Pendirian Srekat Islam setelah sebelumnya Tirto gagal mendirikan Sarekat Priyayi. Tirto akhirnya sadar bahwa masyarakat telah terbagi menjadi dua kelas. Kelas pertama mereka yang tergantung pada pemerintah kolonial yaitu para priyayi yang hidup dari gaji yang diberikan oleh pemerintah. Kelas kedua adalah orang-orang yang lebih bebas karena tidak tergantung kepada gaji yang diberikan pemerintah. Tirto kemudian juga sadar nahwa untuk membentuk suatu organisasi pergerakan tidak bisa menggunakan basis massa orang-orang yang tergantung pada pemerintah. Kemudian dipilihlah basis massa pedagang karena mereka tidak terikat pemerintah dan lahirlah Sarekat Dagang Islam.
Beberapa waktu yang lalu saya tidak sengaja tertarik pada buku terjemahan karangan George D. Larson yang berjudul MASA MENJELANG REVOLUSI, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Saya tertarik pada buku tersebut karena beberapa waktu yang lalu hangat dalam pemberitaan di berbagai media perihal permasalahan tahta keraton Kasunanan Surakarta. Saya penasaran apakah masalah seperti itu juga pernah terjadi dalam sejarah keraton kasunanan Surakarta. Secara tidak sengaja kemudian saya menemukan halaman yang membahas tentang berdirinya Sarekat Dagang Islam.
George D. Larson mengutip arsip dokumen residen Van Wijk menyatakan bahwa pendiri nominal Srekat Dagang Islam adalah Tirtoadisoerjo seorang Solo yang merantau keluar dan merupakan redaktur majalah Medan Prijaji. Ia pernah mendirikan Sarekat Dagang Islamijah di Batavia pada tahun 1909 dan Sarekat Dagang Islam di Bogor pada tahun 1911. Kemudian awal 1912 secara resmi membentuk Sarekat Dagang Islam di Surakarta sebagai cabang dari Bogor. Namun anehnya Tirto menghilang dan digantikan oleh seorang pengusaha batik dari Lawehan yaitu haji Samahoedi. Sedangkan tentang latar belakang didirikannya Sarekat Dagang Islam George belum memberikan keterangan yang cukup jelas namun juga condong ke faktor ekonomis dan etnosentris.[2]
Kedua keterangan diatas sudah cukup meyakinkan saya bahwa pendiri Sarekat Islam adalah Tirtoadisoerjo. Namun yang menjadi masalah adalah mengapa guru saya dan buku teks pada saat saya kelas lima mengatakan bahwa pendiri Sarekat Islam adalah haji Samahoedi. Apakah mungkin itu hanya sebuah kesalahan yang bersifat teknis saja ? Ataukah ada kemungkinan lain, misalnya ada pihak yang berusaha mengkerdilkan peranan Tirtoadisoerjo ? Saya belum tahu pasti apa sebabnya. Sebenarnya dalam penulisan sejarah di Indonesia “pembelokan” sejarah memang sering terjadi. Saya sudah cukup sering menemukan buku teks pelajaran yang menulis sejarah yang sengaja dibelokkan.
Selanjutnya tentang latar belakang berdirinya Sarekat Islam saya lebih tertarik pada analisis Pramoedya Ananta Toer. Meskipun keterangan itu saya dapat dari orang asing saya kira Mr. Max Lane adalah orang yang cukup berkompeten dan bisa dipercaya. Saya tidak heran jika analisis Pram jarang dikemukakan oleh sejarawan Indonesia. Semasa orde baru Pram termasuk Tapol, semua buku-bukunya dilarang terbit dan mungkin juga pemikirannya dianggap “sesat.” Menurut saya analisis Pram lebih masuk akal karena dikemudian hari Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam dan menjadi organisasi yang lebih bersifat politis.

Madiun, 11 Juni 2012


[1] Buku teks yang saya pergunakan waktu itu Tim Penyusun.2002.IPS 3.Klaten:Intan Pariwara. Perihal berdirinya Srekat Islam dibahas pada halaman 35.
[2] Larson, George D.1990.MASA MENJELANG REVOLUSI Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942.Yogyakarta:Gajah Mada University Press. Hal. 53

Posted on Minggu, 03 Juni 2012 Selayang Pandang Pakubuwono X


Selayang Pandang Pakubuwono X
(Prespektif Barat)
Tokoh sentral dalam kerajaan Surakarta, ‘paku dunia’ Pakubuwono X tetap merupakan seorang yang elursif (sukar dipahami), membingungkan, dan barangkali dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur, seluruhnya berjumlah tigabelas, yang ditempatkan di Surakarta selama pemerintahannya yang panjang (1893-1939). Tetapi beberapa di antara pejabat itu kelihatan mampu menangkap pandangan sekilas tentang Susuhunan, yang tidak sesuai dengan penilaian yang umumnya dilihat rendah watak serta intelektualnya, suatu pandangan yang diperlihatkan dalam uraian yang menarik oleh Residen G.F van Wijk (1909-1914): “Raja ini penurut dan punya perangai yang sangat lemah. Ia ingin melakukan hal yang tepat tetapi tidak berani menonjiolkan dirinya karena takut konflik dengan pegawai tinggi istananya. Ia sangat sombong dan memberi kesan sebagai seorang anak manja. Kesalahan besar dimulai ketika ia dijadikan putera mahkota pada usia tiga tahun; sejak itu tak seorang yang berani menolak sesuatu yang diinginkannya; ia tak pernah menghayati dunia dalam keadaan sebenarnya; selalu dikelilingi kelompok pengikut yang besar yang hanya mengeluarkan kata-kata sanjungan dari mulut mereka, semua disajikan kepadanya secara palsu, dan ia telah menjadi seorang raja yang lemah dan bersifat kewanitaan. Ayahnya menganggap tidak perlu untuk memberi asuhan yang patut kepadanya; ia hanya belajar menulis aksara Jawa dan Melayu; berhitung ia tidak tahu sama sekali. Saya menyadari hal ini untuk pertama kali ketika pernah bersama-sama dengan saya ia mau mengetahui berapa banyak tonggak yang dilaluinya dalam satu jam dengan mobilnya; dari pandangan mata para pangeran yang cemas saya sudah bisa melihat betapa tinggi mereka memandangnya dalam hal ini; dan tak ada yang dihitungnya dengan benar. Ketika ia masih pangeran mahkota ia belajar berbahasa Belanda sedikit secara diam-diam ayahnya melarangnya tetapi hasilnya amat kurang. Perhatian satu-satunya adalah ‘perempuan’, dan keadaan ini agaknya akan tetap begitu. Tak perlu dikatakan bahwa tak banyak yang dihasilkan seorang berperangai lemah dan dibesarkan dalam lingkungan seperti itu serta mempunyai hiburan yang demikian.
Supaya sehat ia berhenti minum minuman keras dan tidak merokok sejak lama; minumannya hanyalah soda sedikit pada waktu berkunjung, sedangkan dirumah ia minum air juragraphap ekstrak tumbuhan yang, menurut orang Jawa, menambah kecantikan dan supaya awet muda. Ia suka sekali santapan enak dan oleh sebab itu ia gemuk gembung.
Salah satu sifat yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan; ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani; salah satu kekurangannya adalah ia tak mengenal nilai uang; pegawainya, bupati pangrembe Wiriodiningrat yang tua, sering bingung karena harus memenuhi permintaanya akan uang. Susuhunan tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang keadaan keuangannya; wazir bersama saudaranya, yaitu pegawai tersebut di atas, menyimpan sejumlah uang jauh dari dirinya untuk menjaga jangan sampai ia menghambur-hamburkannya.
 Sunan tidak memiliki pengertian sekecil pun tentang urusan-urusan resmi; sejak awal dari masa jabatanku saya selalu merundingkan urusan-urusan penting dengan beliau. Akan tetapi ia tak berani mengambil keputusan sendiri karena ia takut terhadap kelompok yang mengelilinginya, terutama terhadap wazir”. (Van Wijk, Mvo 1914:2-5).
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagai seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan pemerintah Hindia Belanda. Memang ia pasti senang bersolek dan hal ini dibuktikan dengan kebiasaan memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan kegemarannya mengenakan pakaian resmi. Ia juga ikut memeluk berbagai kepercayaan seperti  yang biasa dianut oleh rakyatnya, kepercayaan yang oleh banyak orang Barat dianggap sebagai tahyul. Ia percaya, misalnya, bahwa ia memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit dan mengubah cuaca lewat keris dan tombak yang sakti. Ia juga mengatakan dikunjungi Ratu Mitos dari Laut Selatan, Nyai Loro Kidul, yang memberi kepadanya nasihat dan ramalan. Tetapi gambaran yang disajikan di atas oleh Van Wijk dan diikuti oleh penulis yang lain, bahwa ia seorang raja yang lemah tubuh serta wataknya, yang takut kepada anggota keluarga dan pegawai tinggi di istana, barangkali terlalu berlebih-lebihan dan pasti sekali tidak benar untuk tahun-tahun kemudian.[1]


[1] George D. Larson.1990.Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press Hal. 43-45