Posted on Selasa, 01 Oktober 2013 Malapetaka di Indonesia dan Dua Muka Amerika

Malapetaka di Indonesia dan Dua Muka Amerika
Oleh Dhani Kurniawan
Pembunuhan massal 1965-66, pembunuhan sampai sekarang ini dikecam juga oleh negara-negara Utara, tetapi siapa yang memasok senjata yang memungkinkan pembunuhan juga dari Utara. Bagaimana kita harus mengatakan ?
(Pramoedya Ananta Toer)

            Pemerintah Orde baru menaruh perhatian besar dalam pembentukan narasi sejarah. Pemerintah tidak segan-segan mendorong bahkan menseponsori berbagai penelitian sejarah. Pada masa ini juga jabatan menteri pendidikan pernah dipegang oleh seorang sejarawan namun juga seorang militer yaitu Nugroho Notosusanto. Sejarah menjadi pelajaran penting disekolah dan muncullah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Sayangnya semua itu ternyata lebih di sebabkan dorongan politis, legitimasi, dan pelanggengan rezim berkuasa. Jadilah sejarah Indonesia resmi sebagai sejarah versi pemenang yang menjadi penguasa.
            Salah satu narasi sejarah yang pada masa orde baru disakralkan namun sekarang menjadi kontroversial adalah seputar  kejadian 1 Oktober 1965. Versi pemerintah bahwa gerakan 30 September yang terjadi dini hari 1 Oktober 1965 di dalangi PKI dengan tujuan menggulingkan kekuasaan yang sah adalah harga mati. Demi mendukung versi tersebut banyak bukti dan fakta sejarah diinterpretasi, dikurangi, ditambah, bahkan diputarbalikkan. Keberhasilan rezim dalam memanipulasi sejarah dan menciptakan narasi versi mereka sendiri bisa dikatakan adalah salah satu prestasi terbesar Orde Baru. Selama rezim Soeharto hampir tidak ada suara yang berani menggugat narasi versi pemerintah. Kalau pun ada sedikit langsung dilibas dengan keras.
            Bagi mereka yang menjadi korban mungkin tidak sulit memahami alasan orde baru begitu keras mempertahankan versinya. Dibalik kesakralan narasi pengkhianatan G30S/PKI ada malapetaka yang benar-benar nyata tetapi sengaja dilenyapkan dari ingatan rakyat Indonesia. Pembantaian ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang komunis dan mereka yang dikomuniskan, belum lagi penderitaan mereka yang di penjara, kehilangan keluarga,harta benda, dan harga sebagai seorang manusia. Pemerintah memang sukses besar membangun narasi sejarah resmi, tetapi pemerintah tidak akan mampu menghapus ingatan jutaan orang yang menjadi korban.
            Pemerintah Orba dengan kekuasaannya memang sukses membungkam suara di dalam negeri tetapi di luar negeri suara dengan nada berbeda tak mampu dibungkam. Anehnya suara tersebut justru bergaung dari Amerika Serikat, sebuah negeri yang saya yakin sangat gembira dengan jatuhnya Sukarno dan hancurnya PKI.  Suara tersebut terwujud dalam Paper dengan judul tentang Gerakan 30 September dengan judul ”A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia” dan membuat pemerintah Indonesia berang. Betapa tidak dalam Paper yang pada 10 Januari 1966 rampung di susun oleh Ben Anderson, Ruth McVey dan Fred Bunell tersebut disimpulkan bahwa Gerakan 30 September bukanlah pemberontakan PKI melainkan konflik internal angkatan darat sangat bertolak belakang dengan versi pemerintah yang merujuk pada analisis Nugroho Notosusanto.
            Akibat dari munculnya Paper tersebut yang kemudian pada 1973 secara resmi terbit sebagai Cornell Paper sejumlah akademisi Cornell dicekal oleh pemerintah Indonesia. George McT. Kahin sebagai penggagas sekaligus pimpinan Cornell Modern Indonesia Project tak luput dari pencekalan. Kahin dicekal masuk Indonesia hingga 1991 bahkan di negaranya sendiri dia dituduh oleh Senator McCarthy, sebagai simpatisan komunis dan paspornya dicabut selama lima tahun.
            Peristiwa diatas menunjukkan bahwa di Amerika terjadi pembelahan sikap antara intelektual dan pemerintah. Berbeda dengan kasus di Indonesia dimana intelektual seiring dengan pemerintah karena intelektual yang tidak sejalan telah dilibas. Kasus Amerika menunjukkan bahwa meskipun tidak sejalan dan mendapat sanksi dari pemerintah intelektual tetap bisa menunjukkan sikapnya sendiri. Bukti lebih banyak bisa kita lihat nanti di mana di Amerika terus saja bermunculan karya-karya tentang Gerakan 30 September dengan cara pandang yang berbeda.
            Belakangan di Amerika muncul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia karya John Rossa yang diterbitkan oleh University of Wisconsin Press, Madison, Amerika Serikat pada 2006. Dari judulnya kita sudah mendapat sedikit gambaran akan seperti apa analisis John Rossa. Pada 2008 karya John Rossa tersebut diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Hebatnya setahun kemudian buku tersebut telah menjadi buku terlarang berdasarkan keputusan Kejaksaan Indonesia. Tentu mengherankan, sepuluh tahun setelah Soeharto lengser dan sikap penguasa masih seperti era Seoharto.
            Selain buku dari prakarsa intelektual Amerika juga muncul dua film menarik yaitu 40 Years of Silence besutan Robert Lemelson dan The Act of Killing besutan Joshua Oppenheimer. Kedua film tersebut menunjukkan sisi yang berbeda tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah peristiwa 1 Oktober 1965 di Jakarta. Sementara 40 Years of Silence mengambil sudut pandang korban kekerasan 1965-1966, The Act of Killing lebih menyoroti dari sisi pelaku kekerasan 1965-1966. Meski demikian kedua film tersebut menunjukkan sisi yang berbeda dari versi resmi pemerintah Orba.
            Munculnya versi-versi alternatif yang justru dari Amerika bagi saya juga patut dicermati. Apalagi jika menilik sejarah berdirinya kajian tentang Indonesia di Amerika yang sama dengan dengan politiknya terhadap Indonesia yang dulu tidak bisa dilepaskan dari kerangka perang dingin. Munculnya versi-versi alternatif dari para intelektual Amerika memang mununjukkan sisi humanisme Amerika dan tentu saja cocok dengan propaganda pemerintah Amerika yang selalu bangga sebagai garda terdepan pembela HAM. Padahal Amerika tentu sangat berkepentingan dan sangat mungkin terlibat dalam pembantaian massal 1965-1966. Bahkan menurut Adrian Vickers, CIA berperan dalam memberikan daftar calon korban kepada militer Indonesia. Tentu sangat mungkin ada peran lain seperti bantuan persenjataan misalnya. Maka apabila sekarang intelektual Amerika mengutuk pembantaian tersebut dan menyudutkan militer Indonesia dan pemerintah Orba lalu bagaimana sikap mereka terhadap pemerintah negara mereka sendiri ?
            Melihat dua muka Amerika dalam menyikapi pembantaian massal 1965-1966 saya terkesan dengan pendapat Pram yang pada awal tulisan ini saya kutip. Sekiranya saya tidak membaca tulisan Pram tersebut yang merupakan satu bagian dari pidato yang disampaikan pada  peluncuran  ulang Media  Kerja  Budaya,  14  Juli  1999  di  Aula  Perpustakaan  Nasional tersebut pasti saya sudah larut dalam kesilauan saya pada analisis para intelektual Amerika dan lupa bagaimana sikap serta peran pemerintah Amerika. Sekarang pertanyaannya adalah apakah silang sikap antara intelektual Amerika dengan Pemerintah Amerika tersebut terjadi lantara iklim kemerdekaan kaum intelektual yang baik atau memang di setting sedemikian rupa guna menunjukkan wajah Amerika yang Humanis dan menutupi wajahnya yang bengis ? Mungkin Cuma Tuhan dan Intelektual serta pemerintah Amerika yang tahu. Meskipun demikian bermuka dua memang bukan hal baru bagi Amerika terutama dalam politik luar negerinya.


Sleman-Madiun, awal Agustus 2013