Posted on Rabu, 31 Oktober 2012 Mata Pelajaran Ad Hoc Mata Kuliah Darurat


Mata Pelajaran Ad Hoc Mata Kuliah Darurat
Dhani Kurniawan
                  Judul artikel ini terinspiarsi oleh sebuah pementasan karya MH Ainun Najib. Judul pementasan tersebut adalah nabi darurat rasul ad hoc. Namun sebenarnya tidak ada hubungan antara apa yang akan saya utarakan dengan pementasan tersebut. Saya hanya merasa cocok menggunakan kata Ad Hoc dan Darurat. Saya juga merasa perlu menuliskan bahwa judul artikel ini terinspirasi dari judul pementasan tersebut agar tidak dikatakan plagiat. Apa yang yang tulis ini berkisah tentang kerisauan saya pada dunia pendidikan kita. Kisah ini barangkali hanya pengalaman pribadi seorang siswa atau mahasiswa biasa, tetapi pasti banyak orang lain yang mengalami hal serupa.
Pada waktu saya SMA ada mata  pelajaran baru yang masuk dalam kategori muatan lokal.  Mata pelajaran tersebut adalah PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup). Mata Pelajaran tersebut mangajarkan siswa untuk lebih mencintai dan melestarikan lingkungan. Saya sendiri tidak tahu mengapa mata pelajaran tersebut ditambahkan dalam kurikulum. Anehnya muatan lokal bahasa daerah (bahasa Jawa) justru tidak ada dalam kurikulum sekolah saya. Entah, apakah bahasa daerah tergusur oleh PLH atau memang sejak dulu tidak masuk kurikulum.
PLH sebagai suatu mata pelajaran sebenarnya tidak perlu ada jika semua mata pelajaran di sekolah sudah tercapai tujuannya. Bukankah sudah ada mata pe;ajaran Geografi pada jurusan IPS. Geogarfi tidak sekedar mengajarkan berapa luas daratan, seberapa luas laut atau seberapa besar penduduk Indonesia. Geografi seharusnya mampu menanamkan sikap dan kesadaran pada diri siswa tentang interaksi lingkungan dan manusia sehingga siswa memiliki kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.  Penambahan mata pelajaran PLH apakah berarti kegagalan mata pelajaran Goegrafi. Kalaupun jawabannya iya tidak berarti penyelesaiannya adalah denga menambahkan mata pelajaran baru. Mengapa tidak mengevaluasi, membenahi, dan mengoptimalkan mata pelajaran yang sudah ada.
Keanehan yang lebih parah lagi terjadi karena ternyata mata pelajaran PLH juga diajarkan di jurusan IPA. Bukankah alam adalah jiwa dari jurusan IPA. Apakah semua teori yang ada pada pelajaran rumpun IPA tidak cukup untuk menciptakan sikap sadar lingkungan pada para siswa. Apakah pembelajaran di jurusan IPA hanya sekedar teori-teori kosong yang gagal menyentuh kehidupan nyata para siswa. Mungkin juga karena masalah kelestarian lingkungan yang mendesak di daerah sekitar sekolah. Tetapi alasan yang terakhir rasanya tidak masuk akal karena saya rasa tidak ada masalah lingkungan yang darurat di sekitar sekolah saya.
Setelah lulus SMA kemudian saya melanjutkan ke perguruan tinggi dengan mengambil jurusan sejarah. Ketika saya belajar di perguruan tinggi saya menjumpai kasus yang mirip dengan pengalaman saya di SMA. Ada mata kuliah baru dalam kurikulum, yaitu mata kuliah pendidikan karakter. Meskipun sudah menempuh mata kuliah tersebut dan lulus dengan nilai A tetapi sejatinya saya tidak benar-benar mengerti apa maksud mata kuliah tersebut.
Nama mata kulaih (Pendidkan Karakter) sebenarnya terasa aneh bagi saya. Karakter yang dimaksud dalam kuliah tersebut terasa abstrak dan membingungkan. Materi dalam mata kuliah tersebut lebih mirirp materi Pkn (dulu PPKn) untuk SD. Alasan diadakannya mata kuliah tersebut juga tidak begitu jelas. Karakter mana yang ingin dibenahi atau karakter seperti apa yang ingin dibentuk. Mata kuliah tersebut lebih pada reaksi yang kalab terhadap perilaku atau moral generasi muda yang memprihatinkan.
Mata kuliah Pendidikan karakter seharusnya tidak perlu ada karena ruh dari pendidikan adalah karakter. Lagi pula jika yang dikhawatirkan adalah peroalan prilaku atau moral bukankah seharusnya bisa diatasi dengan mata kuliah yang sudah ada, misalnya pendidikan agama, pendidikan pancasila, dan pendidikan kewarganegaraa. Apakah ini berarti pelaksanaan ketiga mata kuliah tersebut telah gagal total dan sudah tidak bisa dibenahi lagi.
Saya merasa ada sedikit kemiripan pada pengalaman saya pada mata pelajaran PLH dan mata kuliah Pendidikan Karakter. Pertama keduanya sama-sama memaksa untuk diada-adakan. Sebenarnya esensi mata pelajaran dan mata kuliah tersebut sudah ada pada mata pelajaran dan mata kuliah yang selama ini diajarkan. Keduanya ternyata keduanya sama-sama memuat unsur prestisius. PLH mampu mendongkrak nilai tawar SMA saya yang berhasil beberapa kali mendapat anugerah adiwiyata. Sementara itu Pendidikan Karakter mampu memberi nilai lebih bagi Universitas tempat saya kuliah yang mengaku sebagai Leader dalam pendidikan berbasis karakter.
Pendidikan formal seharusnya tidak melupakan makna dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan seharusnya tidak dicampuri kepentingan politik atau prestis sebuah lembaga pendidikan atau pknum-oknum di dalamnya. Kurikulum sebagai kerangka dalam pelaksanaan pendidikan formal seharusnya memperhatikan kebutuhan dari siswa ata mahasiswa. Pendidikan harus dikembalikan ke kodratnya karena pada dasarnya pendidikan adalah untuk siswa atau mahasiswa bukan untuk orang tua, lembaga atau dunia kerja. Kepentingan, prestise, dan banyak hal lainnya dari lembaga pendidik atau oknum-oknumnya telah merusak dunia pendidikan kita.
Yogyakarta, pertengahan September 2012

Posted on Minggu, 21 Oktober 2012 Keruntutan Pemahaman


Keruntutan Pemahaman
Oleh Dhani Kurniawan

Hari ini aku coba mulai menulis atau lebih tepatnya mengerjakan tugas mata kuliah  sejarah filsafat. Pada mata kuliah ini kelompokku mendapat bagian untuk mengkaji tentnag Hegel, tentu terutama tentang pemukirannya yang berkaitan dengan sejarah dan filsafat. Sudah sejak beberapa hari yang lalu aku mulai  mencoba membaca-baca tentang Hegel, aku garis bawai kata atau kalimat yang menurutku penting. Awalnya setelah kelakukan itu proses pengerjaan tugas akan menjadi muah karena aku tinggal merangkai bagian-bagian yang sudah ku tandai.
Aku mulai mengerjakannya dengan menuliskna riwayat singkat Hegel. Pekerjaan awal ini tidak terlalu sulit. Meskipun hanya ada sedikit informasi tentang riwayat hidupnya tak masalah, toh bukan itu fokus tugasku. Selanjutnya aku ulai mencoba menulis tentang pemikirannya. Pada tahap inilah kesulitan aku temui. Aku tidak punya gambaran yang mantap tentang sistematika dalam menulis pemikiran yang belum begitu aku pahami. Aku bolak-balik buku yang ada di dekatku, juga file pdf di laptopku. Aku berusaha membacanya kembali agar aku paham dan dapat meyusun kerangka tulisannku nanti. Ku bacai lagi tulisan yang kemarin sudah aku tandai. Tapi tak semudah yang ku harapkan.
Kebingungan ini membawaku untuk membaca tulisan tentang apa itu filsafat sejarah. Itu pun harus dimulai dengan kembali memahami apa itu sejarah. Padahal tentang apa itu sejarah sudah tidak seharusnya aku masih bertanya-tanya. Tetap tetap saja aku harus bangun kembali pemahamanku yang samar. Setelah aku baca dan coba pahami tentang apa itu filsafat sejarah, perlahan aku baru tahu apa kesalahanku. Kesalahan terbesarku adalah mencoba memahami pemikiran hegel padahal aku belum paham apa itu filsafat sejarah
Perlahan aku mulai sadar tentang kesalahanku yang paling mendasar. Aku terlalu sombong, melompat-lompat dalam mempelajari ilmu. Ternyata ilmu memang harus dipelajari secara runtut, secara menyeluruh, tidak boleh melompat-lompat secara serampangan. Dampak  buruk terkecil dari pelompatan dalam mempelajari ilmu adalah seperti yang aku alami. Kesulitan mendapatkan pemahaman, konstruksi, dan gamabaran. Apa yang nampak hanyalah potongan kalimat-kalimat yang seolah bijak dan punya kekuatan besar. HAnya potongan-potongan kalimat yang tidak memberikan pemahaman tentang apapun.
Mengapa aku bilang itu dampak uruk terkecil, tentu karena aku yakin ada dampak buruk yang lebih besar. Kebingungan setidaknya lebih baik daripada salah pemahaman. Salah pemahaman akan menggiring seseornag ke arah yang tidak jelas. Arah yang tidak dituntun oleh apa yang dibacanya, juga oleh kesadarannya yang utuh. Tidak menutup kemungkinan dia akan tersesat dan yang paling berbahaya adalah jika dia teguh dalam kesesatannya.
HMPS 21 Oktober 2012

Posted on Selasa, 02 Oktober 2012 Berani Beda


Menjadi Beda
Oleh Dhani Kurniawan

“Berbahagialah mereka yang terperangkap dalam keterasingan karena memperjuangkan kemerdekaan”

Orang bilang hidup adalah pilihan. Kita selalu bisa memilih dalam situasi apapun. Orang biasanya ribut dengan pilihan yang mana yang akan dipilihnya. Namun masalah sebenarnya adalah setelah pilihan sudah dibuat akan ada harga yang harus dibayar.
Menjadi beda juga adalah sebuah pilihan. Tidak banyak orang yang berani menjadi beda. Padahal perbedaan adalah seuatu yang indah. Lebih dari itu menjadi beda sebenarnya berarti menegaskan eksistensi seseorang. Orang yang hanya mengikuti arus pada dasarnya dia telah hilang, larut dalam arus yang membawanya.
Setiap orang telah dibekali dengan nurani. Nurani sejatinya secara Universal mengakui nilai-nilai kebaikan. Apakah ada orang yang suka dibohongi, dianiaya, dan ditindas ? Tentu jawabannya tidak, terutama jika orang itu benar-benar waras. Namun mengapa hari ini kita sulit mendapati orang yang setia pada nuraninya ?
Hari ini menjadi orang yang setia pada nuraninya ternyata juga berarti menjadi orang yang berbeda. Orang yang berbeda apapun alasannya hampir pasti mendapat tentangan dari lingkungannya, paling tidak pada awalnya. Selanjutnya ada dua kemungkinan. Pertama orang tersebut akan menghilangkan perbedaan karena lingkunganmengikutinya. Kedua dia akan kehilangan perbedaan karena lingkungan menyeretnya dalam arus mayoritas. Barangkali yang kedua lebiha banyak terjadi.
Dunia telah menjadi saksi bahwa ternyata orang yang berbeda dan bisa menghilangkan perbedaan dengan membikin lingkungan mengkikutinya akan menjadi orang yang menjadi orang yang dikenang dan namanya dicatat dalam sejarah. Hanya orang-orang yang terpilih saja yang akan dikenang dan tercatat namanya dalam sejarah. Sayangnya hanya ada sedikit orang yang mampu bertahan sebagai orang yang berbeda. Lebih sedikit lagi orang yang mampu menghilangkan perbedaan dengan membuat lingkungan mengikutinya.