Posted on Minggu, 17 Januari 2016 Dari Tepian Teror Jakarta



Sisi Gelap di Tepian Teror Jakarta
Oleh Dhani Kurniawan

Jakarta, Kamis 14 Januari dihantam teror. Tepatnya di kawasan Thamrin serangan brutal berupa tembakan senjata api dan ledakan bom memakan korban jiwa dan luka-luka. Aksi tersebut jelas bukan perampokan, penganiayaan atau pembunuhan yang bersifat personal. Sepak terjang pelaku jelas menunjukkan bahwa mereka menyasar simbol negara dan pusat keramaian dengan tujuan menciptakan ketakutan massal. Maka serangan tersebut dapat dikategorikan sebagai teror. Sebelum melangkah lebih jauh terlebih dulu saya mengucapkan turut berduka cita atas jatuhnya korban terutama korban meninggal. Melukai apalagi sampai menghilangkan nyawa manusia jika bukan terhadap musuh dalam keadaan perang atau tindakan pihak berwenang terhadap pelanggar hukum yang telah diputus peradilan yang adil dan transparan jelas merupakan tindakan keji dan tak bisa ditolerir.
Para teroris begitulah biasanya pelaku teror disebut dalam waktu singkat dapat dilumpuhkan oleh pihak kepolisian. Mereka semua tewas di tempat. Paska kejadian tersebut muncul berbagai viral di dunia maya dan kisah-kisah yang tak terduga. Ketakutan barangkali sempat melanda tetapi dengan cepat suasana bergerak kearah lain. Salah satu titik balik paling kentara adalah ketika salah seorang pengguna Phat mengupload foto penjual sate yang sedang melayani pembeli. Foto tersebut menjadi menggemparkan karena di keterangannya dituliskan bahwa si tukang sate yang belakangan diketahui bernama Pak Jamal berada sangat dekat dengan lokasi aksi teror. Bayangkan seorang tukang sate bekerja seperti biasa padahal tak jauh darinya menyalak rentetan bom dan tembakan yang bisa merenggut nyawa siapa pun. Tak pelak Pak Jamal menjelma menjadi simbol ke-tidak-takutan terhadap teror sebuah wacana yang juga dibangun oleh negara.
Sosok Pak Jamal menjadi viral menyedot banyak perhatian (meski segera kalah dengan polisi ganteng). Publik bertanya-tanya apa yang membuat Pak Jamal tidak takut. Pak Jamal yang saat itu berjualan sate bersama istrinya lalu berkisah tentang apa yang sebenarnya mereka rasakan saat itu. Mereka mendengar ledakan dan ketika tahu bahwa itu suara bom dan tembakan sejatinya mereka juga takut dan berpikir untuk lari. Namun niatan tersebut urung karena mereka mengkhawatirkan dagangan sate. Pak Jamal dan istri khawatir dagangan mereka akan hilang jika ditinggal lari. Begitu mengharukan bahwa bagi orang seperti Pak Jamal dan istrinya keselamatan bisa dikesampingkan demi menjaga dagangan. Jelas bahwa hanya itulah yang mereka punya untuk menyokong hidup karena sekiranya mereka punya cadangan atau telah mengasuransikan dagangannya tentu mereka akan lari. Ternyata ketidaktakutan Pak Jamal terhadap aksi teror lebih merupakan keterpaksaan. Mereka dipaksa oleh keadaan oleh kemiskinan. Jadi Pak Jamal telah menjadi simbol dari apa yang tak diperbuatnya tanpa sekehendak dan sepengetahuannya.
 Setelah Pak Jamal tukang sate di dunia maya muncul foto-foto lain. Mereka pedagang asongan, orang-orang kecil, orang-orang yang senasib dengan Pak Jamal. Hingga tanpa sadar publik mengamini bahwa kehidupan arus bawah di Jakarta memang begitu keras hingga aksi teror dengan bom dan senjata api pun tak sebanding. Bukankah seharusnya ini menjadi berita yang sangat gawat. Sudah sekeras itukah kehidupan di negeri ini khususnya Jakarta. Tidakkah ada yang salah dan perlu diperbaiki agar kaum seperti Pak Jamal bisa mendapat hidup yang lebih baik. Jelas mereka ada bahkan mayoritas secara kuantitatif. Mereka juga tidak menjadi miskin karena kesalahan pribadi atau kemalasan semata. Mereka bukan oknum manusia yang menyimpang lalu secara sistem layak dihukum menjadi miskin. Sayangnya wacana publik tak bergerak kearah itu.
Orang-orang seperti Pak Jamal tentu jauh lebih banyak daripada kaum elit ring satu di ibukota. Anehnya kehadiran mereka pada wacana publik justru sebaliknya. Seringkali keberadaan Pak Jamal dan orang-orang yang senasib dengannya seolah ada di sisi gelap panggung kehidupan.[1] Mereka ada tapi tak terlihat. Betapa jarangnya mereka tampil di media pada era keterbukaan ini di mana citizen journalism telah menjadi umum. Padahal merekalah yang banyak berjasa ketika negeri ini dilanda keadaan darurat. Kita perlu membongkar ingatan kita. Siapa yang paling banyak menanggung beban revolusi kemerdekaan 1945-1949. Siapa yang paling banyak menanggung derita pada masa transisi era Sukarno ke era Soeharto. Siapa yang menyokong perekonomian nasional kita pada masa krisis akhir 1990an. Bahkan ketika teror melanda mereka kembali muncul sebegai simbol ketidaktakutan. Tragis bahwa segera setelah keadaan kembali normal mereka kembali ke sisi gelap. Sesekali muncul hanya sebagai pelengkap dekorasi, atau simbol bagi kepentingan elit seperti para babu dan jongos dalam foto-foto keluarga Belanda pada masa penjajahan. Keadaan banyak berubah tapi ternyata tidak dengan posisi mereka. Mereka ada menjalani kerasnya kehidupan sambil sesekali menatap kearah kaum elit, kaum yang ada di tempat terang panggung kehidupan hingga selalu terlihat. Mereka, Pak Jamal dan orang-orang yang senasib dengannya adalah massa rakyat yang tinggal di sisi gelap panggung kehidupan yang seringkali luput dari pandangan.

Madiun, 17 Januari 2016




[1] Konsep ini saya pinjam dari W.F Wertheim. Lihat Wertheim, 2009, Elit vs Massa, Yogyakarta: Resist Book, hlm. 3-4.

Posted on Kamis, 14 Januari 2016 Membaca Imagined Communities

Membaca Imagined Communities: Sebuah Resensi yang Terlambat
Oleh
Dhani Kurniawan

Judul               : Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang
Pengarang       : Benedict Richard O’Gorman Anderson
Penerjemah      : Omi Intan Naomi
Tebal               : liv+336
Tahun terbit     : 2008
Penerbit           : Insist dan Pustaka Pelajar

Batu, 13 Desember 2015 kabar duka datang menyambar bak petir di siang bolong. Telah berpulang seorang ilmuwan terkemuka yang banyak melahirkan karya bermutu tentang Indonesia, Benedict Richard O’Gorman Anderson.[1] Pak Ben begitulah panggilan akrabnya di Indonesia meninggalkan warisan berharga berupa karya-karya bermutu yang tak akan habis untuk dikaji. Salah satu karya besarnya yang akan saya ulas di sini adalah Imagined Communities. Imagined Communities telah menjadi karya besar yang diakui di banyak negara namun menimbulkan perdebatan dan banyak kegamangan di Indonesia.
Imagined Communities pertama terbit tahun 1983 tetapi baru pada 2001 terbit dalam bahasa Indonesia. Jadi ada keterlambatan 18 tahun. Namun keterlambatan tersebut membawa hikmah tersendiri. Pak Ben merasa ada beberapa kekeliruan fatal hingga perlu ada pembenahan dan tambahan.  Edisi revisi itulah yang akhirnya terbit dalam bahasa Indonesia. Saya sendiri baru tahun 2013 mengoleksi buku tersebut. Saya mendapat edisi terbitan 2008 yang diberi pengantar oleh Daniel Dhakidae. Itupun tidak langsung saya baca sampai selesai sampai dua tahun kemudian. Ketika itu saya sempat sedikit membaca terutama bagian di mana Indonesia di bahas. Pembacaan tersebut terhenti karena saya belum merasa berkepentingan dengan bagian-bagian lain yang sejujurnya hampir tidak mampu saya pahami sama sekali. Kabar meninggalnya Pak Ben lah yang pada akhirnya membawa saya kembali menengok Imagined Communities dan bertekad membacanya sampai halaman terakhir.
Pengantar cukup panjang yang diberikan oleh Daniel Dhakidae bagi saya tidak banyak membantu. Daniel fokus pada Indonesia. Indonesia memang hadir cukup dominan pada bab di mana fokus bahasan adalah wilayah Asia Tenggara. Namun karya tersebut punya cakupan yang hampir melingkupi seluruh wilayah dunia. Cakupan yang begitu luas menjadikan Imagined Communities sulit dipahami oleh mereka yang kurang memiliki pengetahun tentang sejarah berbagai kawasan di dunia. Kesulitan kedua adalah bahwa Imagined Communities lahir dari pertanyaan yang begitu asing bagi sebagian besar pembaca Indonesia yang dibesarkan dalam suasana Orde Baru. Imagined Communities adalah karya yang bergumul dengan pertanyaan utama apa itu bangsa dan bagaimana ia mengada. Kesulitan berikutnya adalah pisau bedah analisis dalam karya tersebut. Pak Ben menggunakan pisau meskipun mungkin tidak langsung dari berbagai tokoh yang masih sangat asing bagi khalayak Indonesia misalnya Heidegger dan Foucault. Bagian inilah yang juga kurang dibahas dalam pengantarnya Daniel. Tidak ada gambaran yang memadai tentang bagaimana pembaca harus menyelami penelusuran Pak Ben. Kesulitan terakhir masalah gaya terjemahan dan teknis catatan kaki. Terjemahan seringkali memunculkan bahasa yang sangat khusus dan hanya bisa dipahami kalangan tertentu. Sementara catatan kaki seringkali muncul bukan saja sebagai keterangan sumber rujukan tapi juga penjelasan panjang yang mungkin bisa dimasukkan dalam tubuh tulisan.
Imagined Communities pada bagian awal berangkat dari dua tesis menonjol yang kemudian sering dikutip (ini pun jika saya tak salah tangkap). Pertama tentang definisi bangsa sebagai komunitas politis terbayang dan kedua kapitalisme cetak sebagai faktor penting dalam kelahiran bangsa. Seolah-olah kedua tesis tersebut adalah kesimpulan final. Pengutipan entah langsung atau tidak untuk diikuti atau dibantah sayangnya sering tanpa secara serius mengikuti urian Pak Ben pada bab-bab selanjutnya. Padahal pada bab-bab selanjutnya Imagined Communities menampilkan penelusuran yang cukup komplek dan mengesankan di mana begitu banyak gejala ditampilkan dan dibedah secara mendalam. Setiap bab adalah rangkaian yang memperlihatkan keberlanjutan sekaligus keretakan tetapi tetap harus dibaca menyeluruh sebagai satu karya yang utuh. Imagined Communities sama sekali bukan kumpulan tulisan di mana setiap bab bisa dibaca terpisah dan tidak runtut.
Judul setiap bab dalam Imagined Communities tidak mudah dipahami. Pak Ben seringkali menggunakan ungkapan yang tidak semata-mata lugas dan dingin seperti karya ilmiah pada umumnya. Misalnya pada bab 9 yang diberi judul “Malaikat Sejarah”. Gaya bahasa yang digunakan sebagai judul bab kental dengan aroma sastrawi dan begitu juga dengan seluruh paparan dalam buku tersebut. Malahan judul karya itu sendiri yaitu Imagined Communities sudah cukup menampilkan aroma sastrawinya. Namun jika dibaca dan dipahami secara mendalam cara yang demikian sebenarnya membuka lebih banyak kemungkinan hadirnya makna yang sulit direngkuh oleh bahasa ilmiah yang kaku. Salah satu jalan termudah namun juga patut diwaspadai untuk memahami seluruh bangunan buku tersebut adalah membacanya dalam kerangka ruang dan waktu. Suatu pendekatan kesejarahan.
Pada bab 1 Pak Ben mengajukan konsep dan pertanyaan mendasar yang akan terus hadir dalam bab-bab selanjutnya. Beliau secara jujur mengutarakan bagaimana karya tersebut bermula dari rasa penasarannya pada perang yang pecah antara negara-negara yang sama-sama secara resmi mengadopsi teori Marxis.[2] Pada bab ini pula tertuang pernyataannya tentang definisi bangsa yang telah menjadi klasik. Bagi Pak Ben bangsa adalah “komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inhern sekaligus berkedaulatan”. Beliau pada bagian akhir bab 1 juga tidak segan memaparkan bahwa bangsa adalah seusatu yang baru yang bahkan belum terbayangkan di Prancis abad 18.[3] Lalu bagaimana semua pembanyangan tersebut hadir dan dalam beberapa kasus malahan tiba-tiba merasa menjadi sesuatu yang antik dan kuno (begitulah kira-kira selama ini kita diajarkan di bangku sekolah). Pada bab-bab selanjutnya Pak Ben melanjutkan penelusurannya yang mencengangkan.
Pak Ben memulai penelusurannya pada bab 2 dari masa-masa dimana senjakala kuasa religius dan dinastik telah menjadi tak terelakkan. Pada bab-bab selanjutnya Imagined Communities akan membawa pembacanya menelusuri hampir seluruh wilayah dunia ini. Jalan yang ditempuh panjang dan tidak mudah. Kita tak akan menghadirkan keseluruhan penelusuran di sini karena keterbatasan kemampuan yang saya miliki. Satu yang jelas bahwa penelusuran bermula dan berakhir di Asia Tenggara. Sebuah kawasan yang memang secara khusus menjadi keahlian Pak Ben. Pak Ben dengan mantap menunjukkan banyak kejanggalan yang selama ini luput. Misal tentang ketiadaan wangsa penguasa Inggris yang menggunakan nama Inggris dan menisbahkan diri berasal dari Inggris sampai tiba-tiba wangsa yang berkuasa Hanover atau Saxe-Coburg-Gotha (nama yang sangat Jerman) mengganti namanya dengan mengambil nama salah satu kastil miliknya yaitu Winsdor (nama yang diklaim seratus persen Inggris) [4]. Kita juga diajak melihat bagaimana Joze Rizal menulis puisi terakhirnya yang sangat indah dalam bahasa Spanyol. Padagal dia sepenuhnya sadar bahwa imperialis Spanyol itu juga yang menjajah Filipina dan segera mencabut nyawanya[5]
Bagian paling menarik bagi pembaca Indonesia tentu ketika penelusuran Pak Ben sampai pada wilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia. Patut dicatat juga bahwa di wilayah Asia Tenggara salah satu keahlian Pak Ben yang paling menonjol adalah tentang Indonesia. Malahan Indonesia adalah titik tolak kepakaran Pak Ben dibawah bimbingan pakar terkemuka Mc Turnan Kahin. Pak Ben coba menguliti asal muasal bangsa Indonesia. Menjadi menarik karena analisa Pak Ben sangat bertentangan dengan versi resmi yang populer di Indonesia. Indonesia dalam Imagined Communities sama sekali bukan entitas utuh yang antik, sakral dan berakar jauh dari warisan leluhur yang seratus persen Indonesia. Malahan Pak Ben menelusuri bangsa Indonesia dari pembayangan yang tercipta selama proses penjajahan.[6] Nyatanya kita sulit membantah bahwa Indonesia merdeka secara teritorial lebih merupakan warisan pemerintah kolonial daripada wilayah kekuasaan kerajaan prakolonial manapun. Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan juga merupakan warisan ibukota kolonial. Malahan nama Indonesia yang menggeser Nusantara atau Hindia Belanda sama sekali bukan ciptaan orang Indonesia dan pada mulanya tidak digunakan untuk merujuk Indonesia sebagaimana ia dipakai sekarang. Pada titik inilah Pak Ben menelusuri bagaimana proses hadirnya bangsa Indonesia dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan analisis yang memukau.
Pada akhirnya Imagined Communities merupakan karya berbobot yang penting bagi pembaca Indonesia. Meski tidak secara spesifik mengkaji Indonesia karya ini membahas Indonesia dengan porsi yang cukup banyak dalam konteks besar. Pak Ben lewat Imagined Communities telah memberi sumbangan besar sebagai bahan permenungan bagi kita bangsa Indonesia.

Madiun, 6 Januari 2016



[1] Jawa Pos, Senin 14 Desember 2015

[2]  Anderson Benedict, 2008, Imagibed Communities Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, hlm 1.

[3] Ibid. hlm 10

[4] Ibid. hlm 126 

[5] Ibid. hlm 215-217

[6] Indonesia terutama muncul cukup banyak dalam bab 7 dan 10

Posted on Minggu, 03 Januari 2016 Pram dan Revolusi Kemerdekaan



Pram dan Revolusi Kemerdekaan
Oleh Dhani Kurniawan
                                                                                               
Kiranya sulit mencari penulis Indonesia yang menyita perhatian dunia melebihi Pramoedya Ananta Toer. Berderet penghargaan dari berbagai lembaga internasional bergengsi telah didapatnya. Pram menjadi sorotan dunia selain karena karya-karya besarnya juga karena perjalanan hidupnya yang penuh liku bahkan kontroversial. Terlahir di Blora 6 Februari 1925 dan meninggal pada 30 April 2006 menjadikan Pram sebagai salah satu orang Indonesia yang turut menjadi pemain di banyak episode sejarah Indonesia. Pengalaman hidup yang panjang tersebut sedikit banyak mempengaruhi pemikiran dan karya-karyanya. Sudah cukup banyak orang dari berbagai kalangan yang mencoba membaca karya Pram dan kisah hidupnya. Namun saya kira masih ada banyak celah yang bisa digali. Salah satunya adalah kehidupan Pram dan karyanya pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Kita di bangku sekolah selalu diajarkan bahwa revolusi kemerdekaan Indonesia adalah salah satu babak penting dalam sejarah Indonesia. Satu babak dimana bangsa Indonesia dengan semangat cinta tanah air dan kerinduan akan kemerdekaan bersatu padu melawan penjajah. Rakyat di seluruh Indonesia bergolak dan rela menyerahkan segalanya dengan tanpa pamrih demi bangsanya. Namun apakah pada masa itu rakyat tidak juga disibukkan dengan urusan yang mungkin tampak aneh dan sepele. Kebutuhan ekonomi, masalah rumah tangga, pengkhianatan, pertemanan bahkan percintaan. Apakah masalah seperti itu tidak ada pada masa revolusi kemerdekaan. Setidaknya kita di sekolah tidak diajarkan bahwa masalah seperti itu ada. Mungkin masalah seperti itu bisa menurunkan kadar heroisme dan patriotisme jadi biarlah anak-anak sekolah cuma tahu bahwa para pahlawan bangsa ini adalah orang-orang yang tangguh dan pejuang yang gigih hingga tak sempat memikirkan hal yang remeh-temeh.
Pram sebagai orang yang mengalami masa tersebut dan sedikit banyak menuangkan pengalamannya dalam karyanya justru menampilkan hal yang sangat berbeda. Pram kala itu adalah satu dari sekian banyak pemuda Indonesia yang bergabung untuk berjuang melawan sisa pasukan Jepang dan kembalinya Belanda. Dia mulai bergabung dengan para pejuang tepat setelah mendengar berita proklamasi. Pram bahkan sempat mendapat pangkat letnan dua. Dia ikut bertempur melawan Jepang kemudian, NICA sampai akhinya ditahan oleh pemerintah pendudukan Belanda. Dia tertangkap saat bertugas mencetak dan menyebarkan pamflet dari gerakan bawah tanah. Pram baru dibebaskan pada akhir Desember 1949 sesudah Konferensi Meja Bundar.
Pram meskipun ada dalam penjara pemerintah Belanda tetapi tetap diijinkan untuk menulis. Pada tahun terakhirnya di penjara lahirlah “Keluarga Gerilya”. Karya ini dikatakan sendiri oleh Pram pada pengantarnya sebagai “Kejadian-kejadian di sekitar revolusi nasional yang berserak-serak itu, dengan benang-perangkai dari khayal,”. Karya tersebut selain memang digali dari pengalaman Pram sendiri juga merupakan persemahannya kepada Kolonel Wahab. Seoarang komandan gerilya yang sangat dihormatinya yang akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer Belanda. Pada masa ini juga Pram mengalami pergolakan hebat sampai akhirnya sejak saat itu dia tidak lagi takut dengan kematian. Pram sudah siap kapanpun maut datang menjemput.
Pada pengantar karya tersebut Pram mengajukan pertanyaan yang mungkin nampak aneh bagi kita generasi yang terlahir di era paska kemerdekaan. Pertanyaannya yang dijawabnya sendiri. Pram bertanya “Berapa banyak jumlah keluarga yang hancur oleh peperangan? Peperangan mana saja, termasuk juga peperangan yang diakibatkan oleh revolusi nasional? Dan berapa ratus ribu dan juta orang yang mati, dan menyeret keluarganya ke dalam kehancuran dan penderitaan? Dan berapa banyak keluarga jang hancur separoh atau seluruhnya? Tak terhitung.” Keluarga Gerilya adalah usahanya menampilkan satu contoh dari yang tak terhitung jumlahnya tentang sebuah keluarga yang hancur dan terseret ke dalam penderitaan karena perang revolusi kemerdekaan.
 Keluarga Gerilya adalah cerita tiga hari tiga malam yang membuat sebuah keluarga hampir kehilangan segalanya. Sebuah keluarga di mana perang telah memaksa anak untuk membunuh bapaknya sendiri karena sang bapak bergabung di dinas tentara Belanda. Peristiwa tersebut hanyalah awal karena perang meminta lebih banyak korban dengan cara yang memilukan. Kakak yang melihat adik di sebelahnya mati tertembak, ibu yang gila kehilangan anak lelaki kesayangannya, anak gadis yang direnggung keperawanannya dan masih banyak lagi penderitaan lainnya. Semua itu harus ditanggung oleh satu keluarga dalam tempo tiga hari tiga malam.
Tapi manusia hidup di dunia bukan di surga atau neraka begitulah nampaknya yang ingin disampaikan Pram. Tiga hari tiga malam yang berat tersebut dilewati bukan tanpa ada orang-orang yang mau membantu dan tidak benar-benar berjalan tanpa harapan kepada masa depan. Pada akhir cerita mereka yang masih hidup toh harus menata kembali kehidupannya. Mereka harus berjuang dan mungkin membangun Indonesia merdeka. Kemerdekaan bagaimamapun mampu menghadirkan kebahagian tersendiri terutama mereka yang berjuang. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh Pram, “Itu termasuk saat terindah dalam hidup saya… Kami melihat turunnya merah-putih-biru dari Istana dan menyaksikan naiknya bendera merah putih… Ketika bendera merah putih naik, saya merasa saya warga seratus persen dari suatu negara yang seratus persen merdeka”. Kemerdekaan adalah gerbang menuju harapan akan kehidupan yang lebih baik. Kemerdekaan bagi sebuah bangsa juga berarti penghargaan, pengakuan yang layak dan sejajar sebagai bangsa yang berhak mengatur dirinya sendiri.
Pram yang sempat bergabung di militer akhirnya keluar dan memilih jalan hidupnya sendiri. Jalan yang dipilihnya tidaklah mudah. Menjadi seorang penulis di alam bangsa yang belum lama merdeka tentu bukan pekerjaan yang menjajikan. Serba kekurangan merupakan hal yang akrab bagi Pram. Namun Pram tak pernah setengah-setengah dengan pilihannya. Jalan yang dipilihnya pada akhirnya sempat mengantarkan Pram menjadi sosok yang dihormati. Pada masa demokrasi terpimpin 1959-1965 Pram masuk dalam pusaran politik dan pertarungan ideologi. Dia pada masa itu bergabung ke dalam LEKRA yang dianggap sebagai underbow PKI. Pram juga ambil bagian  mendukung penuh konsepsi politik Sukarno. Keputusan ini nyatanya harus dibayar mahal. Dihanancurnya PKI dan semua organ yang dianggap seidiologi serta lengsernya Presiden Sukarno tak pelak turut menyeret Pram.
Takdir mungkin sudah menggariskan bahwa ternyata Pram harus menjadi tahanan negara yang kemerdekaannya turut dia diperjuangkan. Menjadi buangan di pulau terpencil, menjadi tahanan rumah, dan terus mendapat label eks tapol di KTPnya. Menjadi warga negara kelas yang diliankan dan dikebiri hak-haknya. Negara yang sama juga melarang bahkan berusaha memusnahkan karyanya dan menghentikan kerja kerasnya. Hebatnya semua dakwaan dan hukuman yang ditimpakan pada Pram sama sekali tak pernah melalui proses peradilan.
Penguasa orde baru menghapus ingatan dan sejarah bahwa Pram juga merupakan seorang yang pernah berjuang. Semua yang pernah dilakukan Pram dengan mempertaruhkan nyawanya bagi negeri ini terhapus dan jadi tak bermakna. Apa yang melekat pada Pram hanyalah bahwa dia seorang komunis yang selalu menggasak lawan-lawannya dengan cara kasar. Seniman yang tak bisa menghasilkan apa-apa kecuali karya-karya pamphlet murahan.
Kini zaman sudah berubah kita yang menikmati hidup paska jatuhnya orde baru bisa menikmati karya-karya Pram tanpa rasa takut. Penguasa bukan lagi penafsir tunggal yang berhak menghadirkan Pram dengan wajah penjahat bengis. Namun masalahnya hari ini adalah apakah kita bisa melanjutkan perjuangan dan amanat Pram yang disampaikan lewat karya-karyanya atau kita akan terlalu sibuk dengan gadget dan dagelan murahan yang hanya membuat tertawa para penonton bayaran. Atau mungkin kita hanya bisa memitoskan Pram dan karya-karyanya. Menjadikan karya-karya Pram komoditas yang menguntungkan layaknya barang antik. Apakah karya-karya besarnya hanya malah jadi simbol kemewahan bagi segelintir kolektor yang tak pernah benar-benar peduli dan paham dengan ide dan cita-cita Pram? Semoga saja tidak.
Pram menaruh harapan besar kepada para pembaca karyanya sebagaimana pernah dikatakannya sendiri, “Saya mengharapkan bahwa apa yang dibaca dalam tulisan saya akan memberikan kekuatan pada pembaca saya, memberikan kekuatan untuk tepat berpihak pada yang benar, yang adil, dan yang indah.” Jadi bisakah kita hari ini menyingkirkan rasa takut untuk berpihak dan memperjuangkan yang benar, yang adil, dan yang indah? Karena mungkin revolusi memang belum selesai dan kemerdekaan masih harus diperjuangkan agar kita dan anak cucu kita kelak menjadi manusia yang adil dan merdeka sejak dalam pikiran.

Sleman, 8 April 2015
Rujukan
August Hans den Boef dan Kees Snoek. (2008). Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir; Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Komunitas   Bambu.
Pramoedya Ananta Toer. (1955). Keluarga Gerilja. Jakarta: Pembangunan.