Posted on Sabtu, 28 Juli 2012 Tempeku Tak Lagi Merakyat
Bangsa Tempe Krisis
Kedelai
Oleh Dhani Kurniawan
Tempe selama ini dikenal sebagai
makanan yang terjangkau semua kalangan. Selain harganya yang murah tempe juga
memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Maka tak heran jika selama ini tempe
menjadi primadona di meja makan rakyat kecil. Tempe dan berbagai jenis
olahannya telah menjadi bagian penting dalam kehidupan rakyat.
Makanan yang berbahan daar kedelai
tersebut juga tak jarang digunakan sebagai kata kiasan, misalnya ”bangsa tempe”.
Entah mengapa sebagai kata kiasan tempe selalu lekat dengan nuansa lemah,
miskin, dan mungkin juga bodoh. Barangkali karena yang biasa mengkonsumsi tempe
adalah rakyat kecil, atau kedelai yang dinjak-injak untuk mengelupas kulit
dalam proses pembuatan tempe secara tradisional.
Selama ini produsen tempe di
Indonesia umumnya menggunakan kedelai impor karena dirasa ukurannya lebih
besar, kualitas lebih baik dan harga yang lebih murah. Selain itu menurut para
pengrajin tempe kedelai lokal susah ditemui di pasaran. Celakanya akhir-akhir ini harga kedelai import
di pasar Internasional mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan
tersebut sangat mepengaruhi harga kedelai di Indonesia mengingat 1,6 dari 2,2
juta ton kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi oleh kedelai import. Menteri
perdagangan Gita Wirjawan membenarkan adanya anomali cuaca yang terjadi di
Amerika Latin, terutama Argentina dan Brazil. Iklim yang tak menentu memicu
indeks kedelai dunia meningkat tajam.
Naiknya harga kedelai sangat memukul industri
tempe yang umunya merupakan industri kecil menengah. Banyak produsen tempe
terpaksa mengurangi produksi karena tidak mampu membali bahan baku yang semakin
mahal. Mereka tidak bisa menaikkan harga tempe mengingat konsumen utamanya
adalah masyarakat menengah kebawah. Jika nekat menaikkan harga bukan tidak
mungkin tempe produksi mereka tidak akan laku di pasaran. Selain itu para
produsen tempe juga terpaksa mengurangi ukuran tempe untuk menekan biaya
produksi.
Tempe yang selama ini menjadi
primadona di meja makan rakyat telah terancam tidak lagi menjadi makanan yang
murah meriah. “Krisis tempe” telah diambang pintu bila harga kedelai
internasional tidak segera turun. Rakyat nampaknya harus berpikir untuk mencari
makanan alternatif yang bisa dijadikan lauk makan sehari-hari.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa
ketahanan pangan kta sangat lemah. Tempe yang selama ini menjadi makanan rakyat
ternyata nasibnya tergantung pada kedelai import. Ironis, negeri yang dulu
dikenal sebagai negara agraris tidak mampu memenuhi salah satu kebutuhan pangan
yang paling pokok. Kita memang tidak bisa anti import, tetapi menggantungkan
pada import apalagi untuk kebutuhan pokok yang menyangkut kepentingan
rakyat juga tidak seharusnya terjadi.
Madiun, 26 Juli 2012
0
komentar |