Posted on Sabtu, 28 Juli 2012 MasaOri


Mengisi Masa Orientasi Siswa
Oleh Dhani Kurniawan
Tahun ajaran baru telah dimulai dan sudah menjadi tradisi bahwa siswa baru terutama di sekolah tingkat menengah pertama dan menengah  atas menjalani masa orientasi siswa. Sebenarnya saya sendiri sampai saat ini juga belum paham, orientasi seperti apa yang dikendaki pihak sekolah terhadap siswa baru. Namun entah sejak kapan masa orientasi siswa identik dengan perploncoan. Siswa senior yang menjadi panitia pelaksana masa orientasi siswa seolah menjadikan diri mereka penguasa atas adik kelas atau juniornya.
Sampai saat ini masa orientasi masih identik dengan kegiatan-kegiatan menyeramkan dan atribut yang memalukan. Memang begitulah keadaannya di sebagian sekolah. Siswa baru dipaksa membawa dan mengenakan atribut yang bukan saja susah diperoleh tetapi juga membuat mereka terlihat konyol dan memalukan. Celakanya lagi orang tua kerap kali ikut kerepotan menacarikan perlengkapan yang diwajibkan agar anaknya tidak dihukum. Beban mental itu masih diperparah lagi dengan kegiatan yang menguras tenaga dan menekan mental. Hukuman fisik misalnya, atau hukuman lain yang sebenarnya membuat mereka dipermalukan di depan siswa lain. Anehnya semua itu seolah menjadi hiburan, dan mungkin ajang balas dendam dari para senior yang mungkin dulu pernah mengalami nasib yang sama.
Masa orientasi siswa biasanya dilakukan pada saat awal masuk sekolah dan sebelum pembelajaran efektif dimulai. Pada masa itulah seharusnya siswa baru mendapat kesan pertama yang baik, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kesan pertama yang buruk tentunya akan berpengaruh terhadap mental siswa, juga kelangsungan studinya nanti. Siswa yang mentalnya lemah bisa semakin terpuruk, menjadi pendiam, penakut, dan terkucil dari pergaulan. Sementara itu siswa yang bermental kuat bisa saja kemudia tumbuh menjadi pribadi yang keras, pendendam dan akhirnya menjadi anak nakal di sekolah. Kenyataan tersebut nampaknya belum membuat pihak sekolah membuka mata dan berusaha mengisi masa orientasi siswa dengan kegiatan yang lebih positif. Masa orientasi siswa harusnya bisa disi dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, misalnya penyluhan tentang bahaya penyalahgunaan narkoba, miras dan seks bebas.
Madiun, 16 Juli 2012

Posted on Sabtu, 28 Juli 2012 Tempeku Tak Lagi Merakyat

Bangsa Tempe Krisis Kedelai
Oleh Dhani Kurniawan

Tempe selama ini dikenal sebagai makanan yang terjangkau semua kalangan. Selain harganya yang murah tempe juga memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Maka tak heran jika selama ini tempe menjadi primadona di meja makan rakyat kecil. Tempe dan berbagai jenis olahannya telah menjadi bagian penting dalam kehidupan rakyat.
Makanan yang berbahan daar kedelai tersebut juga tak jarang digunakan sebagai kata kiasan, misalnya ”bangsa tempe”. Entah mengapa sebagai kata kiasan tempe selalu lekat dengan nuansa lemah, miskin, dan mungkin juga bodoh. Barangkali karena yang biasa mengkonsumsi tempe adalah rakyat kecil, atau kedelai yang dinjak-injak untuk mengelupas kulit dalam proses pembuatan tempe secara tradisional.
Selama ini produsen tempe di Indonesia umumnya menggunakan kedelai impor karena dirasa ukurannya lebih besar, kualitas lebih baik dan harga yang lebih murah. Selain itu menurut para pengrajin tempe kedelai lokal susah ditemui di pasaran.  Celakanya akhir-akhir ini harga kedelai import di pasar Internasional mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan tersebut sangat mepengaruhi harga kedelai di Indonesia mengingat 1,6 dari 2,2 juta ton kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi oleh kedelai import. Menteri perdagangan Gita Wirjawan membenarkan adanya anomali cuaca yang terjadi di Amerika Latin, terutama Argentina dan Brazil. Iklim yang tak menentu memicu indeks kedelai dunia meningkat tajam.
 Naiknya harga kedelai sangat memukul industri tempe yang umunya merupakan industri kecil menengah. Banyak produsen tempe terpaksa mengurangi produksi karena tidak mampu membali bahan baku yang semakin mahal. Mereka tidak bisa menaikkan harga tempe mengingat konsumen utamanya adalah masyarakat menengah kebawah. Jika nekat menaikkan harga bukan tidak mungkin tempe produksi mereka tidak akan laku di pasaran. Selain itu para produsen tempe juga terpaksa mengurangi ukuran tempe untuk menekan biaya produksi.
Tempe yang selama ini menjadi primadona di meja makan rakyat telah terancam tidak lagi menjadi makanan yang murah meriah. “Krisis tempe” telah diambang pintu bila harga kedelai internasional tidak segera turun. Rakyat nampaknya harus berpikir untuk mencari makanan alternatif yang bisa dijadikan lauk makan sehari-hari.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa ketahanan pangan kta sangat lemah. Tempe yang selama ini menjadi makanan rakyat ternyata nasibnya tergantung pada kedelai import. Ironis, negeri yang dulu dikenal sebagai negara agraris tidak mampu memenuhi salah satu kebutuhan pangan yang paling pokok. Kita memang tidak bisa anti import, tetapi menggantungkan pada import apalagi untuk kebutuhan pokok yang menyangkut kepentingan rakyat  juga tidak seharusnya terjadi.
Madiun, 26 Juli 2012