Posted on Sabtu, 27 September 2014 Kehendak Jiwa yang Lemah
Kehendak Jiwa yang Lemah
oleh Dhani Kurniawan
oleh Dhani Kurniawan
Indonesia adalah Negara
bangsa yang telah menyatakan diri sebagai kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945.
Salah satu yang unik dari Indonesia adalah proses terbentuknya bangsa telah
terjadi sebelum proses terbentuknya negara. Meski demikian saya tidak ingin
terburu-buru menyatakan bahwa proses tersebut telah selesai ketika Indonesia
merdeka. Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan masih terus berproses
membangun suatu yang bersifat non fisik yang populer di sebut sebagai karakter
bangsa. Sukarno bahkan dalam salah satu pidatonya pernah menyatakan bahwa tugas
utama yang dimandatkan kepada adalah membangun karakter, membangun mental
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka yang memiliki pengalaman
pahit penjajahan.
Tugas tersebut menurut
saya telah dilaksanakan dengan baik oleh Sukarno. Bangsa Indonesia selama masa
kepemimpinannya telah pengalami perubahan mental yang luar biasa. Bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang bangga atas dirinya sendiri dan diperhitungkan
dalam kancah internasional. Ya, jika ditanya apa keberhasilan Soekarno maka
bagi saya dua hal itu jawabannya, pembangunan mental dan posisi dalam kancah
internasional. Sayangnya Soekarno ternyata harus menyaksikan apa yang
diperjuangkannya terputus di tengah jalan. Sejumlah sejarawan lalu mengatakan
bahwa revolusi telah berhenti (mungkin lebih tepat dihentikan atau terpenggal)
di tengah jalan.
Sepeninggalan Seokarno,
Indonesia seolah-olah berpindah rel, terjadi desukarnoisasi, depolitisasi
rakyat, pengkondisian yang menghasilkan massa pasif dan apolitis. Pemerintah
berkuasa atas nama negara dan atas nama rakyat menjalankan mesin raksasa dalam
menjalankan dan menjaga kekuasaannya. Militer, pengusaha, kekuatan asing,
penguasa lokal yang semakin korup menjalin sebuah hubungan gelap dan diam-diam
menghisap rakyat. Ilusi kemakmuran, kedamaian, dan nasionalisme diciptakan
menjaga agar rakyat tetap tidur pulas semabari diam-diam anjing-anjing pemburu
menyikat setiap benih-benih yang dianggap terlalu radikal dan membahayakan negara.
Pada era inilah
tercipta kultur yang benar-benar bisa dikatakan paling feodal. Struktur
pemerintahan semakin mendekati sebuah monarki absolut daripada sebuah republik.
Presiden adalah penguasa tertinggi, MPR hanya pemegang stempel, dan DPR seperti
yang dikatakan Iwan Fals “Cuma tahu nyanyian lagu setuju”. Pada masa ini juga
simbol-simbol yang berasal dari masa yang lebih tua kembali muncul. Bahkan
sebenarnya sejak awal kelahirannya Orde Baru telah mereproduksi symbol-simbol
teruatam dari kebudayaan Jawa. Pernahkah kita berpikir mengapa Orde Baru
menyebut SUPER SEMAR padahal Sukarno selalu menyebutnya SP 11 Maret ? Mungkin
ada banyak jawaban dari pertanyaan tersebut, termasuk jawaban-jawaban yang akan
sangat spekulatif. Satu hal yang pasti jika kita kembali ke budaya Jawa
terutama dunia wayang kulit. Semar dalam dunia pewayangan adalah sosok yang
mempunyai peran sentral. Siapa pun jika dikawal dan direstui oleh Semar dapat
dipastikan akan menjadi pemenang. Lebih penting lagi bahwa Semar selalu menjadi
pelindung pihak yang benar. Siapa pun yang di “bekingi” oleh Semar dialah yang
benar, yang baik, tokoh protagonist yang tak bisa diganggu gugat.
Celakanya pada masa ini
mentalitas rakyat kembali membusuk. Penguasa menempatkan dirinya sebagai
“Bapak” yang bijak, tahu segalanya, tidak pernah salah, dan kadang harus
bersikap tegas (sebenarnya lebih cocok disebut kejam). Rakyat dibentuk menjadi
anak-anak yang harus selalu dididik, diawasi, hanya tahu mematuhi perintah, dan
sesekali perlu dihukum jika dianggap mulai berani melawan “Bapak”. Hebatnya
rezim ini mampu bertahan selama 32 tahun dan meninggalkan warisan yang luar
biasa (termasuk warisan hutang, konsensi untuk pihak asing, dan kemerosotan
mental).
Sekarang lebih dari sepuluh tahun sejak
jatuhnya Orde Baru, dan lebih dari enam puluh tahun sejak Proklamasi kemerdekaan
apa kita sudah memiliki mentalitas bangsa yang merdeka ? Ya, saya sepakat bahwa
rakyat kita sangat nasionalis, bangga dengan Indonesia, dan rela mengorbankan
banyak hal untuknya (terutama ketika timnas Sepak Bola sedang bertanding). Lalu
bagaimana di tingkat elit ? Oh, saya kira mereka juga sangat nasionalis.
Buktinya berapa banyak kebijakan (yang seringkali tidak bijak) yang dikeluarkan
dengan dalih mengejar ketertinggalan, mengangkat derajat Indonesia di mata
dunia, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain, agar mendapat predikat standar
Internasional, dan dalih-dalih sejenis lainnya, Nasionalis ? Bagi saya yang
Nampak justru bangsa ini (setidaknya beberapa oknuk elit penguasa) adalah
orang-orang bermental cacat.
Mungkin terlalu keras
tapi saya sepakat dengan Nietzche mereka adalah orang-orang bermental cacat.
Mengapa harus mencari-cari alas an dari luar untuk membuat sebuah kebijakan
bagi rakyat dinegerinya sendiri ? Mengapa harus membanding-bandingkan Indonesia
dengan negara lain lalu bilang bahwa “kita masih tertinggal, masih kalah, dan
harus mengejar ketertinggalan, harus berjuang agar sejarar ?” Jika Indonesia
adalah bangsa yang baru saja merdeka alasan-alasan tersebut masih bisa diterima
tapi setelah hampir tujuh puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan itu adalah
hal aneh. Jangan-jangan mereka memang hanya mengejar “label’ dan keadaan real
rakyat serta tujuan negara sebagaimana diamanatkan konstitusi adalah perkara
yang tidak terpikirkan ? Mudah-mudahan tidak. Ya, semoga saja tidak.
Yogyakarta, September 2014
0
komentar |