Posted on Senin, 05 November 2012 Liberalisme dalam Kehidupan Bernegara
Liberalisme
dalam Kehidupan Bernegara
Oleh Dhani Kurniawan
Liberalisme
adalah sebuah paham yang ramai dihujat sekaligus tidak sepi dari pujian.
Sebagian orang menganggap bahwa liberalisme menjanjikan kehidupan yang lebih
baik di era modern ini. Sebagian orang lainnya nampak menganggap liberalisme
sebagai monster jahat yang begitu berbahaya, harus dijauhi bahkan diberantas
bila memungkinkan. Perdebatan dua kubu tersebut menjadikan liberalisme selalu
menarik untuk dikaji. Sebenarnya tidak selayaknya orang menghakimi liberalisme
tanpa terlebih dahulu memahami apa itu liberalisme.
Kelahiran
Liberalisme
Eropa
abad pertengahan (kira-kira abad ke 5 sampai ke 15) ada pada sebuah era yang
oleh sebagian orang disebut zaman gelap atau the dark age. Sebutan abad kegelapan diberikan karena pada masa ini
terjadi kemandekan perkembangan ilmu. Keadaan tersebut disebabkan kuatnya
dogma-dogma agama. Gereja menjadi pusat kekuasaan yang menguasai seluruh sisi
kehidupan, bahkan juga mengekang kebebasan untuk berpikir. Ilmu hanya
dipelajari untuk dilestarikan, bukan untuk dikembangkan, dikritisi, apalagi
dikoreksi.
Zaman
gelap mulai menunjukkan akhir perjalannya dengan munculnya ide-ide baru yang
sedikit banyak menggugat dominasi gereja. Kaum agamawan yang berkedudukan
sebagai penguasa gereja mulai mendapat kritik atas perilaku buruk dan
kewenangannya yang berlebihan.
“Dante Alighieri (1265-1321)
memasukkan Paus Boniface sebagai salah satu penghuni delapan lingkaran neraka dalam karyanya yang terkenal, Divine Comedy. Dalam De Monarchia, Dante bersikeras untuk
memisahkan kekuasaan negara dari kepausan. Tantangan-tantangan terhadap
kekuasaan gereja Roma berlanjut hingga Martin Luther (1483-1546) yang
mempersoalkan peran kewenangan yang dimainkan pendeta dalam menginterpretasikan
Injil bagi umat dan kewewenang sekuler paus atas uskup-uskup lokal.”[1]
Masa ini kemudian akarab disebur era
Renaisance. Orang Eropa merasa telah mendapatkan kembali jati dirinya sebagai
manusia yang menjunjung tinggi akal pikiran dan lepas dari dogma-dogma agama
yang mengungkung kebebasan berpikir. Pada masa ini pula sebenarnya embrio
liberalisme muncul.
Menurut
Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) kebebasan adalah hak alami yang dimiliki
manusia. Kebebasan menurut adalah ketiadaan kendala-kendala eksternal:
kendala-kendala yang sering kali mengambil sebagian kekuatan manusia untuk melakukan
apa yang diinginkannya; namun tidak dapat menghalanginya untuk menggunakan
kekuatan yang tersisa, menurut penilaiannya dan akalnya.[2]
Hobbes meskipun demikian masih menganggap perlunya kedaulatan yang berkuasa penuh
untuk menjaga kedamaian segera setelah individu-individu yang setara secara
sukarela menyerahkan hak-haknya demi kepentingan kedamaian.
Gagasan
Hobbes tentu belum benar-benar menemukan jantung cita-cita liberalisme. Jantung
cita-cita leberalisme adalah gagasan bahwa individu-individu
yang bebas dan setara bisa secara sukarela mendukung kesepakan bagi keuntungan
bersama. Meskipun demikian setidaknya Hobbes telah memberikan sumbangan
pemikiran yang cukup penting. Adalah John Locke yang kemudian melengkapi kredo
liberal dengan menegaskan bahwa kesepakatan adalah lem yang mengikat
individu-individu bebas.[3]
Apa Itu Liberalisme ?
Banyak pendapat tentang apa itu itu liberalisme. Setiap orang dengan latar
belakang berbeda hampir pasti punya penafsiran yang berbeda tentang
liberalisme. Barangkali penjelasan yang paling dapat mendekati tentang apa itu
liberalisme haruslah berasal dari kaum liberal itu sendiri. Ludwig von Mises
seorang liberalis memberikan penjelasan tentang apa itu liberalisme sebagai
berikut.
“Liberalisme bukan agama, cara pandang dunia, atau partai
dengan kepentingan khusus. Liberalisme bukan agama karena tidak menuntut iman
atau ketaatan, karena tidak bersifat gaib, dan karena tidak memiliki dogma.
Liberalisme bukan cara pandang dunia karena tidak mencoba menjelaskan kosmos
dan tidak memberi penjelasan tentang makna dan tujuan keberadaan manusia.
Liberalisme bukan partai dengan kepentingan khusus karena tidak memberikan atau
berusaha untuk memberikan keuntungan khusus kepada individu atau golongan mana
pun. Liberalisme adalah sebuah ideologi,
doktrin tentang hubungan yang setara antara anggota masyarakat dan pada saat
yang sama merupakan penerapan doktrin tersebut dalam tindakan manusia dalam
sebuah masyarakat.”[4]
Penjelasan
tersebut kiranya mampu memberikan pemahaman tentang apa itu liberalisme bagi
kaum liberal. Sementara itu kaitannya dengan negara kaum liberal
juga punya pendapatnya sendiri.
Liberalisme bukan anarkisme, juga
tak ada hubungannya sama sekali dengan anarkisme. Kaum liberal memahami dengan
sangat jelas, bahwa tanpa paksaan, keberadaan masyarakat akan terancam, dan
bahwa di balik aturan-aturan mengenai perilaku yang menuntut ketaatan anggota
masyarakat untuk menjamin kerjasama manusia yang damai, harus ada ancaman
paksaan kalau seluruh tatanan masyarakat tidak ingin terus bergantung pada
belas kasihan salah satu anggotanya.[5]
Demokrasi Liberal penerapan liberalisme dalam kehidupan
bernegara di Indonesia ?
Setelah mencoba memahami apa itu liberalisme barangkali
akan muncul pertanyaan, pernahkah liberalisme diterapkan dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. Memang Indonesia pernah menganut sistem demokrasi
liberal tapi apakah berarti waktu itu Indonesia menerapkan liberalisme dalam
kehidupan bernegara ? Apapun jawabannya setidaknya pada masa itulah kata
liberal diauki dalam menyatakan sebuah sistem pemerintahan. Jadi secara de Jure
itulah masa dimana kehidupan bernegara paling dekat dengan liberalisme.
Demokrasi liberal atau disebut juga
demokrasi parlementer di Indonesia berlangsung antara tahun 1950-1959. Ciri
utama masa ini adalah kebebasan politik; kebebasan pers dan media massa, serta
penghargaan terhadap HAM. Salah satu prestasi terbesar yang dicapai sistem ini
adalah terselengaranya pemilu yang sampai sekarang dianggap sebagai pemilu
paling demokratis di Indonesia. Padahal saat itu sebagian besar penduduk masih
buta huruf.
Meskipun cukup banyak prestasi yang
dicapai oleh sistem demokrasi liberal namun sistem ini dan tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sistem demokrasi
liberal dalam praktiknya menciptakan instabilisasi politik. Para politik
kesulitan menggalang koalisi. Jatuh-bangun kabinet silih terjadi begitu cepat,[6] sehingga
tidak ada kabinet yang mampu menerapkan program-programnya secara maksimal.
[1]
Josep Losco dan Leonard Williams.2005.Political
Theori, Kajian Klasik dan Kontemporer Machiavelli-Rawls.terjemahan Haris
Munandar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 14
[4]
Ludwig
von Mises.2011.Menemukan Kembali
Liberalisme.Jakarta:The Foundation for Economic Education, Inc. hal 226
[5]
Ibid. hal 44
0
komentar |