Posted on Minggu, 17 Januari 2016 Dari Tepian Teror Jakarta
Sisi Gelap di Tepian Teror Jakarta
Oleh Dhani Kurniawan
Jakarta, Kamis 14 Januari
dihantam teror. Tepatnya di kawasan Thamrin serangan brutal berupa tembakan
senjata api dan ledakan bom memakan korban jiwa dan luka-luka. Aksi tersebut
jelas bukan perampokan, penganiayaan atau pembunuhan yang bersifat personal.
Sepak terjang pelaku jelas menunjukkan bahwa mereka menyasar simbol negara dan
pusat keramaian dengan tujuan menciptakan ketakutan massal. Maka serangan
tersebut dapat dikategorikan sebagai teror. Sebelum melangkah lebih jauh
terlebih dulu saya mengucapkan turut berduka cita atas jatuhnya korban terutama
korban meninggal. Melukai apalagi sampai menghilangkan nyawa manusia jika bukan
terhadap musuh dalam keadaan perang atau tindakan pihak berwenang terhadap
pelanggar hukum yang telah diputus peradilan yang adil dan transparan jelas
merupakan tindakan keji dan tak bisa ditolerir.
Para teroris begitulah
biasanya pelaku teror disebut dalam waktu singkat dapat dilumpuhkan oleh pihak
kepolisian. Mereka semua tewas di tempat. Paska kejadian tersebut muncul
berbagai viral di dunia maya dan kisah-kisah yang tak terduga. Ketakutan
barangkali sempat melanda tetapi dengan cepat suasana bergerak kearah lain.
Salah satu titik balik paling kentara adalah ketika salah seorang pengguna Phat
mengupload foto penjual sate yang sedang melayani pembeli. Foto tersebut
menjadi menggemparkan karena di keterangannya dituliskan bahwa si tukang sate
yang belakangan diketahui bernama Pak Jamal berada sangat dekat dengan lokasi
aksi teror. Bayangkan seorang tukang sate bekerja seperti biasa padahal tak
jauh darinya menyalak rentetan bom dan tembakan yang bisa merenggut nyawa siapa
pun. Tak pelak Pak Jamal menjelma menjadi simbol ke-tidak-takutan terhadap teror
sebuah wacana yang juga dibangun oleh negara.
Sosok Pak Jamal menjadi
viral menyedot banyak perhatian (meski segera kalah dengan polisi ganteng).
Publik bertanya-tanya apa yang membuat Pak Jamal tidak takut. Pak Jamal yang
saat itu berjualan sate bersama istrinya lalu berkisah tentang apa yang
sebenarnya mereka rasakan saat itu. Mereka mendengar ledakan dan ketika tahu
bahwa itu suara bom dan tembakan sejatinya mereka juga takut dan berpikir untuk
lari. Namun niatan tersebut urung karena mereka mengkhawatirkan dagangan sate.
Pak Jamal dan istri khawatir dagangan mereka akan hilang jika ditinggal lari. Begitu
mengharukan bahwa bagi orang seperti Pak Jamal dan istrinya keselamatan bisa
dikesampingkan demi menjaga dagangan. Jelas bahwa hanya itulah yang mereka
punya untuk menyokong hidup karena sekiranya mereka punya cadangan atau telah
mengasuransikan dagangannya tentu mereka akan lari. Ternyata ketidaktakutan Pak
Jamal terhadap aksi teror lebih merupakan keterpaksaan. Mereka dipaksa oleh
keadaan oleh kemiskinan. Jadi Pak Jamal telah menjadi simbol dari apa yang tak
diperbuatnya tanpa sekehendak dan sepengetahuannya.
Setelah Pak Jamal tukang sate di dunia maya
muncul foto-foto lain. Mereka pedagang asongan, orang-orang kecil, orang-orang
yang senasib dengan Pak Jamal. Hingga tanpa sadar publik mengamini bahwa
kehidupan arus bawah di Jakarta memang begitu keras hingga aksi teror dengan
bom dan senjata api pun tak sebanding. Bukankah seharusnya ini menjadi berita
yang sangat gawat. Sudah sekeras itukah kehidupan di negeri ini khususnya
Jakarta. Tidakkah ada yang salah dan perlu diperbaiki agar kaum seperti Pak
Jamal bisa mendapat hidup yang lebih baik. Jelas mereka ada bahkan mayoritas
secara kuantitatif. Mereka juga tidak menjadi miskin karena kesalahan pribadi
atau kemalasan semata. Mereka bukan oknum manusia yang menyimpang lalu secara
sistem layak dihukum menjadi miskin. Sayangnya wacana publik tak bergerak kearah
itu.
Orang-orang seperti Pak
Jamal tentu jauh lebih banyak daripada kaum elit ring satu di ibukota. Anehnya
kehadiran mereka pada wacana publik justru sebaliknya. Seringkali keberadaan
Pak Jamal dan orang-orang yang senasib dengannya seolah ada di sisi gelap
panggung kehidupan.[1]
Mereka ada tapi tak terlihat. Betapa jarangnya mereka tampil di media pada era
keterbukaan ini di mana citizen journalism telah menjadi umum. Padahal
merekalah yang banyak berjasa ketika negeri ini dilanda keadaan darurat. Kita
perlu membongkar ingatan kita. Siapa yang paling banyak menanggung beban
revolusi kemerdekaan 1945-1949. Siapa yang paling banyak menanggung derita pada
masa transisi era Sukarno ke era Soeharto. Siapa yang menyokong perekonomian
nasional kita pada masa krisis akhir 1990an. Bahkan ketika teror melanda mereka
kembali muncul sebegai simbol ketidaktakutan. Tragis bahwa segera setelah
keadaan kembali normal mereka kembali ke sisi gelap. Sesekali muncul hanya
sebagai pelengkap dekorasi, atau simbol bagi kepentingan elit seperti para babu
dan jongos dalam foto-foto keluarga Belanda pada masa penjajahan. Keadaan
banyak berubah tapi ternyata tidak dengan posisi mereka. Mereka ada menjalani
kerasnya kehidupan sambil sesekali menatap kearah kaum elit, kaum yang ada di
tempat terang panggung kehidupan hingga selalu terlihat. Mereka, Pak Jamal dan
orang-orang yang senasib dengannya adalah massa rakyat yang tinggal di sisi
gelap panggung kehidupan yang seringkali luput dari pandangan.
Madiun, 17 Januari 2016
[1]
Konsep ini saya pinjam dari W.F Wertheim. Lihat Wertheim, 2009, Elit vs Massa, Yogyakarta: Resist Book,
hlm. 3-4.
0
komentar |