Posted on Minggu, 17 Maret 2013 Pram dan Tetralogi Buru


Pram dan Tetralogi Buru
Oleh Dhani Kurniawan
“Aku ingin menulis sebuah roman besar dalam hidupku, dan setiap pengarang bercita-cita menghasilkan karya abadi, dibaca sepanjang abad, dan lebih baik lagi: dibaca oleh umat manusia di seluruh dunia di sepanjang jaman”
(Pramodya Ananta Toer)
Pram atau lengkapnya Pramoedya Ananta Toer, siapa kenal seorang ini ? Jujur saya sendiri seumur hidup mulai bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi tak pernah sekalipun menemukan namanya dalam buku-buku bahan ajar. Para guru dan dosen saya juga tak seorang pun pernah menyebut apalagi memeprkenalkan nama ini. Kalau pun ada satu orang dosen yang menyebut nama Pram bahkan mengaguminya justru dia adalah seorang dosen tamu dari Australia. Max Lane (nama dosen tamu tersebut) memberikan pernyataan mencengangkan ketika ditanya siapa sejarawan Indonesia yang paling dikaguminya. Pramoedya Ananta Toer, itulah jawabannya. Saya tentu bingung bagaimana mungkin seorang sejarawan besar yang dikagumi diluar negeri tidak dikenal di negerinya sendiri ? Tapi itulah kenyataan.
Perkenalan saya dengan Pram bisa dikatakan sebagai perkenalan yang tidak pernah terduga. Pertama kali saya dengar tentang Pram, adalah saat kejadian yang sempat saya singgung di atas. Kejadian tersebut adalah saat saya mengikuti kuliah dengan dosen tamu dari Victoria University, Max Lane begitu sang dosen akrab di sapa. Pada kuliah tersebut dia menyatakan bahwa Pram adalah sejarawan Indonesia yang paling dia kagumi. Waktu itu saya sama sekali tidak tahu siapa itu Pram. Bahkan mungkin itulah pertama kali saya dengar namanya. Meskipun terkejut, tidak serta merta saya mencari tahu siapa itu Pram dan apa sumbangannya bagi penulisan sejarah Indonesia. Aneh, kebetulan secara tidak sengaja tidak berselang lama saya tak sengaja menonton sebuah acara di stasion tv swasta (tv One dalam sebuah program yang mengupas tentang tokoh penting di Indonesia), dan yang menjadi pembahasan di acara tersebut adalah Pram. Perkenalan saya berlanjut, ada seorang senior saya sedang menbaca sebuah karangan Pram, tetapi saya masih saja pasif. Perkenalan lebih mendlan terjadi ketika saya entah dengan dorongan apa membeli kemudian membaca salah satu roman karangannya yaitu Anak Semua Bangsa.
Perlahan saya mulai mengenal Pram dan tahu menangapa saya tidak mengnalnya lewat buku-buku bahan ajar atau guru/dosen saya. Rezim Orde Baru tidak rela jika rakyat terutama generasi muda Indonesia kenal Pram. Buku-bukunya dilarang terbit, naskah-naskahnya dibakar,  Pram sendiri dijadikan tahanan politik, menjadi orang buangan, diasingkan di Pulau Buru. Bahkan pernah terjadi di Yogyakarta mahasiswa dipenjara hanya karena menjual, membaca buku karangan Pram. Alasannya ? Persangkutan Pram dengan Komunis, dituduh Komunis, PKI. Karyanya akan meracuni setiap yang membaca. Padahal jika kita mau lebih membuka mata, Pram tidak pernah menyatakan bahwa dia seorang komunis. Apa karena dia salah satu petinggi LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat, sebuah lembaga kebudayaan yang beranggotakan orang-orang komunis dan non komunis) lantas dapat dikatakan pasti komunis ? Bahkan apabila LEKRA menolak dikatakan Komunis ?
Buru tempat Pram dan para tahanan politik lain dibuang adalah sebuah pulau dalam rangkaian kepulauan Maluku. Tulisan yang mampu memberi gambara kehidupan para tapol di pulau tersebut adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kumpulan catatatan Pram yang berhasil diselamatkan dan dibukukan. Pada saat kedatangan para tapol Buru masih dalam keadaan yang cukup tertinggal. Penduduk setempat belum mengenal pertanian sebagaimana di Jawa dan hidup semi nomaden. Para tapol ditugasi kerja paksa paksa untuk membangun pulau Buru. Membabat lahan savana dan hutan masih muda untuk dibangun sebagai pemukiman, jalan, dan pertanian.  Tanah yang tidak subur keterbatasan peralatan dan pengetahuan tentang pertanian membuat tugas tersebut menjadi sangat berat. Bahkan pernah suatu ketika para tapol harus membuka lahan alang-alang gersang dengan tangan telanjang, hasilnya tangan mereka berdarah-darah. Kebutuhan hidup sebagai tahanan seharusnya ditanggung oleh negara tetapi kenyataannya menggantungkan diri pada jatah yang diberikan negara sama menyerahkan diri pada kematian perlahan. Para tapol harus berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri dengan pertanian dan peternakan yang diusahakan sendiri, terkadang secara sembunyi-sembunyi. Keadaan yang sangat terbatas dengan beban kerja paksa yang berat masih diperparah lagi dengan munculnya pungutan yang masuk kantong pribadi para oknum militer yang bertugas di pulau tersebut.
Segala keterbatasan, tantangan dan hambatan tidak mampu menghentikan Pram dari keinginannya untuk menulis. Justru dalam keadaan tersebut lahirlah salah satu karya monumentalnya yaitu Tetralogi Buru. Meski demikian Pram sempat mengalami masa-masa dimana dia kehilangan kepercayaan diri akan kemapuannya menulis. Sangat dimaklumi apa yang dirasakan oleh Pram, mengingat segala rintangan dan keterbatasan yang menerpanya. Tetralogi Buru terdiri dari empat roman (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) yang mengisahkan periode kebangkitan nasional bangsa Indonesia, karena terdiri dari empat roman dan terlahir di pulau Buru maka karya tersebut populer disebut Tetralogi Buru. Keinginan untuk menulis roman tentang periode kebangkitan sebenarnya sudah lama dicita-citakan oleh Pram. Dia bahkan telah melakukan serangkain riset dan persiapan yang panjang dan memakan biaya besar guna mewujudkan impiannya tersebut. Takdir tak bisa ditolak, semua hasil jerih payahnya musnah dan Pram sendiri masuk tahanan. Semua arsip, buku, miliknya dan beberapa koleksi yang dipinjamnya dari perpustakaan nasional hancur, dirmapas, hilang entah kemana, bahkan rumahnya diduduki militer, beruntung keluarganya selamat. Itu semua terjadi pada 1965 karena sebuah peristiwa yang sama sekali Pram sendiri tidak tahu menahu.
Segala keterbatasan dan hambata yang dialami di pulau Buru membuat Pram sendiri tidak puas denga karya yang dihasilkanannya. Kekurangan sumber membuatnya disergap ketakuatan dituduh memalsukan sejarah. Menurut Hilmar Farid dari Institut Sejarah Sosial Indneisa ketakutan itulah yang membuat Pram memilih format roman untuk karyanya. Keempar roman tersebut sebenarnya merupakan hasil yang tidak diharapkan dari keinginana Pram untuk menulis Historiografi. Saya sependapat jika kekurangan sumber menyebabakan Pram khawatir dituduh memalsukan sejarah tetapi saya kurang setuju jika dikatakan pemilihan format berupa roman merupakan akibat dari kekhawatiran tersebut. Pendapat saya ini berpijak pada apa yang diungkapkan oleh Pram sendiri.
“Aku ingin menulis sebuah roman besar dalam hidupku, dan setiap pengarang bercita-cita menghasilkan karya abadi, dibaca sepanjang abad, dan lebih baik lagi: dibaca oleh umat manusia di seluruh dunia di sepanjang jaman.[1]
Memang persiapan untuk ini telah lama kulakuakn sebelum 1965 dengan menghimpun bahan otentik, wawancara, membaca, menyiarkan bahan-bahan yang didapat itu sedikit demi sedikit melalui pers untuk mendapat perbaikan dan tambahan, dan semuanya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit[2]

            Pram memang tidak pernah mengaku sebagai sejarawan. Setiap karyanya juga tidak dikalim sebagai historigrafi, dia lebih suka menyebut dirinya pengarang. Pram juga tidak pernah terlibat dalam perdebatan dengan sejarawan profesional, tidak pernah terlibat dalam seminar mengenai sejarah nasional, dia bekerja dengan caranya sendiri. Meski demikian patut diperhatikan bahwa cara kerja Pram adalah cara kerja sejarawan. Dia telah melakukan tahapan-tahapan yang disayaratkan untuk menysusn sebuah historiografi. Pada akhirnya terserah orang mau menggelari Pram sejarawan, pengarang, atau seniman, dan mengatakan karyanya sastra atau historiografi yang jelas cita-citanya telah tercapai. Menulis roman besar yang dibaca sepanjang zaman oleh manusia di seluruh dunia. Tetralogi Buru telah diterjemahkan dan diterbitkan diberbagai negara di seluruh belahan dunia.


[1] Anata Toer, Pramoedya.2000.Nyanyi Sunyi Eorang Bisu._:Hasta Mitra. Hal. 118
[2] Ibid. 119

Posted on Rabu, 06 Maret 2013 Trikora


Selayang Pandang Trikora dan Papua
oleh Dhani Kurniawan
Belanda pada 29 Desember 1945 resmi mengakui kemerdekaan Indonesia ditandai dengan penyerahan kedaulatan. Wilayah yang diakui sebagai bagian dari Indonesia adalah seluruh bekas jajahan Belanda dulu minus Papua.[1] Indonesia telah menetapkan bahwa seluruh wilayah bekas jajahan Belanda di Hindia adalah wilayahnya sementara itu Belanda enggan melepas Papua. Pada tahun 1950an di Indonesia terjadi kampanye besar-besaran menuntut diserahkannya Papua kepada Indonesia. Kampanye merupakan bagian dari kampanye besar yang mengkehendaki pengambilalihan perusahaan Belanda oleh serikat buruh. Perkembangan selanjutnya menunjukkan kampanye tentang Papua mendapat banyak dukungan baik dari rakyat mauppun pemerintah Indonesia.[2]
Belanda semenjak kalahnya kekuatan Jepang di Papua dalam usahanya mencegah Papua masuk menajdi bagian Indonesia telah berusaha menanamkan pengaruhnya. Pada tahun 1944 Resident J.P. van Eechoud yang terkenal dengan nama “vader der Papoea’s” (bapak orang Papua) mendirikan sekolah polisi dan sekolah pamongpraja di Holandia (Jayapura sekarang). Pendirian sekolah ini bukan semata-mata untuk mencerdsakan rakyat Papua namun lebih kepada usaha membetuk kelompok terdidik yang pro Belanda. Meski demikian ketika berita proklamasi 17 Agustus sampai di Papua ada sebagian dari kelompok terdidik tersebut yang pro Indonesia. Terbukti pada  1946 di Serui, Silas Papare dan sejumlah pengikutnya berhasil mendirikan organisasi politik pro Indonesia bernama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian. Nama Irian untuk menunjuk Papua muncul pada konferensi Malino pada tanggal 1946 yang dipimpin oleh Van Mook.[3] Belanda tidak menggunakan Irian dan lebih memilih menggunakan Papua atau Gueinea karena nama Irian telah digunakan oleh pihak Indonesia.
Sengketa yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda mendorong menteri luar negeri Belanda Dr. Joseph Luns pada 28 November 1961 mengajukan masalah tersebut ke dalam sidang PBB. Dia mengajukan pemecahan masalah dengan sebuah rencana yang terdiri dari emapt pasal. Isi keempat pasal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama harus ada jaminan tentang adanya suatu undang-undang penentuan nasib bagi orang Papua/Irian. Kedua, harus ada kesediaan sampai terbentuknya pemerintah dengan persetujuan internasional. Ketiga, sehubungan dengan kesediaan tersebut juga akan diberikan kedaulatan. Keempat, Belanda akan terus membiayai perkembangan masyarakat. Ke taraf yang lebih tinggi.[4]
           
Sebelum Dr. Joseph Luns mengajukan masalah tersebut kepada PBB di Irian sendiri terjadi sebuah peristiwa yang dikemudian hari menimbulkan kontroversi. Pada tanggal 1 November 1961 bendera nasional Papua (Bintang Kejora) dikibarkan sejajar atau bersamaan dengan bendera Belanda dan pada saat itu dinyanyikan lagu kebangsaan Papua. Kegiatan ini tersiar cepat ke seluruh wilayah Papua yang terjangkau aparata Belanda dan ke dunia luar.[5] Peritiwa ini dikemudian hari oleh sebagian kelompok di Papua diklaim sebagai hari kemerdekaan dan menjadi dalih perjuangan merdeka lepas dari Indonesia.
Indonesia menjawab tindakan provokatif Belanda dengan mencetuskan Tri Komando Rakyat (TRIKORA). TRIKORA dicetuskan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isi TRIKORA adalah sebagai berikut.
1.      Gagalkan pembentukan “Negara Papua” buatan Belanda kolonial
2.      Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3.      Bersiaplah untuk mobilisasi umum[6]
Tindakan Indonesia terkait masalah Irian tidak lepas dari politik luar negeri yang dijalankan saat itu yang anti kolonialsme dan imperialisme. Perlu juga untuk diingat bahwa dunia saat itu sedang dilanda perang dingin dimana dua kekuatan besar sedang bertarung dan hampir pasti ikut campur dalam konflik di berbagai belahan dunia. Indonesai yang pada awalnya menyatakn sikap Non Blok atau tidak memihak dalam perkembangannya sulit mempertahankan posisi netralnya. Indonesia pada kenyataannya berusaha mencari dukungan baik kepada Amerika Serikat maupun Sovjet.[7] Pada awalnya Indonesia memang berhasil memainkan peranan unik dimana karena berhasil mendapat dukungan Amerika maupun Sovjet namun kondisi tersebut tidak bertahan lama.
Diplomat  Amerika  Elsworth  Bunker mengajukan  Bunker  Plan  sebagai  pemecahan masalah  Papua.  Bunker  Plan  merupakan  sebuah rencana  dimana  Papua  harus  diserahkan  kepada PBB  baru  kepada  Indonesia.  Setelah  dibawah naungan  Indonesia  Papua  harus  diberi  kesempatan untuk  referendum.  Selanjutnya  pada  15  Agustus 1962  Indonesia,  Belanda  dan  PBB menandatangani New York Agrement Perjanjian Newyork). Mulai saat itu  juga  Paua  berpindah  menjadi  wewenang  PBB selanjutnya pada 1 Mei 1963 berpindah tangan dari PBB ke  Indonesia.[8]
Pada pasal XVII Perjanjian Newyork diatur secara rinci tentang pelaksanaan sebuah penentuan nasib sendiri (Act of Free Choice). Pasal tersebut berisi empat butir sebagai berikut.
1.            Konsultasi atau musyawarah dengan sembilan dewan perwakilan mengenai prosedur dan cara-cara untuk mengetahui kebebasan kehendak rakyat.
2.            Dalam jangka waktu ditetapkan oleh persetujuan tersebut, ditentukanlah tanggal yang pasti untuk pelaksanakan Act of Free Choice.
3.            Suatu formulasi yang jelas sehingga penduduk dapat menentukan apakah mereka ingin tetap bergabung dengan Indonesia.
4.            Suatu jaminan bagi semua penduduk pribumi untuk ikut memilih dalam rangka penentuan nasib sendiri yang akan dilakuakn sesuai praktek internasional.[9]
Terjadi  arus  balik  dalam  perpolitikan Indonesia  pada  tahun  1965.  Urusan  Papua
menjadi  proyek  OPSUS  dengan  pemimpinnya jenderal  Ali  Moertopo.  Antara  Juli  sampai Agustus  1969  dilaksanakan  Act  of  Free  Choice. Apa  yang  terjadi  bukanlah  referendum,  1025  orang yang  dipilih  oleh  OPSUS  dikumpulkan  di  suatu tempat  (tidak  bisa  keluar  meskipun  bukan  penjara) dan  diminta  mufakat.  Hasilnya  100%  setuju  masuk Indonesia, dan Irian Jaya menjadi bagian Indonesia. Dunia  internasional,  PBB, termasuk  Amerika  dan  Autralia menerima  dan  mendukung  tindakan  Indonesia. Sejak  1969  status  Papua  sebagai  pro


[1] Riclefs M.C.2010.Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.Jakarta:Serambi. Hal. 448
[2] Max Lane dalam kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional di ruang ki Hajar 11 Desember 2012
[3] Djopari JRG.1993.Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka.Jakarta:Gramedia Widia Sarana. Hal. 30-31
[4] Ibid hal 35
[5] Ibid. hal 36
[6] Taufiq Adrianto, Tuhana.2001.Mengapa Papua Bergolak.Yogyakarta.Gama Global Media. Hal. 17-18
[7] Gazali Zulkifli dkk.1989.Sejarah Politik Indonesia.Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 115-116
[8] Max Lane dalam kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional di ruang ki Hajar 11 Desember 2012
[9] DRG Djopari Hal. 38.