Posted on Minggu, 19 Oktober 2014 Petani Tebu
Petani Tebu
Oleh Dhani
Kurniawan
Ibu saya terlahir dari
keluarga petani tapi jika bercerita tentang petani kok rasa-rasanya jadi petani
itu hanya tentang penderitaan dan ketidakpastian. Tentu saya heran mengapa
demikian lha kalau menurut saya petani itu pekerjaan yang mulia dan asalkan
paham ilmu bertani pasti hasilnya lumayan. Hari ini saya menemukan sedikit
jawaban mengapa petani selalu lekat dengan kesan kesengsaraan.
Kali
ini kebetulan adalah musim giling di pabrik gula yang berarti musim panen bagi
petani tebu. Panen untuk tebu setahu saya di sini hanya bisa setahun sekali dan
pabrik juga hanya beroperasi selama masa panen. Musim panen kali ini menurut
ibu saya keadaannya buruk. Bukannya tidak ada tebu yang bisa dipanen tapi
karena harga tebu di pasaran anjlok. Pabrik gula sebagai satu-satunya pembeli
menghargai tebu dengan sangat rendah bahkan pada sawah tebu kami uang belum
dibayarkan meski tebu sedah ditebang dan diangkut ke pabrik.
Kebetulan
salah satu tetangga saya ada yang berkerja di pabrik gula. Bapak saya yang malam ini ada acara kenduri
kemudian juga dengar cerita dari tatangga saya tersebut. Katanya stok gula di
gudang pabrik melimpah iabaratnya cukup untuk persediaan lima tahun. Ternyata
melimpahnya stok bukan karena panen tebu melimpah dan produksi besar.
Melimpahnya stok di gudang karena gula tidak laku di jual ke pasaran. Saya
heran lho kok bisa tidak laku kan kita setiap hari butuh gula lha itu di pasaran
gula dari mana ? Menurut bapak saya gula yang dipasaran adalah gula dari luar
yang harganya jauh lebih murah daripada gula lokal.
Tentu
ini kan sangat masuk akal ketika produksi lokal melimpah kok malah ngimpor.
Lalu kami ya nggremeng kok ndak ada yang demo ya. Lalu saya bilang “oh mungkin
karena ndak ada serikat petaninya”. Tapi kata bapak seberanya ada tapi tidak
melakukan demo karena sudah dideblok (disuap). Wah kalalu begini berarti ini
yang bermain mafia tingkat tinggi. Bapak
lalu bilang, “lha embuh iki menterine kok yo meneng ae.” “Wingi malah gae
kebijakan aneh melarang pesta rakyat menyambut mulainya pabrik beroperasi
(bukak giling) alasane menghambur-hamburkan uang.” Padahal acara pesta rakyat
menjelang bukak giling sudah menjadi tradisi lama dan juga sebagai wujud rasa
syukur (ya semacam slametan bagi orang Jawa) jadi bukan sekedar
menghambur-hamburkan uang. Lalu saya ya setengah guyon bilang, “lha iki nek
wong Jawa arep ngopo-ngopo ora di slameti yon gene iki dadine”. Dan Ternyata
bapak saya ya sepakat.
Pembicaraan
ini muncul di keluarga kami yang menjadikan tebu sebagai penghasilan tambahan
lalu bagaimana dengan petan yang menjadikan tebu sebagai tumpuan hidup. Saya
tidak bisa membayangkan percakapan seperti apa yang muncul di rumah keluarga
petani. Jadi ya lumrah kalau seorang petani kebanyakan berharap anaknya jadi
pegawai terutama pegawai negeri. Ini akibat dari gagalnya pemerintah melindungi
petani. Lha kalau semua maunya jadi pegawai lalau siapa yang nanduri sawah,
atau mungkin memang sudah tidak ada sawah karena semua telah berubaha jadi
mall, pertokoan, perkantoran, dan bangunan lain yang dianggap lebih
menjanjikan. Lah lalu bagaimana dengan kedaulatan pangan kita ? Ini bom waktu.
Lihat
saja data statistik, jumlah petani kita terus menurut jika beberapa puluh tahun
yang lalu mayoritas rakyat Indonesia adalah petani mungkin sekarang mayoritas
ya pekerja. Mungkin kita tidak sadar atau memang tidak pernah mau sadar. Telah
terjadi perubahan besar-besaran jika dulu orang Indonesia itu marhaen maka
sekarang kita adalah benar-benar ploretar. Masih bagus jika kapitalisnya adalah
orang kita sendiri setidaknya keuntungan masih berputar di dalam negeri jadi
kita masih bisa berharap kecipratan. Tapi apa jadinya jika ternyata
kapitalisnya adalah orang asing, modal dari luar ? Ya otomatis keuntungan lari
ke luar.
Ini kalau menurut Tan
Malaka “Kapitalis Cangkokan” ya kerana kapitalis tidak berakar di bumi
Nusantara tetapi hanya dicangkok dari luar. Nah kalau Tan Malaka dan mungkin
banyak lagi tokoh lain sudah jauh-jauh hari menyadari, dan memperjuangkan
rakyat untuk bebas dari kapitalisme cangkokan kok nyatanya sekarang masih
seperti ini ? Jadi apa Negara Indonesia yang ada saat ini bukan kelanjutan dari
negara Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta dulu ? Nah itu bisa panjang
lagi ceritanya. Sekarang yang mendesak adalah bagaimana kita bisa
memperjuangkan hak-hak petani ? Bagaimana agar petani bisa hidup layak dan
terhormat ? Bagaimana pun mereka itu penopang kedaulatan pangan kita dan salah
satu tulang punggung penyokong perekonomian yang tidak pernah merugikan negara.
Kalau Negara tidak lagi bisa diharapkan ya sudah tidak usah berharap pada
negara. Mari kita berjuang tanpa negara. Lupakan Negara yang tidak hadir dalam
kehidupan rakyatnya.
Selasa, 7 Oktober 2014
0
komentar |