Posted on Senin, 29 Februari 2016 Meraba Tirani Korporasi




Meraba Tirani Korporasi*
Oleh Dhani Kurniawan

Sejak zaman pencerahan sampai pada abad dua puluh gelaran peradaban merupakan lahan tumbuh suburnya ideologi-ideologi. Sederat ideologi yang lahir merupakan cerminan pergumulan manusia mencari pandangan dunia guna memahami keberadaannya. Pergumulan tersebut memuncak pada abad 20 dalam pertarungan antara dua kutub ideologi. Pada kutub kiri sebagai perwujudan dari cita-cita kolektivesme radikal mengkristal menjadi komunisme sementara di kutub kanan sebagai perwujudan dari cita-cita individualisme radikal mengkristal menjadi liberalisme. Dua kutub tersebut membuat dunia seolah terbelah dua, blok komunis yang dipimpin Uni Soviet dan blok liberal yang dipimpin Amerika.
Tentu cara pandangan seperti ini sangat mengeneralisir dan mengabaikan pergolakan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Cara pandang yang dengan tegas ditolak oleh Sukarno. Ada banyak negara di dunia terutama negara yang baru terlepas dari jerat penjajahan seperti Indonesia menolak bergabung dalam salah satu dari kedua kutub tersebut. Indonesia telah mengukuhkan jalannya sendiri yang berpijak pada dasar negara Pancasila. Sejarah membuktikan bahwa kita tak punya pilihan selain memilih merapat di salah satu blok besar. Kita dipaksa memilih hanya dari pilihan yang ada. Negeri ini terseret antara dua kutub besar dan harus membayar mahal untuk setiap keputusan yang diambil. Kecenderungan kiri telah menyebabkan Sukarno digerogoti dan dipaksa lengser. Juga dihancurkannya gerakan-gerakan kerakyatan dengan penyiksaan dan pembantaian yang mengerikan. Lalu kecenderungan ke kanan yang dipilih Soeharto telah mengantarkan negeri ini tunduk pada skenario menjadi negara dunia ketiga. Kita makin mantap mengukuhkan posisi sebagai negara penyetok komoditas, tenaga kerja murah serta pasar bagi negara industri blok kanan.
Berakhirnya abad dua puluh sekaligus mengantarkan kita menapaki babak baru sejarah peradaban umat manusia. Uni Soviet runtuh diikuti oleh jatuhnya presiden Soeharto. Blok kiri dan seluruh teori komunis mengalami kemerosotan reputasi. Blok kanan tak butuh lagi rekan penguasa dunia ketiga yang mengelola negara dengan tangan besi. Seolah kita telah melewati masa-masa melelahkan pertarungan ideologi. Secara resmi negara ini memang masih Pancasila. Namun lihatlah arah kebijakan-kebijakan strategis dan tidak akan sulit untuk mengenali diam-diam kita masih merapat ke kanan. Apakah liberalisme yang mengasumsikan berpadunya ekonomi liberal dan politik demokrasi sebagai pilihan ideal telah menjadi mutlak. Benarkah itu semua membawa kebaikan terutama bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia.  
Mari perlahan kita meraba apa yang sedang menuntun kita. Babak baru macam apa yang tengah kita masuki. Saya akan mulai dengan mempertanyakan paduan antara ekonomi liberal dan politik demokrasi. Benarkah politik yang demokratis hanya bisa tumbuh di tengah sistem ekonomi yang liberal. Saya tak akan mempertanyakan demokrasi karena demokrasi bagi saya sampai saat ini masih merupakan jalan terbaik. Tentu demokrasi yang saya maksud adalah demokrasi substansial di mana pemerintahan benar-benar dijalankan untuk rakyat dan sepenuhnya dalam kendali rakyat. Bukan demokrasi seremonial di mana rakyat hanya punya hak pilih di TPS tetapi selanjutnya tak punya akses sama sekali terhadap jalannya pemerintahan.
 Pasca jatuhnya Soeharto kita didorong untuk membuka kran-kran ekonomi sebagai penyeimbang tatanan politik yang secara formal makin liberal. Liberalisasi ekonomi mengasumsikan semakin terkikisnya monopoli ekonomi oleh negara dan penguasa. Maka banyak sektor yang dulunya dikelola negara dilepas ke swasta. Beberapa pihak mengklaim ini sebagai proses demokratisasi ekonomi. Sayangnya proses itu juga berarti merupakan proses pelepasan pengelolaan yang berbasis publik ke privat. Negara punya tanggungjawab ke publik dan tidak boleh beroriantasi laba. Sementara itu swasta bertanggungjawab ke pemilik modal dan beroriantasi laba. Negara bagaimanapun adalah lembaga publik yang secara resmi rakyat punya hak atasnya sementara swasta adalah lembaga privat di mana rakyat tidak punya hak atasnya. Tepat di titik ini kita mulai melihat ada sesuatu yang ganjil.
Masalah lebih ruet lagi ketika kita menyadari bahwa pihak swasta yang merangsek bukanlah usaha-usaha yang berakar pada usaha rakyat kebanyakan. Swasta yang paling memenuhi syarat untuk bertarung adalah mereka yang telah memiliki akumulasi modal besar dan koneksi pada penguasa. Perusahaan swasta besar tersebut, yang setelah ini akan saya sebut korporasi. Mereka adalah elit yang tumbuh karena perlakuan istimewa dari penguasa. Pada kasus Indonesia kelompok ini adalah para korporat lingkar dalam Soeharto. Mereka menjadi besar tidak lepas dari hak-hak istimewa yang di dapat dari penguasa yang sangat protektif dan monopolistik. Kita bisa meraba, apa yang terjadi pada dasarnya bukan melepas monopoli dari pemerintah otoriter ke publik demokratis tetapi dari pemerintah otoriter ke tirani korporasi. Suatu tirani model baru yang lebih halus tapi tak kalah mematikan daripada tirani birokrasi dalam negara totaliter.
 Liberalisasi bahkan penerapan kebijakan pasar bebas pada level internasional dalam prakteknya tak bisa dikatakan sebagai demokratisasi ekonomi. Sama sekali tak ada persaingan yang adil. Orang-orang sepeti Noam Chomsky dan David C. Korten telah dengan terang benderang mendedah bahwa liberalisasi ekonomi hanya omong kosong. Apa yang terjadi adalah pemusatan penguasaan ekonomi pada korporasi transnasional yang mampu menembus batas-batas negara. Tentu saja konyol memaksa negara-negara dunia ketiga bertarung di satu arena dengan korporasi transnasional yang mendapat dukungan penuh pemerintah negara besar. Kita bisa melihat kasus sederet mega korporasi besar yang berinduk di Amerika Serikat. Mereka benar-benar mendapat dukungan penuh untuk invasi ke luar. Kita tak perlu jauh-jauh membayangkan karena kasus itu telah dengan telak mengenai kita. Soal Freeport McMoran misalnya. Bukankah keberhasilan korporasi tersebut tumbuh besar dan mencengkram Indonesia tak lepas dari dukungan pemerintah Amerika Serikat.
 Politik yang demokratis tak akan pernah tercipta dengan iklim yang demikian. Korporasi punya sifat yang sangat tertutup bahkan totaliter. Semua berlangsung dalam alur komando yang ketat dari atas ke bawah. Korporasi diam-diam telah membajak cita-cita kemerdekaan Indonesia yang dituangkan secara gamblang dalam tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan negara diam-diam berubah sesuai agenda korporasi. Keuntungan maksimal bagi perusahaan. Rakyat kehilangan kontrol terhadap negara. Korporasi akan berusaha meminimalisir akses publik pada jalannya pemerintahan. Mereka tak akan segan memastikan negara dijalankan oleh orang yang mendukung agenda korporasi. Kalau pun ada demokrasi itu tak lebih dari seremoni demokrasi top down. Suara rakyat hanya akan menjadi legitimasi. Sementara tentang jalannya pemerintahan yang sebenarnya kita tak akan dibiarkan menjangkaunya. Kita harus segera bangun dari ilusi demokrasi yang diciptakan oleh tirani korporasi. Bukan usaha yang mudah karena akses informasi berpengaruh yaitu media besar arus utama adalah juga bagian dari korporasi akan menjaga ilusi nampak nyata. Menjerat kita untuk terus ada di dalamnya. Negeri ini dalam beberapa hal mengikuti pola Tirani Korporasi yang telah terjadi di Amerika Serikat.

Madiun, 28 Februari 2016
*Istilah Tirani Korporasi saya pinjam dari Noam Chomsky
Saya berhutang besar pada Noam Chomsky dan David C. Korten, tulisan ini merupakan usaha saya memahami pemikiran mereka dalam konteks Indonesia.

Rujukan
Chomsky Noam. 2015. How the World Works. Terjemahan Tia Setiadi. Yogyakarta: Bentang.
Korten C. David. 2002. The Post-Corporate World: Kehidupan Setelah Kapitalisme. Terjemahan A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Posting Komentar