Posted on Sabtu, 24 Agustus 2013 Cerita Sukarno Kepada Cindy Adams

Cerita Sukarno Kepada Cindy Adams
Oleh Dhani Kurniawan

Sukarno barangkali merupakan orang Indonesia yang paling terkenal di dunia. Namanya banyak di abadikan di berbagai negara, misalnya untuk menamai jalan, bangunan, bahkan  tanaman. Menyimak perjalanan hidupnya sebagai seorang yang punya banyak andil dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia namun harus menjalai akhir hidup yang tragis sebagai “yang terkalahkan” tentu sangat menarik. Salah satu biografi Sukarno yang paling menarik adalah yang ditulis oleh Cindy Adams yang diberi judul Sukarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Biografi ini mulai dari tercetusnya ide, penulis, sampai bisa terbit dan dibaca khalayak menyimpan kisah menarik dan tentu saja yang paling menarik adalah isi biografi itu sendiri karena saya rasa inilah biografi Sukarno yang paling manusiawi.
Sukarno sendiri dalam biografi tersebut mengatakan bahwa salah seorang yang mendorong ditulisnya biografi tersebut adalah Jones Howard yang pada waktu itu menjabat sebagai duta besar Amerika untuk Indonesia. Nampaknya saat itu Sukarno adalah sosok yang menyita perhatian pemerintah Amerika. Selanjutnya dipilihlah Cindy Adams, seorang wartawan Amerika yang pernah menjadi duta kebudayaan Amerika untuk Indonesia pada masa presiden Kenedy. Namun anehnya bahwa pada masa ditulisnya biografi tersebut justru hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Amerika sedang panas. Kondisi itu turut mempengaruhi pernyataan Sukarno dalam biografi tersebut. Sukarno dalam biografi tersebut banyak sekali berbicara kepada Amerika, menjelaskan sikapnya, dan menampik tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya serta menyampaikan harapan terciptanya hubungan yang lebih baik di masa mendatang.
Cindy Adams mwawancarai Sukarno di sela-sela kesibukannya sebagai presiden, dan dengan cerdas menuangkannya ke dalam tulisan. Maka seolah-olah biografi itu ditulis oleh Sukarno, bahkan kita bisa merasa seakan Sukarno berbicara langsung kepada kita. Mengapa yang mendapat tugas tersebut adalah Cindy Adams sebenarnya bukan suatu hal yang sulit ditebak. Sukarno adalah seorang pengagum kecantikan (jika kata playboy terlalu kasar dan tidak pantas), dia suka pada perempuan cantik, dan Cindy Adams sendiri adalah seorang yang cantik meski dia sudah bersuami. Alasan tersebut juga menjawab pertanyaan mengapa Sukarno rela menyisikan waktu berjam-jam di tengah kesibukannya sebagai presiden. Jika yang mewawancarai adalah seorang lelaki barangkali biografi tersebut tidak akan pernah selesai.
Mohammad Roem adalah orang yang awal, bahkan mungkin pertama kali mengomentari biografi tersebut lewat sebuah tulisan. Komentar tersebut yang oleh Roem disebut sebagai timbangan atas buku kemudian menjadi salah satu bagian dalam kumpulan tulisannya yang terbit dengan judul Bunga Rampai dari Sedjarah. Roem menyatakan bahwa cetakan biografi yang dibacanya adalah pinjaman dari Anak Agung  Gede Agung. Dikatakan pula bahwa Anak Agung Gede Agung mendapat cetakan tersebut dengan jalan “main selundup”. Pertanyaannya mengapa harus lewat selundupan ? Apa biografi tersebut dilarang terbit dan beredar di Indonesia ? Bukankah ini aneh. Saya sendiri belum menemukan jawaban yang pasti. Saya Cuma bisa menebak-nebak bahwa pada masa itu Sukarno telah menjadi “yang terkalahkan”. Kita perlu tahu bahwa setelah lengser dari jabatan presiden, Sukarno hidup dalam penjara rezim baru, rezim yang kemudian populer dengan sebutan Orde baru.
Jika cetakan biografi yang ada pada Mohammad Roem adalah cetakan luar negeri dan berbahasa Inggris (cetakan pertama dalam bahasa Indonesia tahun 1966) maka yang ada pada saya sudah berupa terjemahan dan merupakan terbitan dalam negeri. Saya meminjam milik ayah saya yang merupakan cetakan 1984 (cetakan ketiga dalam bahasa Indonesia). Pada halaman pengantar dikatakan bahwa cetakan ini tidak mengalami perubahan kecuali sekedar penyesuaian ejaan dengan EYD dan penambahan beberapa foto. Satu hal yang mengganjal hati saya adalah dituliskan bahwa penerjemah biografi tersebut adalah Abdul Bar Salim yang merupakan seorang Mayor, ditambah lagi dengan adanya sambutan dari Soeharto yang bertanggalkan 6 Juni 1966. Saya bertanya-tanya mengapa penerjemahnya adalah seorang militer ? Mengapa bukan seorang penerjemah profesional atau orang yang dekat dengan Sukarno. Meski demikian saya berkesimpulan bahwa biografi tersebut ada dalam genggaman rezim militer dan bukan tidak mungkin ada bagian biografi tersebut yang dipelesetkan atau disensor. Paska jatuhnya Soeharto sebenarnya biografi tersebut kembali diterbitkan, sayang saya belum membacanya sehingga tidak bisa membuat perbandingan.
Setelah membaca tinjauan buku yang ditulis Mohammad Roem saya tidak menemukan suatu yang mencolok yang berbeda dengan apa yang saya baca sendiri dari biografi terjemahan cetakan ketiga. Apa yang dibahas Roem mulai dari Sukarno yang mendramatisir kemiskinan, pengakuan tentang mistik, sampai Sukarno yang tidak peduli masuk surga atau neraka, terasa cocok dengan yang saya baca. Hanya ada satu yang mengganjal yang tidak dibahas oleh Roem. Justru iulah babak paling krusial dalam sejarah bangsa Indonesia dan sejarah Sukarno sendiri. Babak tersebut adalah detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada cetakan yang saya baca pada detik-detik jelang proklamasi Sukarno dengan angkuhnya berkata “Aku tidak memerlukannya…….” “Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada”. Saya begitu terkejut membacanya, mungkinkah Sukarno benar-benar berkata demikian kepada Cindy Adams yang kemudian menulisnya dalam biografi ? Bukankah sejak dibawa sekelompok pemuda ke Rengasdengklok sampai penulisan teks proklamasi Hatta punya peran besar. Sukarno tentu sangat tahu karena pada saat-saat gawat itu dia hampir selalu bersama dengan Hatta. Jika apa yang saya baca sama dengan yang dibaca Mohammad Roem apa mungkin dia tidak berkomentar melihat keegoisan Sukarno dan penghilangan peran Hatta dalam biografi tersebut ? Sekali lagi saya tidak tahu, barangkali bagi siapapun yang telah membaca biografi dalam cetakan yang sama dengan Mohammad Roem atau yang telah membaca cetakan terbaru setelah berakhirnya rezim orde baru bisa memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Bagian akhir dari biografi tersebut bagi saya terasa begitu mengharukan. Sukarno mulai berandai-andai tentang kematian, harapan tentang di mana dan bagaimana nanti dia dikebumikan. Namun manusia hanya bisa mengharap dan berusaha. Akhir hidup Sang Penyambung Lidah Rakyat tak seindah akhir biografinya. Sukarno di saat terakhir dari hidupnya telah menjadi yang dikalahkan total, dilucuti dari segala kekuasaannya, dijauhkan dari semua yang berbau politik, dan barangkali yang paling menyiksanya adalah di jauhkan dari rakyat.


Yogyakarta, Juni-Juli 2013